The Magician
Cast:
The Magician as Kim Taehyung
King of Cups as Chae Hyungwon
Kim Wooju
Knight of Swords as Jeon Jungkook
Hong Yejin (OC)
Shin Dongjin (OC)
Genre: Fantasy, Romance, Supernatural.
Terjadi pada dinasti Joseon, masa pemerintahan Raja Hyojong yang dulunya adalah Pangeran Bongrim kemudian di angkat sebagai Putra Mahkota baru setelah kematian Pangeran Sohyeon di kamar Raja Injo.
Ia melakukan banyak sekali perubahan pada masa itu, terutama tentang modernisasi Joseon. Yang membuat, banyak kapal asing dari benua Eropa berlabuh ke Korea Selatan. Termasuk kapal dari negara Inggris yang membawa barang-barang untuk di perjualbelikan di Korea Selatan seperti barang-barang antik dan juga perhiasan untuk para wanita terutama gisaeng. Bukan hanya pedagang yang ikut dalam perjalanan jauh tersebut, namun seorang magician yang menguasai tiga bahasa sekaligus - Spanyol, China, dan Korea – bernama Baltazar.
Baltazar mempunyai sifat tak terburu-buru dalam melakukan suatu hal, sangat terperinci, tidak suka menunggu hal yang tidak pasti, jarang berbicara dengan orang lain, dan termasuk orang yang tertutup.
Terkadang ia mempunyai kebiasaan yang aneh. Bukan aneh sebenarnya tetapi memang itulah pekerjaannya namun caranya saja yang aneh. Seperti salah satu seorang wanita Korea yang ia temui tadi sore. Ia meminta wanita itu untuk mengikuti dirinya ke tempat sepi. Dan disinilah Baltazar melakukan hal ajaib itu, ia akan meramal sifat wanita itu dengan menghidupkan kartu tarot dengan sebuah mantra kemudian meminta kartu tarot tersebut untuk menjelaskan semua sifat dari wanita cantik itu. Alangkah terkejutnya dia, sifat yang di deskripsikan kartu tarot itu sama persis dengan dirinya. Ia menjelaskan juga bagaimana baiknya ia harus bersikap pada orang lain dan masalah yang akan ia hadapi nanti. Hebat, bukan?
Setelah itu, Baltazar membacakan mantra kembali dan kartu tarot yang tadinya berwujud seperti manusia, berubah kembali menjadi sebuah kartu yang nantinya akan ia simpan ke dalam tas miliknya.
Sebelum mengucapkan sebuah perpisahan dengan wanita cantik itu, ia meminta padanya untuk menatap kedua mata birunya lalu dengan ajaibnya Baltazar membuat wanita tadi lupa pada kartu tarot yang ia lihat ‘hidup’ tadi. Yang ia ingat hanyalah suatu penjelasan yang samar-samar tentang dirinya dari seseorang yang asing. Kemudian ia pergi untuk meneruskan perjalanan panjangnya, meninggalkan wanita yang masih terpana dengan sosok Baltazar. Perjalanan di negeri gingseng itu tak hanya sampai disitu saja namun Baltazar meneruskan perjalanan panjangnya dengan mengikuti hembusan angin.
Perjalanan jauh ini membuat Baltazar lelah, ia memutuskan untuk duduk di beranda sebuah rumah lalu menaruh tasnya.
“Siapa kau?” Tanya seorang lelaki yang masih memakai bokgeon.
“Saya, Baltazar. Maaf jika mengganggumu, sir.” Ujarnya pelan seraya berdiri lalu menundukkan kepala sedikit pada Taehyung.
“Eh? Jangan terlalu formal padaku. Panggil saja Taehyung.” Ujarnya pelan lalu mempersilahkan lelaki jangkung tersebut untuk masuk.
“Masuklah, pasti kau lelah. Terlihat sekali dari wajahmu itu.”
“Ah..terima kasih.” Balas Baltazar singkat lalu ia masuk ke dalam rumah Taehyung.
—Skip--
“Jadi kau seorang pedagang, kan?” Tanya Taehyung, mulai membuka topik pembicaraan.
“Sebenarnya bukan, aku adalah seorang magician.” Balas Baltazar dengan wajah serius.
“Dan aku rasa hidupku sudah tak lama lagi. Aku membutuhkan seseorang untuk merawat semua ini.” Ia membuka tas miliknya dan mengeluarkan isinya –sebuah buku dengan sampul bewarna coklat dan sebuah kantong kecil yang berisi kartu tarot.
“Eh? Apa ini?” Tatapan tak mengerti Taehyung membuat Baltazar tersenyum tipis.
“Ini semua milikku dan akan menjadi milikmu. Aku adalah seorang magician, Taehyung. Jika barang-barang ini berada di tangan yang salah maka mereka akan menggunakan barang-barang ini untuk kepentingan mereka masing-masing. Kupikir kau adalah orang yang tepat untuk menjaga ini semua. Anggaplah bahwa ini warisan untukmu.”
“Dan satu lagi, simpan ini juga dengan baik-baik.” Seraya menunjukkan sebuah buku tua yang berisi mantra dengan bahasa Latin.
“Apa ini?” Tanyanya heran. Lelaki bermata biru itu tersenyum lagi kemudian mulai menjelaskan satu per satu semua mantra yang berada di dalamnya pada Taehyung.
Setelah Taehyung pulang dari Sungkyunkwan, lelaki itu pasti mencoba menghafalkan mantra-mantra tersebut dengan menutup matanya dan memfokuskan pikiran pada kartu yang ingin ia hidupkan.
Tapi gagal. Padahal ia selalu melatih kemampuan yang selalu Baltazar ajarkan, dan ia sendiri rasanya ingin menyerah saja dan meminta Baltazar untuk mencari seseorang yang lebih lihai akan hal seperti ini. Namun, jawaban Baltazar selalu sama.
‘Kau adalah orang yang tepat. Jadi, tak mungkin aku menyerahkan semua ini pada orang yang salah.’
Tepat pada malam hari, Baltazar menaruh tasnya di kamar Taehyung beserta sebuah catatan yang nantinya Taehyung baca sewaktu ia bangun keesokan harinya.
“Taehyung-ah, aku pergi. Jaga diri baik-baik. Dan jaga ‘mereka’ dengan sepenuh hatimu.” Ujarnya lalu berjalan keluar dari rumah Taehyung.
Pagi harinya, seluruh penduduk desa gempar dengan kematian seseorang yang tergeletak di pinggir jalanan desa. Taehyung yang masih terlelap kemudian mencoba bangun dan mengikuti arah dimana mereka berlari.
“Ya! Baltazar, hei bangun!” Taehyung berteriak pada lelaki itu kemudian mencoba menepuk-nepuk pipinya agar ia bangun.
“Ini tidak lucu. Bangunlah...”
“Sudahlah, Taehyung. Lebih baik kita makamkan dia.” Kemudian jasad lelaki bermata biru itu dibawa oleh sebuah tandu untuk dimakamkan.
Baltazar telah meninggal dengan tenang. Dengan senyum yang terlukis di wajahnya. Namun, kematiannya ini masih menjadi tanda tanya bagi Taehyung.
Malam harinya, Taehyung tak dapat tidur. Ia masih memikirkan tentang barang-barang milik Baltazar yang ia tinggalkan untuk dirinya. Taehyung mencoba membuka lagi tas Baltazar seraya merenung di kamarnya.
“Benarkah mereka bisa hidup? Yang benar saja.” Ujar Taehyung tak yakin.
Kemudian, Taehyung menaruh kartu-kartu itu secara berurutan di atas meja dari Major Arcana sampai Minor Arcana, ia melihat ‘mereka’ dengan teliti.
Dengan ragu-ragu, Taehyung mencoba mengambil dua kartu dari Minor Arcana dan memasukkan kartu lainnya ke dalam kantong. Ia mencoba menutup matanya dan berkonsentrasi seraya mengucapkan mantra.
Tiba-tiba, cahaya biru memenuhi kamar Taehyung. Cahaya seperti bola arwah yang akan menghidupkan dua kartu tersebut.
Terlihatlah sekarang, dua orang lelaki tampan yang berdiri di depan Taehyung dengan baju hanbok.
“Woah, hebat kita menjadi orang Korea? Biasanya menjadi orang Inggris.” Ujar salah satu lelaki tersebut.
“Eh? Kalian siapa?!” Tanya Taehyung seraya memundurkan badannya ke belakang.
“Kami adalah kartu yang pertama kali kau hidupkan, sir. Aku adalah Knight of Swords dan dia adalah King of Cups. Berilah kami nama dahulu, nanti akan kami jelaskan tentang magician terdahulu agar kau mengerti, sir.” Lalu tersenyum tipis kemudian duduk saling berhadapan dengan Taehyung.
“Baiklah, akan kuberi nama kalian Jeon Jungkook dan Chae Hyungwoon. Bagaimana?”
Kedua kartu itu saling berhadapan lalu tersenyum, “Setuju. Nama kami Jungkook dan Hyungwoon.” Ujar Jungkook menyetujuinya.
“Kalau begitu jelaskan padaku tentang semua ini. Kupikir penjelasan dari Baltazar kurang cukup.”
“Baiklah, sir. Akan kami jelaskan.” Ujar mereka bersamaan.
“Biasanya kami terbentuk pertama kali dengan keyakinan seorang magician tentang kartu tarot yang dapat hidup. Namun, kali ini sepertinya berbeda, Kau adalah magician pertama yang berasumsi bahwa kartu tarot tidak nyata. Awalnya kami-...“
“Tunggu, ini semua benar? Bagaimana kalian bisa tau tentang itu?” Tanya Taehyung memotong penjelasan dari Jungkook.
“Benar, sir. Kami mengetahui ini, karena seorang magician dan kartu tarot mempunyai ikatan batin yang kuat. Jadi, jangan heran jika kami tau tentang isi pikiranmu tentang kami, sir.” Balas Jungkook pada Taehyung.
Taehyung menganggukkan kepalanya pelan, “Aku mengerti.”
“Satu hal yang kuminta. Jangan memanggilku dengan embel-embel ‘sir’ karena aku tak suka itu.”
“Ah, maafkan kami. Kami sudah terbiasa.” Ujar Hyungwoon menundukkan kepalanya sedikit.
“Tidak apa, sekarang jelaskan padaku lagi. Oiya, kalian bisa memanggilku Taehyung.”
Kemudian Jungkook dan Hyungwoon menjelaskan kembali fakta dan sejarah tentang ‘mereka’ dan seorang magician.
“Dulunya kami adalah kartu tarot biasa namun karena seorang bangsawan dari Inggris dimana ia dianugerahi kecerdasan yang tinggi serta kekuatan magis di dalam darahnya, ia membuat mantra-mantra yang membuat kami dapat hidup. Sebelumnya maafkan kami karena tidak dapat mengingat namanya. Hanya bisa mengingat wajahnya saja karena sudah lama sekali. Dan juga kami selalu berpindah tangan dari magician satu ke magician yang lain, namun kami akan menjelaskan sebisa kami, Taehyung-ah.” Ujar Hyungwoon panjang lebar.
“Aku mengerti itu. Silakan lanjutkan.”
“Kami sebenarnya tidak memiliki wajah tetap, tergantung penggambaran magician kami tentang kartu tarot yang akan dia hidupkan. Jadi, dulunya wajah kami bukanlah dari Asia melainkan dari Eropa. Mungkin ini pertama kalinya kami memiliki wajah seorang Korea.” Lanjut Hyungwoon.
“Tunggu, jadi aku yang membuat wajah kalian? Kenapa bisa begitu?”
“Benar. Kau yang menggambarkan sosok kami. Karena kau adalah pengendali kami.” Jawab Jungkook kemudian.
Taehyung menganggukkan kepala lagi lalu meminta Jungkook dan Hyungwoon untuk tidur.
“Tapi seharusnya kami dikembalikan lagi menjadi kartu.” Ujar Jungkook tak mengerti.
“Sudahlah, kalian tidur saja. Aku masih membutuhkan kalian untuk aku ajak bicara.” Kemudian Taehyung mengambilkan futon untuk mereka.
“Cha- kalian tidurlah. Jangan banyak protes lagi.”
Akhirnya, mereka menuruti perintah Taehyung untuk tidur.
Taehyung masih tetap terjaga untuk melihat isi tas Baltazar. Ia memutuskan untuk pergi ke teras ; untuk membuka isi tas Baltazar. Terdapat banyak gulungan dan juga buku yang ditinggalkan oleh lelaki itu. Taehyung mengambil salah satu gulungan lalu membacanya. Ternyata itu adalah surat dari Baltazar untuk Taehyung.
“Buku serta gulungan yang bertuliskan hangul serta bahasa Latin ini adalah penjelasan dan mantra tentang kekuatan magis yang akan kau jalankan nantinya, Taehyung-ah.
Maaf selama ini aku tak menjelaskanmu secara langsung karena kupikir kau lebih mengerti jika membaca daripada aku menjelaskannya dari mulutku sendiri.
Kekuatan magis yang akan kau jalani ini bukanlah hanya menghidupkan serta mengendalikan kartu saja, kau dapat mempelajari juga tentang menghidupkan benda mati serta berpindah tempat dan mengendalikan waktu sesuai keinganmu. Tapi ruang lingkupnya hanyalah tempat pada masa Joseon saja, dan waktu yang kau ubah hanyalah masa depan tapi jarak dari tahun, bulan, hari sekarang hanyalah berjarak enam tahun. Selebihnya itu tidak bisa. Tapi- aku sendiri tak yakin, kudengar ada magician yang pergi ke masa depan dimana banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian modern. Mungkin kau bisa mencari informasinya di Italia. Aku sudah mencoba kesana namun hasilnya nihil.
Dan karena kabar itulah aku yakin para tetua yang tinggal di Italia menyimpan sebuah rahasia besar tentang kekuatan magis itu.
Aku mencoba mempelajari semua hal ini namun aku tidak bisa, mungkin tubuhku tidak mampu menerima kekuatan magis ini. Tapi ada satu mantra yang aku kuasai yaitu mantra agar hilang ingatan. Terdengar aneh, ya? Tapi mantra itu sering membantuku untuk lari dari kejaran orang-orang yang ingin membunuhku. Dan aku sudah menuliskannya di salah satu gulungan itu, nanti kau harus mempelajarinya ya. Hahaha.
Taehyung-ah, ingat kartu-kartu tarot itu dapat membahayakan dirimu dan seluruh manusia. Jika keinginan mereka menjadi manusia menjadi kuat maka mereka akan melakukan berbagai hal untuk mengendalikan manusia. Terdengar mengerikan bukan? Ya, sisi buruk mereka yang sudah kujelaskan dulu dapat membuat eksistensi mereka menjadi tak terkalahkan. Padahal mereka hanyalah kartu.
Tapi mereka memiliki kecerdasan yang dapat mengalahkan manusia karena kecerdasan mereka itu sebenarnya dari magician yang pertama kalinya menciptakan matra-mantra ini kemudian menelusup ke dalam otak mereka dan menyatu di dalam diri mereka, di tambah arwah-arwah leluhur magician itu bersatu dalam diri mereka. Jadi kau harus mengendalikan mereka sebaik mungkin atau “bencana” yang kusebutkan tadi akan terjadi.
Beberapa hal lainnya yang harus kau ketahui adalah kau harus cepat menemukan cawan keabadian agar para politikus atau orang-orang kejam yang ingin hidup abadi lalu bertindak semena-mena tidak dapat mengetahuinya. Lalu kau harus menyembuyikannya dengan cara menghilangkan jejak cawan tersebut.
Ah- aku lupa menjelaskan sebenarnya. Aku tidak kembali ke Inggris karena yang aku tau cawan keabadian ini di sembunyikan oleh salah satu pengurus gereja dari Italia yang melarikan diri ke China lalu meminta seorang prajurit untuk menyembunyikannya di Joseon. Lebih tepatnya di Istana. Jadi aku berniat mencarinya tapi karena aku lelah yasudah- aku beristirahat di rumahmu. Hahaha.
Jika kau ingin lebih tau tentang mereka kau dapat menghidupkan mereka lalu menanyakan semua yang ingin kau tau. Tapi jangan menanyakan hal-hal yang menyinggung mereka contohnya umur mereka.
Ah- satu lagi, kartu yang kau hidupkan untuk pertama kalinya adalah kartu yang secara otomatis akan mendominasi kartu lainnya. Jadi kau harus melihat gerak-gerik kartu tersebut, jika sudah semena-mena atau bertindak yang tidak-tidak, maka kau harus membacakan matra untuk menyegelnya agar tak hidup untuk waktu yang lama. Itulah hukuman yang biasanya magician berikan, dan tunjuklah salah satu kartu atau beberapa kartu untuk menjadi “pemimpin” mereka. Atau- tak sama sekali.
Sudah itu saja yang aku jelaskan. Selamat tinggal, Taehyung-ah.”
Hyungwoon yang tak bisa tidur memutuskan untuk meninggalkan Jungkook yang terlelap di sampingnya lalu berjalan menuju teras.
“Kau belum tidur?” Ujar Hyungwoon seraya duduk di sebelah Taehyung.
Dengan gerakan cepat, Taehyung memasukkan surat itu ke dalam tas.
“Tidak apa. Aku juga tidak ingin tahu tentang surat tersebut.” Ujarnya seraya tertawa.
“Ah- begitu...”
“Hyungwoon-ah, boleh aku bertanya lagi?”
“Silahkan. Bukankah kau ‘tuan’ kami?”
“Aish. Jangan menyebut tuan. Aku bukan tuanmu. Anggap saja aku temanmu, langsung saja. Apa kau tau penyebab kematian Baltazar?”
Hyungwoon berpikir sejenak.
Sekarang, Taehyung membaca buku serta gulungan mantra kemudian membaca buku untuk ujian secara bergantian di beranda rumahnya sementara itu Jungkook dan Hyungwoon hanya melihatnya dengan wajah bosan.
“Apa kau tidak bosan?” Tanya Hyungwoon pada Taehyung.
“Tidak. Memangnya kalian bosan melihatku seperti ini?” Tanya Taehyung tanpa menoleh pada Jungkook dan Hyungwoon.
“Bosan sekali...” Ujar mereka bersamaan.
Taehyung tertawa pelan, ”Arraseo aku tau. Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Tapi aku taruh ‘barang-barang’ ini ke dalam dulu.”
“Eh? Tidak perlu, aku saja yang menaruhnya.” Kemudian Jungkook mengambil buku dan gulungan tersebut untuk di taruhnya di laci kamar Taehyung.
“Gomawo, Jungkook-ah.”
“Cheonma.” Balasnya dengan senyum tipis lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Ketika Jungkook menaruh ‘barang-barang’ Taehyung ke dalam laci tersebut, tanpa sengaja ia menjatuhkan sebuah surat. Surat dari Baltazar. Penasaran dengan isinya, Jungkook membaca surat itu.
Perasaan Jungkook berubah menjadi bingung, marah kemudian otak cerdasnya memerintah Jungkook untuk berkhianat. Ya, dia menginginkan cawan tersebut. Lalu ia akan memaksa Taehyung untuk menyerahkan cawan tersebut padanya.
“Aku harus mengatur rencana.... secepatnya.” Gumam Jungkook dalam hati, lalu ia kembali ke beranda rumah untuk menemui Hyungwoon dan Taehyung. Tak lupa ia menaruh kembali surat tersebut ke dalam laci.
“Sudah siap?”
“Siap.” Jawab Jungkook dan Hyungwoon secara bersamaan. Kemudian, Taehyung mengucapkan sebuah mantra dan mereka menghilang.
—September, 1650
Secara bergantian Taehyung menghidupkan beberapa kartu. Ia menanyainya tentang sifat dan juga karakter mereka lalu mencatatnya, tak lantas mengembalikan mereka ke sosok seperti semula. Taehyung keluar sebentar untuk mengembalikan sebuah buku ke perpustakaan, sementara Jungkook mengumpulkan mereka dan mulai berbicara tentang cawan keabadian.
Seolah ‘teracuni’ dengan perkataan Jungkook, mereka membuat rencana untuk memaksa Taehyung menunjukkan cawan tersebut lalu mereka akan memakai cawan tersebut bersama kemudian mereka akan ‘merebut’ semua milik manusia. Seperti harta, tahta dan hak mereka untuk hidup.
Hyungwoon yang tak setuju akan hal itu hanya diam saja melihat mereka yang mulai menjalankan rencana malam ini.
—Skip--
Taehyung telah pulang dari perpustakaan dan tiba-tiba mulutnya di tutup oleh sebuah kain lalu tangan serta kaki Taehyung di ikat oleh tali yang sangat kuat.
“Ya! Lepaskan aku!” Teriaknya dengan mata tertutup.
“Tidak akan, Taehyung-ah.” Jawab Jungkook dengan seringai mengerikan.
“Jawab aku. Dimana letak cawan itu berada?”
“Cih. Kalian sudah tau surat itu, ya? Dasar licik. Aku tak tau. Kau pikir aku yang menyembunyikannya?”
Terbawa emosi dengan kalimat Taehyung, lelaki itu melayangkan sebuah tinjuan keras pada perut Taehyung.
“Ya! Jangan main-main kau.”
“Apa? Jungkook-ssi, sekalipun kau memukulku sampai mati, aku juga tidak akan memberitahumu karena aku sendiri tidak tau letaknya.”
Jungkook ingin melayangkan tinjuan itu lagi namun tangannya dihalau oleh Hyungwoon.
“Cukup! Ini salah. Harusnya kau sadar kalau kita hanyalah kartu, Jungkook-ah. Lepaskan Taehyung lalu lupakan ambisimu untuk menjadi manusia seuntuhnya.”
“Harusnya kau mendukungku. Bukankah kau juga ingin menjadi manusia?!” Bentak Jungkook seraya menarik kerah baju Hyungwoon.
“Ya, aku memang ingin menjadi manusia. Tapi secepatnya aku sadar diri, bukan sepertimu yang se-enaknya.”
“Tolol! Pukuli Hyungwoon sampai dia sadar.”
Kemudian mereka menyeret Hyungwoon untuk menjauh dari Taehyung lalu memukulinya. Entah kekuatan darimana, Hyungwoon membalas pukulan mereka dengan luka yang cukup parah lalu secepatnya ia mengambil tas milik Taehyung untuk ia bawa lari dari para kartu tarot.
Hyungwoon terus berlari dengan kepalanya yang terluka karena pukulan kayu dari salah satu kartu tarot. Mau tak mau ia harus berlari untuk menjauhi para kartu tarot yang ingin menyengelnya dengan mantra yang tertulis di gulungan milik magician.
“Sial, tenagaku sudah habis.” Gumamnya pelan kemudian sampailah dia pada rumah seorang Shaman. Tanpa pikir panjang, Hyungwoon masuk ke dalam rumah tersebut kemudian bersembunyi disana.
Di dalam rumah itu terdapat banyak barang-barang yang menurutnya aneh termasuk sebuah cermin besar yang terpajang di tengah rumah tersebut. Cermin antik yang dihiasi ukiran berbentuk naga. Penasaran dengan cermin tersebut, Hyungwoon melangkahkan kakinya mendekat pada cermin tersebut lalu mengusapnya. Tanpa memakan waktu lama, Hyungwoon menghilang seperti di tarik oleh cermin itu ke dimensi yang tidak ia kenal sebelumnya.
Masih dengan baju hanbok yang terkena luka ia terduduk di sebuah kamar yang menurutnya begitu asing.
“Apakah ini masih di Joseon? Atau aku sudah mati?” Pikirnya heran kemudian Hyungwoon berdiri dan berkeliling melihat isi kamar tersebut.
“Apa ini? Bentuknya aneh.” Ia memutar-mutar eyeliner tersebut lalu menaruhnya kembali.
Klek
Pintu kamar tersebut terbuka. Ternyata yang membukanya adalah empunya kamar tersebut.
“Siapa kau?! Maniak ya?! Heh!! Pergi pergi!” Teriak Wooju panik lalu gadis cantik itu mengambil sapu untuk memukul Hyungwoon tapi ia mengurungkan niatnya karena baju Hyungwoon penuh dengan bercak darah.
“K-kau siapa? Kenapa terluka begitu?” Tanya Wooju gugup.
“Namaku Hyungwoon. Chae Hyungwoon. Apakah ini masih di- arg.” Hyungwoon terduduk di lantai seraya memegang kepalanya yang terluka.
“Eh? Sebentar sebentar, akan aku obati lukamu.”
Sebenarnya Wooju masih curiga pada lelaki asing yang tiba-tiba berada di kamarnya. Ia takut lelaki itu bersembunyi di rumahnya karena buronan polisi namun karena ibunya mengajarkan untuk tidak berprasangka buruk dulu, mau tak mau Wooju mengambilkan kotak obat untuk mengobati luka Hyungwoon.
“Cha- sudah selesai. Oiya, bajumu terkena darah tuh. Pakailah baju ayahku saja.” Lalu memberikan sebuah kemeja serta celana pada Hyungwoon.
“Iya iya, aku keluar.”
Wooju yang sadar akan tatapan Hyungwoon pun keluar dari kamar lalu beberapa menit kemudian Hyungwoon keluar dengan baju ayah milik Wooju.
“Duduklah dahulu di ruang tamu. Aku akan membersihkan kamarku dulu dari ehm..lukamu hehehe.”
“Baiklah. Maafkan aku sebelumnya.” Ujar Hyungwoon pelan.
—--
Setelah selesai membersihkan kamar, Wooju mengambilkan beberapa kue untuk Hyungwoon. Lalu mulai mengintrogasi lelaki itu dengan banyak pertanyaan.
“Jadi kau datang darimana? Planet Mars?”
“Yang aku tau aku berasal dari Joseon, lalu tiba-tiba aku terduduk di kamarmu. Aku sendiri tak tau kenapa bisa begitu.”
Wooju menatap Hyungwoon dengan tatapan tak percaya lalu ia tertawa terbahak sampai perutnya sakit, “Tunggu, jangan bercanda. Kalau kau ingin mengada-ada jangan membawa Dinasti Joseon. Itu tidak mungkin.”
“Itu benar, nona. Buktinya itu adalah bajuku tadi.”
Wooju terdiam, “Benar juga ya..” Gumamnya dalam hati.
“Ah- tapi kan bisa saja kau adalah aktor yang bermain di drama kolosal, kan?”
Hyungwoon teringat dengan tas milik Taehyung kemudian mengeluarkan semua gulungan dan buku yang masih tersisa.
“Lihatlah, nona.”
Lalu Wooju melihat setiap gulungan tersebut dengan tatapan tak percaya sekaligus terkejut, ini benar-benar nyata. Setiap tulisannya dan juga kertasnya seperti yang ia lihat di museum. Bukan seperti yang terdapat di film ataupun drama.
“Jadi kau seorang time traveler?!” Tanya Wooju dengan nada agak tinggi.
“Apa itu?” Tanya Hyungwoon tak mengerti.
“Artinya penjelajah waktu....”
Kemudian Wooju merenung-memikirkan-bagaimana bisa Hyungwoon datang ke tahun ini.
“Hah? Jadi sekarang tahun berapa?”
“Tahun 2015....” Ujar Wooju dengan tatapan kosong. Jangan heran, jika Wooju terlalu terkejut ia pasti seperti itu. Tapi, sepertinya itu suatu hal yang biasa kan?
Hyungwoon terkejut dengan jawaban dari Wooju, “Aigoo, kepalaku semakin pusing memikirkan semua ini...” Gumam Hyungwoon dalam hati.
“Ah- Nona, kau tak apa?” Lalu mengibaskan tangannya di depan wajah Wooju.
Wooju tersadar, “Aku tak apa. Jadi kau berasal dari tahun berapa dan bagaimana kau bisa datang kesini?”
“Aku berasal dari tahun 1650 dan aku sendiri tak tahu caranya. Yang jelas tadi malam aku berlari dari kejaran beberapa orang yang berniat ingin melenyapkanku kemudian aku bersembunyi di rumah seorang shaman. Disana aku menemui sebuah cermin kemudian aku mengusapnya. Setelah itu, aku merasa seperti di tarik oleh cahaya putih. Lalu- ya seperti inilah jadinya. Aku berada di rumahmu, nona.” Jelasnya panjang lebar.
“Astaga ini seperti drama dan film yang aku tonton....” Ujar Wooju tak percaya.
“Jadi cermin yang ada di kamarku itu adalah mesin waktu? Hebat juga. Kau ingin kembali?”
Hyungwoon berpikir sejenak, sebenarnya ia ingin kembali untuk menyelamatkan Taehyung dan juga cawan tersebut. Namun lukanya belum sembuh total.
“Ya, aku ingin kembali.”
“Kalau begitu coba saja kau usapkan cermin tersebut sekarang.”
Kemudian Hyungwoon berjalan dengan langkah pelan menuju kamar Wooju dan mengusap cermin tersebut seperti yang ia lakukan tadi malam, tapi hasilnya nihil.
Beberapa hal lainnya yang harus kau ketahui adalah kau harus cepat menemukan cawan keabadian agar para politikus atau orang-orang kejam yang ingin hidup abadi lalu bertindak semena-mena tidak dapat mengetahuinya. Lalu kau harus menyembuyikannya dengan cara menghilangkan jejak cawan tersebut.
Ah- aku lupa menjelaskan sebenarnya. Aku tidak kembali ke Inggris karena yang aku tau cawan keabadian ini di sembunyikan oleh salah satu pengurus gereja dari Italia yang melarikan diri ke China lalu meminta seorang prajurit untuk menyembunyikannya di Joseon. Lebih tepatnya di Istana. Jadi aku berniat mencarinya tapi karena aku lelah yasudah- aku beristirahat di rumahmu. Hahaha.
Jika kau ingin lebih tau tentang mereka kau dapat menghidupkan mereka lalu menanyakan semua yang ingin kau tau. Tapi jangan menanyakan hal-hal yang menyinggung mereka contohnya umur mereka.
Ah- satu lagi, kartu yang kau hidupkan untuk pertama kalinya adalah kartu yang secara otomatis akan mendominasi kartu lainnya. Jadi kau harus melihat gerak-gerik kartu tersebut, jika sudah semena-mena atau bertindak yang tidak-tidak, maka kau harus membacakan matra untuk menyegelnya agar tak hidup untuk waktu yang lama. Itulah hukuman yang biasanya magician berikan, dan tunjuklah salah satu kartu atau beberapa kartu untuk menjadi “pemimpin” mereka. Atau- tak sama sekali.
Sudah itu saja yang aku jelaskan. Selamat tinggal, Taehyung-ah.”
Hyungwoon yang tak bisa tidur memutuskan untuk meninggalkan Jungkook yang terlelap di sampingnya lalu berjalan menuju teras.
“Kau belum tidur?” Ujar Hyungwoon seraya duduk di sebelah Taehyung.
Dengan gerakan cepat, Taehyung memasukkan surat itu ke dalam tas.
“Tidak apa. Aku juga tidak ingin tahu tentang surat tersebut.” Ujarnya seraya tertawa.
“Ah- begitu...”
“Hyungwoon-ah, boleh aku bertanya lagi?”
“Silahkan. Bukankah kau ‘tuan’ kami?”
“Aish. Jangan menyebut tuan. Aku bukan tuanmu. Anggap saja aku temanmu, langsung saja. Apa kau tau penyebab kematian Baltazar?”
Hyungwoon berpikir sejenak.
Sekarang, Taehyung membaca buku serta gulungan mantra kemudian membaca buku untuk ujian secara bergantian di beranda rumahnya sementara itu Jungkook dan Hyungwoon hanya melihatnya dengan wajah bosan.
“Apa kau tidak bosan?” Tanya Hyungwoon pada Taehyung.
“Tidak. Memangnya kalian bosan melihatku seperti ini?” Tanya Taehyung tanpa menoleh pada Jungkook dan Hyungwoon.
“Bosan sekali...” Ujar mereka bersamaan.
Taehyung tertawa pelan, ”Arraseo aku tau. Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Tapi aku taruh ‘barang-barang’ ini ke dalam dulu.”
“Eh? Tidak perlu, aku saja yang menaruhnya.” Kemudian Jungkook mengambil buku dan gulungan tersebut untuk di taruhnya di laci kamar Taehyung.
“Gomawo, Jungkook-ah.”
“Cheonma.” Balasnya dengan senyum tipis lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Ketika Jungkook menaruh ‘barang-barang’ Taehyung ke dalam laci tersebut, tanpa sengaja ia menjatuhkan sebuah surat. Surat dari Baltazar. Penasaran dengan isinya, Jungkook membaca surat itu.
Perasaan Jungkook berubah menjadi bingung, marah kemudian otak cerdasnya memerintah Jungkook untuk berkhianat. Ya, dia menginginkan cawan tersebut. Lalu ia akan memaksa Taehyung untuk menyerahkan cawan tersebut padanya.
“Aku harus mengatur rencana.... secepatnya.” Gumam Jungkook dalam hati, lalu ia kembali ke beranda rumah untuk menemui Hyungwoon dan Taehyung. Tak lupa ia menaruh kembali surat tersebut ke dalam laci.
“Sudah siap?”
“Siap.” Jawab Jungkook dan Hyungwoon secara bersamaan. Kemudian, Taehyung mengucapkan sebuah mantra dan mereka menghilang.
—September, 1650
Secara bergantian Taehyung menghidupkan beberapa kartu. Ia menanyainya tentang sifat dan juga karakter mereka lalu mencatatnya, tak lantas mengembalikan mereka ke sosok seperti semula. Taehyung keluar sebentar untuk mengembalikan sebuah buku ke perpustakaan, sementara Jungkook mengumpulkan mereka dan mulai berbicara tentang cawan keabadian.
Seolah ‘teracuni’ dengan perkataan Jungkook, mereka membuat rencana untuk memaksa Taehyung menunjukkan cawan tersebut lalu mereka akan memakai cawan tersebut bersama kemudian mereka akan ‘merebut’ semua milik manusia. Seperti harta, tahta dan hak mereka untuk hidup.
Hyungwoon yang tak setuju akan hal itu hanya diam saja melihat mereka yang mulai menjalankan rencana malam ini.
—Skip--
Taehyung telah pulang dari perpustakaan dan tiba-tiba mulutnya di tutup oleh sebuah kain lalu tangan serta kaki Taehyung di ikat oleh tali yang sangat kuat.
“Ya! Lepaskan aku!” Teriaknya dengan mata tertutup.
“Tidak akan, Taehyung-ah.” Jawab Jungkook dengan seringai mengerikan.
“Jawab aku. Dimana letak cawan itu berada?”
“Cih. Kalian sudah tau surat itu, ya? Dasar licik. Aku tak tau. Kau pikir aku yang menyembunyikannya?”
Terbawa emosi dengan kalimat Taehyung, lelaki itu melayangkan sebuah tinjuan keras pada perut Taehyung.
“Ya! Jangan main-main kau.”
“Apa? Jungkook-ssi, sekalipun kau memukulku sampai mati, aku juga tidak akan memberitahumu karena aku sendiri tidak tau letaknya.”
Jungkook ingin melayangkan tinjuan itu lagi namun tangannya dihalau oleh Hyungwoon.
“Cukup! Ini salah. Harusnya kau sadar kalau kita hanyalah kartu, Jungkook-ah. Lepaskan Taehyung lalu lupakan ambisimu untuk menjadi manusia seuntuhnya.”
“Harusnya kau mendukungku. Bukankah kau juga ingin menjadi manusia?!” Bentak Jungkook seraya menarik kerah baju Hyungwoon.
“Ya, aku memang ingin menjadi manusia. Tapi secepatnya aku sadar diri, bukan sepertimu yang se-enaknya.”
“Tolol! Pukuli Hyungwoon sampai dia sadar.”
Kemudian mereka menyeret Hyungwoon untuk menjauh dari Taehyung lalu memukulinya. Entah kekuatan darimana, Hyungwoon membalas pukulan mereka dengan luka yang cukup parah lalu secepatnya ia mengambil tas milik Taehyung untuk ia bawa lari dari para kartu tarot.
Hyungwoon terus berlari dengan kepalanya yang terluka karena pukulan kayu dari salah satu kartu tarot. Mau tak mau ia harus berlari untuk menjauhi para kartu tarot yang ingin menyengelnya dengan mantra yang tertulis di gulungan milik magician.
“Sial, tenagaku sudah habis.” Gumamnya pelan kemudian sampailah dia pada rumah seorang Shaman. Tanpa pikir panjang, Hyungwoon masuk ke dalam rumah tersebut kemudian bersembunyi disana.
Di dalam rumah itu terdapat banyak barang-barang yang menurutnya aneh termasuk sebuah cermin besar yang terpajang di tengah rumah tersebut. Cermin antik yang dihiasi ukiran berbentuk naga. Penasaran dengan cermin tersebut, Hyungwoon melangkahkan kakinya mendekat pada cermin tersebut lalu mengusapnya. Tanpa memakan waktu lama, Hyungwoon menghilang seperti di tarik oleh cermin itu ke dimensi yang tidak ia kenal sebelumnya.
Masih dengan baju hanbok yang terkena luka ia terduduk di sebuah kamar yang menurutnya begitu asing.
“Apakah ini masih di Joseon? Atau aku sudah mati?” Pikirnya heran kemudian Hyungwoon berdiri dan berkeliling melihat isi kamar tersebut.
“Apa ini? Bentuknya aneh.” Ia memutar-mutar eyeliner tersebut lalu menaruhnya kembali.
Klek
Pintu kamar tersebut terbuka. Ternyata yang membukanya adalah empunya kamar tersebut.
“Siapa kau?! Maniak ya?! Heh!! Pergi pergi!” Teriak Wooju panik lalu gadis cantik itu mengambil sapu untuk memukul Hyungwoon tapi ia mengurungkan niatnya karena baju Hyungwoon penuh dengan bercak darah.
“K-kau siapa? Kenapa terluka begitu?” Tanya Wooju gugup.
“Namaku Hyungwoon. Chae Hyungwoon. Apakah ini masih di- arg.” Hyungwoon terduduk di lantai seraya memegang kepalanya yang terluka.
“Eh? Sebentar sebentar, akan aku obati lukamu.”
Sebenarnya Wooju masih curiga pada lelaki asing yang tiba-tiba berada di kamarnya. Ia takut lelaki itu bersembunyi di rumahnya karena buronan polisi namun karena ibunya mengajarkan untuk tidak berprasangka buruk dulu, mau tak mau Wooju mengambilkan kotak obat untuk mengobati luka Hyungwoon.
“Cha- sudah selesai. Oiya, bajumu terkena darah tuh. Pakailah baju ayahku saja.” Lalu memberikan sebuah kemeja serta celana pada Hyungwoon.
“Iya iya, aku keluar.”
Wooju yang sadar akan tatapan Hyungwoon pun keluar dari kamar lalu beberapa menit kemudian Hyungwoon keluar dengan baju ayah milik Wooju.
“Duduklah dahulu di ruang tamu. Aku akan membersihkan kamarku dulu dari ehm..lukamu hehehe.”
“Baiklah. Maafkan aku sebelumnya.” Ujar Hyungwoon pelan.
—--
Setelah selesai membersihkan kamar, Wooju mengambilkan beberapa kue untuk Hyungwoon. Lalu mulai mengintrogasi lelaki itu dengan banyak pertanyaan.
“Jadi kau datang darimana? Planet Mars?”
“Yang aku tau aku berasal dari Joseon, lalu tiba-tiba aku terduduk di kamarmu. Aku sendiri tak tau kenapa bisa begitu.”
Wooju menatap Hyungwoon dengan tatapan tak percaya lalu ia tertawa terbahak sampai perutnya sakit, “Tunggu, jangan bercanda. Kalau kau ingin mengada-ada jangan membawa Dinasti Joseon. Itu tidak mungkin.”
“Itu benar, nona. Buktinya itu adalah bajuku tadi.”
Wooju terdiam, “Benar juga ya..” Gumamnya dalam hati.
“Ah- tapi kan bisa saja kau adalah aktor yang bermain di drama kolosal, kan?”
Hyungwoon teringat dengan tas milik Taehyung kemudian mengeluarkan semua gulungan dan buku yang masih tersisa.
“Lihatlah, nona.”
Lalu Wooju melihat setiap gulungan tersebut dengan tatapan tak percaya sekaligus terkejut, ini benar-benar nyata. Setiap tulisannya dan juga kertasnya seperti yang ia lihat di museum. Bukan seperti yang terdapat di film ataupun drama.
“Jadi kau seorang time traveler?!” Tanya Wooju dengan nada agak tinggi.
“Apa itu?” Tanya Hyungwoon tak mengerti.
“Artinya penjelajah waktu....”
Kemudian Wooju merenung-memikirkan-bagaimana bisa Hyungwoon datang ke tahun ini.
“Hah? Jadi sekarang tahun berapa?”
“Tahun 2015....” Ujar Wooju dengan tatapan kosong. Jangan heran, jika Wooju terlalu terkejut ia pasti seperti itu. Tapi, sepertinya itu suatu hal yang biasa kan?
Hyungwoon terkejut dengan jawaban dari Wooju, “Aigoo, kepalaku semakin pusing memikirkan semua ini...” Gumam Hyungwoon dalam hati.
“Ah- Nona, kau tak apa?” Lalu mengibaskan tangannya di depan wajah Wooju.
Wooju tersadar, “Aku tak apa. Jadi kau berasal dari tahun berapa dan bagaimana kau bisa datang kesini?”
“Aku berasal dari tahun 1650 dan aku sendiri tak tahu caranya. Yang jelas tadi malam aku berlari dari kejaran beberapa orang yang berniat ingin melenyapkanku kemudian aku bersembunyi di rumah seorang shaman. Disana aku menemui sebuah cermin kemudian aku mengusapnya. Setelah itu, aku merasa seperti di tarik oleh cahaya putih. Lalu- ya seperti inilah jadinya. Aku berada di rumahmu, nona.” Jelasnya panjang lebar.
“Astaga ini seperti drama dan film yang aku tonton....” Ujar Wooju tak percaya.
“Jadi cermin yang ada di kamarku itu adalah mesin waktu? Hebat juga. Kau ingin kembali?”
Hyungwoon berpikir sejenak, sebenarnya ia ingin kembali untuk menyelamatkan Taehyung dan juga cawan tersebut. Namun lukanya belum sembuh total.
“Ya, aku ingin kembali.”
“Kalau begitu coba saja kau usapkan cermin tersebut sekarang.”
Kemudian Hyungwoon berjalan dengan langkah pelan menuju kamar Wooju dan mengusap cermin tersebut seperti yang ia lakukan tadi malam, tapi hasilnya nihil.
“Eh? Kok tidak bisa?” Tangan Wooju juga ikut mengusap cerminnya. Hasilnya sama. Tak ada cahaya putih yang terpancar dari cermin tersebut.
Hyungwoon kecewa. Ia berjalan ke tempat tidur lalu duduk diam merenungkan nasibnya dan nasib Taehyung kedepannya.
“Sudahlah nanti di coba lagi. Lebih baik kau beristirahat di kamar ayahku, selagi ia pergi bekerja di Jepang kau bisa tinggal disini. Tapi ingat jangan macam-macam denganku atau kupatahkan lehermu.” Ujar Wooju galak.
“Benarkah nona?” Tanya Hyungwoon tak yakin.
“Iya benar, eh- kenapa memanggilku nona sih? Panggil saja Wooju.”
Hyungwoon tersenyum lembut, “Baiklah, Wooju.”
“Tampannya...” Gumam Wooju dalam hati.
—Skip--
Sudah dua minggu, Hyungwoon berada di rumah Wooju. Ia banyak mengenalkan hal baru pada Hyungwoon. Bahkan, Wooju mengajak Hyungwoon untuk berbelanja di Myeongdong.
“Hyungwoon-ah, karena kau sudah berangsur sembuh. Kau harus menemaniku untuk membeli baju baru dan ponsel baru di Myeongdong.” Jelasnya dengan senyum lebar.
“Hah? Apa itu?”
“Itu tempat untuk belanja. Ganti bajumu. Akan kutunggu lima menit lagi.”
Tanpa pikir panjang, Wooju keluar dari taksi tersebut kemudian berlari ke sebuah toko baju yang memberi diskon hanya untuk hari ini saja.
“Ya! Tunggu aku!” Hyungwoon mengikuti Wooju dengan berlari dan masuk ke dalam toko tersebut. Ia terdiam dan melihat sekeliling toko tersebut dengan takjub.
“Jangan disitu terus. Ayo ikut aku.” Kemudian Wooju menarik tangan Hyungwoon untuk mencari gaun yang pas untuknya.
“Mana yang bagus ya?”
Ia melihat gaun-gaun itu dengan bingung. Seleranya itu sebenarnya bewarna merah namun ia bosan. Tapi ia juga ragu.
“Sudahlah beli saja gaun bewarna merah itu. Kau akan terlihat cantik, nona Kim.” Jawab Hyungwoon seraya menyenderkan badannya di tembok.
“Jinja? Yasudah aku akan membeli ini.” Kemudian ia mengambil gaun tersebut dan berlari untuk mencari kemeja dan jas yang pas untuk Hyungwoon.
“Kenapa masih diam? Ayo ikut aku.”
Hyungwoon menghela nafasnya panjang. Mau tak mau ia mengikuti langkah kaki Wooju.
“Kau suka yang mana? Ukuranmu berapa? Ya Tuhan, aku bingung lagi.”
Hyungwoon melihat jas dan kemeja tersebut kemudian ia mengambil kemeja putih dan juga jas bewarna hitam yang menurutnya pas untuk ukuran badannya.
“Ini saja. Ayo cepat pulang.”
“Dasinya kurang....”
Hyungwoon menepuk dahinya, lalu dengan gerakan cepat ia meraih sebuah dasi bewarna hitam.
“Sudah kan?” Hyungwoon berjalan ke kasir dengan mendahului Wooju.
“Belum. Aku kan belum mengajarimu memakai dasi.” Ujar Wooju dengan tatapan polos.
Wooju mulai mengajarkan Hyungwoon untuk memakaikan dasi. Wajah mereka sekarang begitu dekat sehingga membuat Hyungwoon dapat melihat wajah cantik Wooju yang merona merah karena tatapan Hyungwoon yang sungguh membuat jantungnya berdegup kencang.
“Aish sudah sudah.” Ujar Hyungwoon cepat kemudian ia melepas dasi tersebut dan berjalan mendahului Wooju.
“Ya! Dasar tak tahu terima kasih!” Teriak Wooju kesal.
“Ayo, jalannya cepat sedikit. Kau itu seperti siput saja.” Ujar Wooju kesal.
“Sabar. Aku kan membawa barang-barangmu, nona Wooju yang bawel.” Balas Hyungwoon dengan sedikit menekan pada kalimat akhir.
“Hah. Menyebalkan.” Wooju berjalan cepat meninggalkan Hyungwoon yang berteriak-teriak memanggil namanya.
“Hey, nona bawel! Ya! Aish.”
Setelah lama berjalan, tatapan mata Wooju tertuju pada sebuah toko yang menjual ponsel keluaran terbaru dengan diskon yang cukup membuatnya terkejut. Ia memutuskan untuk berjalan masuk ke toko tersebut lalu melihat-lihat ponselnya.
“Silahkan dipilih, nona.” Ujar pelayan toko tersebut.
“Woah- ini murah sekali. Aku beli dua ya.” Ujarnya dengan senyum lebar.
Kemudian, Wooju cepat-cepat mengeluarkan kartu kreditnya kemudian memberikannya pada kasir toko.
Setelah mendapatkan ponsel itu, Wooju kembali ke sosok Hyungwoon. Ia merasa bersalah sudah meminta lelaki itu membawakan barang belanjaannya yang begitu berat.
“Hey...” Panggil Wooju pada Hyungwoon yang duduk di bawah pohon.
“Apa?” Tanyanya dengan wajah dingin.
“Jangan galak begitu. Ayo kita selca. Aku membelikanmu ponsel.”
“Eh? Apa itu?”
“Sudahlah. Menurut saja padaku. Nanti akan kujelaskan dirumah.”
Lalu Wooju mengambil selca dengan Hyungwoon dengan berbagai pose yang cukup aneh.
“Ya! Apa-apaan ini. Wajahku begitu berminyak. Ahhh, lagi-lagi. Sebentar, aku dandan dulu.”
Hyungwoon hanya diam ketika melihat tingkah Wooju yang begitu membuatnya kesal.
Beberapa menit kemudian ponsel Wooju penuh dengan selca mereka. Gadis itu merasa senang sekali melihat wajah Hyungwoon yang biasanya serius menjadi lucu.
“Lihatlah. Kau begitu lucu.”
“Aish.”
“Itu memang benar...”
Tiba-tiba, Wooju menajamkan matanya lalu berteriak memanggil seorang wanita bertubuh kurus dan memakai lensa kacamata yang tebal.
“Hyeri-ya!”
Hyeri yang mendengar suara Wooju lalu menolehkan kepalanya kemudian berjalan menghampiri Wooju.
“Bisa minta tolong? Bawakan ini ke rumahmu dulu. Nanti akan kuambil. Rumahmu kan dekat dari sini. Hehehe.”
“Baiklah...” Balas Hyeri pelan. Kemudian Wooju menyerahkan semua barang belanjaannya kepada Hyeri.
“Terima kasih! Kau memang teman yang baik!”
Teriaknya ketika Hyeri berangsur menjauh.
“Kau memperalatnya? Dia kan wanita.”
“Aku hanya meminta tolong. Apa salahnya? Sudahlah, ayo ikut aku. Kita ke Lotte world.”
Wooju segera menarik tangan Hyungwoon untuk mencari taksi.
“Nah, sekarang kita naik giant loop.” Tunjuk Wooju pada sebuah permainan yang memacu adrenalin.
“Kau gila?!”
“Itu seru. Aku mengajakmu untuk tidak kuno. Menurut saja ya.” Ujarnya lalu menyenggol lengan Hyungwoon pelan.
“Ayo!” Kemudian Wooju menarik tangan Hyungwoon untuk menaiki permainan tersebut.
Setelah sampai di rumah Hyungwoon merasa kepalanya masih saja pusing. Lelaki itu tak habis pikir dengan Wooju.
“Kepalaku...”
“Masih pusing? Ma-maafkan aku. Aku hanya-...”
Sebelum Wooju menyelesaikan kalimatnya, Hyungwoon merasa ingin terjatuh.
“Pelan-pelan ya...” Ujar Wooju seraya membantu Hyungwoon berjalan menuju kamarnya.
“Tidurlah. Maaf untuk tadi....” Kemudian Wooju menuju kamarnya untuk tidur.
Besok siangnya setelah Wooju pulang dari kampusnya ia langsung datang ke kamar Hyungwoon dengan berteriak.
“Hyungwoon-ah!! Buka pintunya.”
“Masuk saja, pintunya tak di kunci.” Ujar Hyungwoon - yang masih berkutat pada ponsel barunya.
Wooju membuka pintu tersebut lalu langsung duduk di sebelah Hyungwoon dengan tingkah merengek pada Hyungwoon.
“Nanti malam, temani aku ke ulang tahunnya Nahyun ya~~” Ujarnya seraya menggoyangkan lengan Hyungwoon.
Hyungwoon menaruh ponsel tersebut di meja kemudian mulai menatap Wooju, “Siapa itu? Teman kuliahmu?”
“Iya. Teman-temanku kan mengajak masing-masing kekasihnya untuk datang ke rumah Nahyun, sedangkan aku tidak punya kekasih. Jadi-...”
“Jadi?”
“Jadi- kau mau ya berpura-pura menjadi kekasihku? Ayolah.” Lalu menatap Hyungwoon dengan tatapan memohon.
Hyungwoon menggaruk rambutnya yang tak gatal.
“Ayolah, bantu aku. Aku tak mau menahan malu lagi seperti tahun kemarin, ya ya ya?”
“Baiklah.” Jawab Hyungwoon dengan senyum lembut.
“Oke! Jadi, aku akan membuatmu menjadi seorang ‘pangeran’ dan kau harus terlihat tampan.”
Tersadar akan ucapannya yang salah, Wooju menjadi salah tingkah.
“Eh maafkan aku. Aku terlalu bersemangat. Sebentar, aku mengambil jas untukmu dulu.” Kemudian berlari keluar dengan wajah memerah.
Beberapa menit kemudian Wooju memberikan sebuah semua perlengkapan yang akan di pakai oleh Hyungwoon. Dari jas, kemeja, dasi serta sepatu.
“Pakailah ini semua, kau sudah tau kan cara memakai dasi? Yasudah aku tinggal ya.” Ujarnya seraya menundukk kemudian Wooju berlari ke kamarnya dengan memegangi wajahnya yang memanas.
“Aish bodoh. Harusnya tak seperti itu.” Makinya kesal.
Setelah turun dari taksi, Hyungwoon menggandeng tangan Wooju agar terlihat seperti sepasang kekasih.
“Jangan menatapku seperti itu, Wooju-ya. Aku tau kalau aku tampan.” Bisik Hyungwoon pada Wooju.
“Ya! Aku tak menatapmu!” Wooju mengangkat gaun merahnya sedikit kemudian berjalan cepat, masuk ke dalam hotel dengan wajah kesalnya.
“Aish, sensitif sekali gadis itu, padahal memang benar kan...”
Kemudian Hyungwoon berjalan mengikuti langkah kaki Wooju dari belakang.
“Nahyun-ah, saengil chukkahamnida~” Kemudian mereka saling mencium pipi.
“Gomawo. Wah- dia siapa?” Tatapan Nahyun beralih pada Hyungwoon yang berada di belakang Wooju.
“Dia kekasihku...” Ujar Wooju dengan wajah memerah.
“Tampannya. Ada saja yang mau dengan gadis galak sepertimu, Wooju-ya.” Ujar Nahyun seraya menyenggol lengan Wooju.
“Jahat sekali.” Ujar Wooju dengan wajah menahan emosi.
“Hey- aku hanya bercanda. Yasudah, nikmatilah pesta ini. Arra?” Ujar Nahyun seraya tertawa.
“Arraseo!” Kemudian Wooju menarik Hyungwoon untuk duduk di bar.
“Kita duduk saja ya. Aku tak pandai berdansa ala Eropa seperti itu.”
“Kau tidak bisa?”
“Iya.” Jawab Wooju seraya menunduk malu.
Hyungwoon berdiri lalu menuntun Wooju untuk berdansa.
“Pegang bahuku lalu tatap mataku. Jangan tegang. Santai saja. Ikuti saja langkah kakiku dan dengarkan musik itu dengan baik.” Kemudian Hyungwoon memegang pinggang Wooju dengan tatapan lembut.
Dan mereka mulai berdansa.
Awalnya memang agak kesusahan namun entah kenapa karena tatapan Hyungwoon yang seakan ‘menyihir’ Wooju. Gadis itu menjadi bisa berdansa seperti ini.
“Cha- kau bisa kan? Jangan bilang tidak kalau belum mencoba.”
Cukup lama mereka berdansa. Wooju sudah mulai mengantuk. Pasti karena ia terlalu lelah memikirkan kuliahnya.
“Sebaiknya kita pulang, kau sudah lelah Wooju-ya.” Ujar Hyungwoon seraya menuntun Wooju keluar kemudian ia memanggil taksi untuk pulang.
—Skip--
Dengan pelan, Hyungwoon membaringkan Wooju ke tempat tidurnya kemudian samar-samar ia mendengar suara meminta tolong.
“Hyungwoon-ah, tolong aku...”
Dan ia yakin, itu suara Taehyung. Hyungwoon segera berlari mengambil tas milik Taehyung kemudian berlutut di depan cermin Wooju.
“Kumohon, siapapun dirimu bawalah aku ke Joseon. Aku berjanji akan melakukan apapun untukmu.”
Kemudian sebuah cahaya putih seperti yang dilihat oleh Hyungwoon kembali terlihat untuk ‘menarik’ lelaki itu kembali ke Joseon.
—Joseon’s Era
“Argggg, sakit!!”
Hyungwoon kembali pada masa Joseon dengan punggung yang terasa sakit karena ia merasa dilempar oleh cahaya tersebut.
“Sial...”
“Hei, anak muda.”
“Eh?”
“Kau buta atau bagaimana? Aku di depanmu.”
Lalu Hyungwoon menengok ke atas. Terlihat seorang wanita setengah baya melayang seraya duduk bersila dengan hanbok serba putih.
“Huaaa, hantu.” Lalu memundurkan tubuhnya ke belakang.
“Bodoh. Aku bukan hantu. Yang membawamu ke masa ini baru hantu. Aku seorang shaman. Panggil aku shaman Jung.” Jelasnya singkat, lalu shaman Jung ‘turun’ seraya menghampiri Hyungwoon yang masih ketakutan.
“Maafkan aku...”
“Tidak apa. Baju apa yang kau pakai? Cepat ganti atau kau akan dalam bahaya. Aku punya baju peninggalan suamiku, pakailah saja dulu.”
Setelah berganti baju, shaman Jung menjelaskan semua yang menimpa Taehyung pada Hyungwoon.
“Kenapa kau bisa tahu?”
“Karena aku seorang shaman, anak muda. Para arwah itu yang membantuku untuk mengetahui semua itu. Kau masih ingat sewaktu kau masuk dengan tidak sopannya ke rumahku?”
“Iya.” Balasnya dengan menunduk. Hyungwoon merasa bersalah. Ia merasa seperti pencuri. Masuk tanpa permisi. Namun, tak apa kan? Karena sewaktu itu begitu mendesak.
“Nah karena itu, aku mencari tahu tentang masalahmu.” Jawabnya singkat.
“Oh...kalau begitu kau akan membantuku kan?”
“Tidak.”
“Ayolah shaman Jung....”
“Tapi ada imbalannya. Belikan arwah itu sepasang garakji.” Seraya menunjuk arwah yang sedang duduk di kursinya.
“Baiklah nanti akan kubelikan...” Ujarnya pelan. Padahal, ia sendiri tak tahu arwah itu ada atau tidaknya, karena ia tak dapat melihat arwah tersebut.
“Kalau begitu ayo bergegas. Kita sudah terlambat. Teman-temanmu membawa Taehyung ke Istana dalam untuk mencari cawan itu.”
Hyungwoon segera membawa tas milik Taehyung lalu berlari mengampiri shaman Jung.
“Kita berlari?”
“Tidak. Kita akan berpindah tempat seperti yang sering kau lakukan dengan ‘tuanmu’ itu.”
Tanpa menunggu lama mereka telah sampai di Istana dalam yang terlihat sepi.
“Tunggu. Bagaimana kalau mereka melawan?” Tanya Hyungwoon seraya mencegah shaman Jung untuk melanjutkan perjalanan.
“Tenang saja. Aku akan membantumu dengan bantuan para arwah-arwah yang berada di belakangku ini.”
Hyungwoon bergidik ngeri tentang arwah yang disebut-sebut oleh shaman Jung.
“Tidak perlu takut, sekalipun rupa mereka menakutkan mereka tak akan mengganggumu.”
Beberapa menit kemudian rombongan Jungkook datang dengan mantra yang dibacakan oleh Taehyung.
“Ya! Kau-” Menggeram marah pada Hyungwoon.
“Apa? Kau kaget?” Tanya Hyungwoon dengan wajah sombong.
“Tidak.” Balas Jungkook singkat.
Hyungwoon berdecih keras, “Sudah jangan bertele-tele lagi. Lepaskan Taehyung.”
Jungkook tertawa keras lalu menyeringai, “Kau memerintahku? Punya hak apa kau?”
“Serang dia.” Teriak Jungkook tanpa menunggu jawaban dari Hyungwoon.
Kemudian para tarot mengeluarkan pedang mereka dan mulai menyerang Hyungwoon. Lelaki itu mulai takut. Berjalan mundur menjauh dari mereka karena ia tidak mempunyai pedang sama sekali, hanya ‘berbekal’ tangan kosong. Tanpa di duga, arwah-arwah yang di panggil oleh shaman Jung telah berada di sampingnya untuk melawan mereka dan memberi Hyungwoon sebuah pedang yang tajam. Perkelahian pun terjadi.
Sedikit goresan mengenai wajah Hyungwoon. Membuat lelaki itu lebih geram terhadap mereka. Ia pun mengayunkan pedang pada mereka secara membabi buta. Jungkook menatapnya marah. Ia mengeluarkan pedangnya kemudian melawan Hyungwoon tanpa bantuan siapapun. Dengan sigap, Jungkook berhasil mengalahkan Hyungwoon dan mengarahkan pedang tersebut tepat pada leher Hyungwoon.
“Menyerahlah.” Ujar Jungkook dingin.
Tanpa mereka sadari, Taehyung yang berada di belakang sana membaca sebuah mantra untuk Hyungwoon. Mantra penguat agar Hyungwoon dapat mengalahkan para tarot itu dengan mudah terutama Jungkook.
Sebuah cahaya putih mulai mengelilingi Hyungwoon. Membuat Jungkook mundur karena cahaya tersebut begitu menyilaukan matanya. Mata Hyungwoon sekarang berubah menjadi biru kemudian lelaki itu mulai membaca mantra sehingga kartu-kartu tersebut berubah menjadi lemah lalu menjadi kembali seperti semula. Dan arwah-arwah tadi pun menghilang.
Ingatkah kau dengan lelaki bermata biru? Ya, dia adalah Baltazar. Yang merasuki Hyungwoon tadi adalah jiwa Baltazar.
Setelah itu, Hyungwoon lemas dan bola matanya kembali menjadi hitam.
Shaman Jung yang sedari tadi bersembunyi di balik pohon kemudian berlari dengan panik ke arah Hyungwoon.
“Kau tidak apa?”
“Tidak apa, shaman Jung...”
“Baiklah. Ayo, kita lepaskan ikatan Taehyung dahulu.” Lalu mereka berajalan menuju Taehyung kemudian melepaskannya dengan hati-hati karena ikatan tersebut begitu kuat dan juga menyakitkan karena para kartu tarot telah memberinya sebuah mantra agar Taehyung tak dapat melepaskannya. Namun dengan mudah shaman Jung melepaskan ikatan tersebut dengan bantuan kekuatan gaib salah satu arwah yang menemaninya tadi.
“Apakah ini sakit?” Tanya Shaman Jung pada Taehyung, “Atau aku akan mengobatimu? Lihatlah, tanganmu sampai berdarah karena ikatan ini.”
“Tidak apa, shaman Jung. Ini hanya luka kecil saja.”
“Eh kau mengenalku?”
“Pasti. Kau itu shaman yang sangat terkenal.”
“Ah- begitu yasudah ku antarkan kalian pulang.” Ujar shaman Jung singkat.
“Eh- tidak perlu. Kami sudah ada caranya. Hehehe.” Balas Taehyung seraya tertawa.
Shaman Jung menepuk dahinya. Ia lupa jika Taehyung seorang magician.
“Ah iya aku lupa. Yasudah pulanglah. Lalu obati luka-luka kalian. Aku akan pulang saja.” Ujarnya cepat kemudian shaman Jung menghilang di kegelapan malam.
Taehyung berhasil dibebaskan kemudian ia menyegel kartu-kartu itu sampai beberapa tahun kemudian. Atau mungkin selamanya
—--
Sesuai dengan janjinya, Hyungwoon sudah bersiap mencari sepasang garakji untuk hantu yang berada di rumah shaman Jung. Dengan memakai satgat ia menutup wajahnya lalu mulai mencari ke seluruh pasar cincin batu giok yang bagus dan murah. Hasilnya masih nihil. Ini membuat Hyungwoon kesal.
“Sial, Taehyung hanya memberiku uang sedikit. Tapi garakji itu begitu mahal. Dan apa masuk akal aku membeli cincin untuk hantu.”
Ia terus berjalan mencari garakji yang murah. Dan akhirnya Hyungwoon dapat tersenyum lebar. Ia menghampiri seorang lelaki tua yang masih menunggu pembeli datang dengan terkantuk-kantuk.
“Permisi.” Ujar Hyungwoon seraya melepas satgat-nya kemudian ia mulai melihat-lihat garakji-garakji tersebut.
“Silahkan dipilih tuan.” Balas lelaki tua itu dengan senyum.
“Aish semuanya bagus...ah- aku pilih yang ini saja.”
Hyungwoon mengambil sepasang garakji bewarna hijau kemudian mengeluarkan uang yang berada di kantongnya, “Apakah semua ini cukup?”
“Lebih dari cukup tuan.” Jawabnya senang.
“Baiklah, akan kuberikan ini padamu.” Kemudian lelaki tua itu memasukkan garakji tersebut ke dalam sebuah tempat kecil kemudian memberikannya pada Hyungwoon.
“Terima kasih banyak, tuan.”
“Sama-sama.” Jawab Hyungwoon singkat seraya tersenyum lalu Hyungwoon memakai kembali satgat-nya untuk pergi ke rumah shaman Jung.
—--
Hyungwoon telah berulang kali mencoba kembali ke masa dimana Wooju tinggal namun gagal. Cermin itu tak memberikan reaksi apapun untuk membuatnya kembali.
Hyungwoon duduk di beranda rumah Taehyung dengan wajah kecewa, kemudian ia menaruh satgat tersebut di sampingnya lalu melamun.
“Hey, bagaimana upacara pernikahan hantunya? Apakah sudah berhasil?” Tanya Taehyung secara tiba-tiba. Membuat Hyungwoon kaget.
“Aish, untung aku tak mempunyai riwayat penyakit jantung. Tak tahu, shaman Jung merahasiakan itu dariku.”
“Lalu apa yang kau pikirkan?”
“Aku memikirkan Wooju....” Balas Hyungwoon dengan wajah sedih.
“Siapa itu? Ceritakan padaku.”
Hyungwoon mulai bercerita tentang kejadian dimana ia ‘tersesat’ di kehidupan modern. Dan ia juga menceritakan tentang perasaannya yang mulai jatuh cinta pada Wooju.
“Dan aku ingin kembali ke masa depan. Jujur aku frustasi memikirkan hal ini setiap malam.”
“Aku akan membantumu.” Ujar Taehyung cepat.
“Caranya?”
“Ikut aku.”
Taehyung mengajak Hyungwoon ke padang bunga yang begitu sepi lalu menyuruhnya untuk menutup mata.
“Bayangkan kau berada di tahun 2015.”
Kemudian Taehyung memegang pundak Hyungwoon dengan erat.
“Movere ad illum locum!”
Hyungwoon menghilang dengan sekejap mata.
“Mantra itu berhasil...” Gumamnya dalam hati lalu Taehyung berjalan kembali ke rumahnya dengan senyum penuh arti.
—December; London; 2015
“Bodoh! Dasar laki-laki bodoh! Aku masih tak percaya dia meninggalkanku sendirian.” Wooju masih saja mengumpat, tanpa memperdulikan banyak orang yang melihatnya dan mungkin mereka berpikir bahwa Wooju adalah orang gila. Dan hampir saja ia melempar ponselnya sendiri ke jalan karena ia frustasi dengan rasa rindunya dengan Hyungwoon.
Sementara itu, Hyungwoon terjatuh di sebuah rumah bergaya Eropa.
“Ya! Siapa kau?” Lelaki tua itu menggambil sebuah senapan laras panjang lalu mengarahkannya pada Hyungwoon.
“Tu-tunggu, aku bukan pencuri, aku orang baik-baik, sir.”
Dongjin terdiam. Ia menaruh senjata tersebut ke tempat semula kemudian mendekat pada sosok Hyungwoon yang masih memakai hanbok.
“Kau-...kau kartu tarot yang hilang itu?”
“Aku merasa kau berbeda, nak.”
Mau tak mau Hyungwoon menceritakan semua kejadian yang menimpanya pada Dongjin.
“Begitu? Akhirnya aku menemukanmu...”
“Eh? Memangnya kenapa? Jangan-jangan kau itu seorang..”
“Iya. Aku seorang magician. Ah sudahlah, yang terpenting kau masih hidup. Tinggal lah disini. Tapi tunggu- Kim Wooju yang kau cari itu wajahnya bagaimana?”
Hyungwoon merogoh saku pada hanbok-nya lalu memperlihatkan sebuah foto selca dirinya dengan Wooju, “Ini dia.”
“Apa?! Dia cucuku!” Ujar Dongjin dengan nada keras karena terkejut akan hal tersebut.
“Kakek!! Wooju menghilang!!” Teriak Yejin secara tiba-tiba lalu masuk ke dalam rumah dan memeluk kakeknya.
"Hah? Di udara sedingin ini? Dasar gadis nakal. Berlibur ke Inggris bukannya membuat senang tapi membuat repot."
"Iya kek. Tadi dia bersamaku dengan wajahnya yang jutek itu terus meninggalkanku. Sudah kucari kemana-mana tapi dia tidak ketemu." Jelas Yejin dengan wajah kesal.
"Jinja? Biarkan aku yang mencarinya, sir."
“Kau yakin?" Tanya Dongjin dengan tatapan tak percaya.
"Aku yakin."
"Yasudah, ganti bajumu dulu lalu carilah cucuku sampai ketemu."
Dongjin menujukkan sebuah kamar pada Hyungwoon lalu menyuruh lelaki itu untuk mengganti bajunya dengan milik putranya, yaitu milik ayah Wooju. Setelah mengganti bajunya, Hyungwoon segera bergegas untuk pergi.
Dongjin kembali ke kamarnya dengan wajah datar. Lalu ia mengucapkan mantra untuk menghidupkan sebuah kartu.
“Ikuti dia.”
“Baiklah, sir.” Dengan cepat, kartu itu berjalan keluar untuk mengikuti Hyungwoon.
“Hey!” Panggil Dongjin dengan suara keras, “Tangkap ini.” Dongjin melempar sebuah jaket tebal untuk kartu itu.
Ia tersenyum tipis, “Terima kasih, sir.” Lalu ia berlari menembus udara dingin kota London.
—--
“Astaga...di udara sedingin ini aku harus mencarinya dimana?” Hyungwoon merapatkan jaketnya kemudian ia dihampiri oleh seorang anak laki-laki yang sadar akan Hyungwoon yang sedang mencari seseorang.
“Hyung, kau mencari siapa?” Tanya bocah tersebut seraya menarik baju Hyungwoon.
“Aku mencari...” Hyungwoon mengeluarkan ponselnya kemudian memperlihatkan foto selca dirinya dengan Wooju.
“Noona itu...dia disana. Sedari tadi mengomel terus, seperti orang gila. Untungnya cantik. Memangnya hyung itu siapa?”
Hyungwoon tersenyum penuh arti lalu mengacak rambut anak laki-laki itu, “Hyung adalah kekasih noona itu dari dimensi lain.”
Anak laki-laki itu berpikir keras, “Bagaimana bisa?”
“Takdir mungkin? Sudahlah, kau itu masih kecil. Jangan banyak tanya, arraseo? Aku pergi dulu ne. Terima kasih.”
Kemudian Hyungwoon menghampiri Wooju dengan langkah hati-hati agar tidak ketahuan seraya menahan tawanya.
"Bodoh bodoh bodoh!!! Duh- dingin sekali....kyaa aku membencimuuuu!!!"
Ternyata, Kim Wooju berada di taman yang di penuhi oleh beberapa anak-anak yang bermain salju.
"Siapa yang kau bilang bodoh?" Tanya Hyungwoon seraya memakaikan topi hangat pada Wooju.
"Ya kaulah! Eh?" Lalu menatap Hyungwoon dengan mulut sedikit terbuka.
"Apa?"
"Ya! Bodoh!! Hyungwoon bodoh! Aku mengkhawatirkanmu tapi kau tanya apa? Dasar bodoh!" Wooju terus saja mengumpat lalu melemparkan salju pada Hyungwoon.
"Hey, hey, hey. Cukup.” Kemudian Hyungwoon mendekat pada Wooju dan memeluknya.
"Aku membencimu...."
"Tapi aku mencintaimu, Wooju-ya." Balas Hyungwoon seraya mempererat pelukan tersebut.
"Jinja?" Menatap Hyungwoon dengan tatapan tak percaya, “Sungguh? Kau bercanda? Bukankah kita baru saja kenal?”
"Cerewet. Itu benar. Kalau tak percaya, yasudah. Ayo kita pulang." Jawabnya malas.
"Kalau aku tidak mau bagaimana?"
"Akan aku cium sampai kau pingsan."
"Dasar mesum."
Wooju mendorong Hyungwoon sampai jatuh lalu meninggalkannya.
"Hey mesum, kejar aku!!" Ujar Wooju seraya tertawa.
"Ya! Awas kau!” Teriak Hyungwoon emosi.
Tanpa mereka ketahui, ada seseorang yang megawasi gerak-gerik mereka yaitu kartu yang diperintah oleh Dongjin untuk mengikuti Hyungwoon.Dia Jeon Jungkook, menyeringai penuh arti seraya menatap Hyungwoon dan Wooju secara tajam, “Aku berjanji pada diriku sendiri kalau kau akan kalah, Hyungwoon-ah.”
[End]
Bokgeon: Sebuah penutup kepala yang terbuat dari kain berwarna hitam yang biasa dipakai oleh sarjana atau pelajar.
Futon: Tempat tidur gelar tradisional.
Garakji: Sebutan yang digunakn untuk sepasang cincin. Cincin ini digunakan oleh wanita yang sudah menikah, sebagai pertanda tentang keharmonisan bersama suami
Satgat: Topi yang berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami, satgat biasanya digunakan oleh para petani dan biksu, dan kebanyakan digunakan sebagai penutup wajah pada drama sageuk.
Hanbok: Pakaian tradisional masyarakat Korea.
Shaman (Mudang): Biasanya dipegang oleh wanita yang melakukan kontak (menghubungkan) antara dewa dan manusia. Melakukan upacara mengundang arwah yang disebut dengan Gut.
The Magician as Kim Taehyung
King of Cups as Chae Hyungwon
Kim Wooju
Knight of Swords as Jeon Jungkook
Hong Yejin (OC)
Shin Dongjin (OC)
Genre: Fantasy, Romance, Supernatural.
- January, 1650
Terjadi pada dinasti Joseon, masa pemerintahan Raja Hyojong yang dulunya adalah Pangeran Bongrim kemudian di angkat sebagai Putra Mahkota baru setelah kematian Pangeran Sohyeon di kamar Raja Injo.
Ia melakukan banyak sekali perubahan pada masa itu, terutama tentang modernisasi Joseon. Yang membuat, banyak kapal asing dari benua Eropa berlabuh ke Korea Selatan. Termasuk kapal dari negara Inggris yang membawa barang-barang untuk di perjualbelikan di Korea Selatan seperti barang-barang antik dan juga perhiasan untuk para wanita terutama gisaeng. Bukan hanya pedagang yang ikut dalam perjalanan jauh tersebut, namun seorang magician yang menguasai tiga bahasa sekaligus - Spanyol, China, dan Korea – bernama Baltazar.
Baltazar mempunyai sifat tak terburu-buru dalam melakukan suatu hal, sangat terperinci, tidak suka menunggu hal yang tidak pasti, jarang berbicara dengan orang lain, dan termasuk orang yang tertutup.
Terkadang ia mempunyai kebiasaan yang aneh. Bukan aneh sebenarnya tetapi memang itulah pekerjaannya namun caranya saja yang aneh. Seperti salah satu seorang wanita Korea yang ia temui tadi sore. Ia meminta wanita itu untuk mengikuti dirinya ke tempat sepi. Dan disinilah Baltazar melakukan hal ajaib itu, ia akan meramal sifat wanita itu dengan menghidupkan kartu tarot dengan sebuah mantra kemudian meminta kartu tarot tersebut untuk menjelaskan semua sifat dari wanita cantik itu. Alangkah terkejutnya dia, sifat yang di deskripsikan kartu tarot itu sama persis dengan dirinya. Ia menjelaskan juga bagaimana baiknya ia harus bersikap pada orang lain dan masalah yang akan ia hadapi nanti. Hebat, bukan?
Setelah itu, Baltazar membacakan mantra kembali dan kartu tarot yang tadinya berwujud seperti manusia, berubah kembali menjadi sebuah kartu yang nantinya akan ia simpan ke dalam tas miliknya.
Sebelum mengucapkan sebuah perpisahan dengan wanita cantik itu, ia meminta padanya untuk menatap kedua mata birunya lalu dengan ajaibnya Baltazar membuat wanita tadi lupa pada kartu tarot yang ia lihat ‘hidup’ tadi. Yang ia ingat hanyalah suatu penjelasan yang samar-samar tentang dirinya dari seseorang yang asing. Kemudian ia pergi untuk meneruskan perjalanan panjangnya, meninggalkan wanita yang masih terpana dengan sosok Baltazar. Perjalanan di negeri gingseng itu tak hanya sampai disitu saja namun Baltazar meneruskan perjalanan panjangnya dengan mengikuti hembusan angin.
Perjalanan jauh ini membuat Baltazar lelah, ia memutuskan untuk duduk di beranda sebuah rumah lalu menaruh tasnya.
“Siapa kau?” Tanya seorang lelaki yang masih memakai bokgeon.
“Saya, Baltazar. Maaf jika mengganggumu, sir.” Ujarnya pelan seraya berdiri lalu menundukkan kepala sedikit pada Taehyung.
“Eh? Jangan terlalu formal padaku. Panggil saja Taehyung.” Ujarnya pelan lalu mempersilahkan lelaki jangkung tersebut untuk masuk.
“Masuklah, pasti kau lelah. Terlihat sekali dari wajahmu itu.”
“Ah..terima kasih.” Balas Baltazar singkat lalu ia masuk ke dalam rumah Taehyung.
—Skip--
“Jadi kau seorang pedagang, kan?” Tanya Taehyung, mulai membuka topik pembicaraan.
“Sebenarnya bukan, aku adalah seorang magician.” Balas Baltazar dengan wajah serius.
“Dan aku rasa hidupku sudah tak lama lagi. Aku membutuhkan seseorang untuk merawat semua ini.” Ia membuka tas miliknya dan mengeluarkan isinya –sebuah buku dengan sampul bewarna coklat dan sebuah kantong kecil yang berisi kartu tarot.
“Eh? Apa ini?” Tatapan tak mengerti Taehyung membuat Baltazar tersenyum tipis.
“Ini semua milikku dan akan menjadi milikmu. Aku adalah seorang magician, Taehyung. Jika barang-barang ini berada di tangan yang salah maka mereka akan menggunakan barang-barang ini untuk kepentingan mereka masing-masing. Kupikir kau adalah orang yang tepat untuk menjaga ini semua. Anggaplah bahwa ini warisan untukmu.”
“Dan satu lagi, simpan ini juga dengan baik-baik.” Seraya menunjukkan sebuah buku tua yang berisi mantra dengan bahasa Latin.
“Apa ini?” Tanyanya heran. Lelaki bermata biru itu tersenyum lagi kemudian mulai menjelaskan satu per satu semua mantra yang berada di dalamnya pada Taehyung.
- February, 1650
Setelah Taehyung pulang dari Sungkyunkwan, lelaki itu pasti mencoba menghafalkan mantra-mantra tersebut dengan menutup matanya dan memfokuskan pikiran pada kartu yang ingin ia hidupkan.
Tapi gagal. Padahal ia selalu melatih kemampuan yang selalu Baltazar ajarkan, dan ia sendiri rasanya ingin menyerah saja dan meminta Baltazar untuk mencari seseorang yang lebih lihai akan hal seperti ini. Namun, jawaban Baltazar selalu sama.
‘Kau adalah orang yang tepat. Jadi, tak mungkin aku menyerahkan semua ini pada orang yang salah.’
Tepat pada malam hari, Baltazar menaruh tasnya di kamar Taehyung beserta sebuah catatan yang nantinya Taehyung baca sewaktu ia bangun keesokan harinya.
“Taehyung-ah, aku pergi. Jaga diri baik-baik. Dan jaga ‘mereka’ dengan sepenuh hatimu.” Ujarnya lalu berjalan keluar dari rumah Taehyung.
Pagi harinya, seluruh penduduk desa gempar dengan kematian seseorang yang tergeletak di pinggir jalanan desa. Taehyung yang masih terlelap kemudian mencoba bangun dan mengikuti arah dimana mereka berlari.
“Ya! Baltazar, hei bangun!” Taehyung berteriak pada lelaki itu kemudian mencoba menepuk-nepuk pipinya agar ia bangun.
“Ini tidak lucu. Bangunlah...”
“Sudahlah, Taehyung. Lebih baik kita makamkan dia.” Kemudian jasad lelaki bermata biru itu dibawa oleh sebuah tandu untuk dimakamkan.
Baltazar telah meninggal dengan tenang. Dengan senyum yang terlukis di wajahnya. Namun, kematiannya ini masih menjadi tanda tanya bagi Taehyung.
- July, 1650
Malam harinya, Taehyung tak dapat tidur. Ia masih memikirkan tentang barang-barang milik Baltazar yang ia tinggalkan untuk dirinya. Taehyung mencoba membuka lagi tas Baltazar seraya merenung di kamarnya.
“Benarkah mereka bisa hidup? Yang benar saja.” Ujar Taehyung tak yakin.
Kemudian, Taehyung menaruh kartu-kartu itu secara berurutan di atas meja dari Major Arcana sampai Minor Arcana, ia melihat ‘mereka’ dengan teliti.
Dengan ragu-ragu, Taehyung mencoba mengambil dua kartu dari Minor Arcana dan memasukkan kartu lainnya ke dalam kantong. Ia mencoba menutup matanya dan berkonsentrasi seraya mengucapkan mantra.
Tiba-tiba, cahaya biru memenuhi kamar Taehyung. Cahaya seperti bola arwah yang akan menghidupkan dua kartu tersebut.
Terlihatlah sekarang, dua orang lelaki tampan yang berdiri di depan Taehyung dengan baju hanbok.
“Woah, hebat kita menjadi orang Korea? Biasanya menjadi orang Inggris.” Ujar salah satu lelaki tersebut.
“Eh? Kalian siapa?!” Tanya Taehyung seraya memundurkan badannya ke belakang.
“Kami adalah kartu yang pertama kali kau hidupkan, sir. Aku adalah Knight of Swords dan dia adalah King of Cups. Berilah kami nama dahulu, nanti akan kami jelaskan tentang magician terdahulu agar kau mengerti, sir.” Lalu tersenyum tipis kemudian duduk saling berhadapan dengan Taehyung.
“Baiklah, akan kuberi nama kalian Jeon Jungkook dan Chae Hyungwoon. Bagaimana?”
Kedua kartu itu saling berhadapan lalu tersenyum, “Setuju. Nama kami Jungkook dan Hyungwoon.” Ujar Jungkook menyetujuinya.
“Kalau begitu jelaskan padaku tentang semua ini. Kupikir penjelasan dari Baltazar kurang cukup.”
“Baiklah, sir. Akan kami jelaskan.” Ujar mereka bersamaan.
“Biasanya kami terbentuk pertama kali dengan keyakinan seorang magician tentang kartu tarot yang dapat hidup. Namun, kali ini sepertinya berbeda, Kau adalah magician pertama yang berasumsi bahwa kartu tarot tidak nyata. Awalnya kami-...“
“Tunggu, ini semua benar? Bagaimana kalian bisa tau tentang itu?” Tanya Taehyung memotong penjelasan dari Jungkook.
“Benar, sir. Kami mengetahui ini, karena seorang magician dan kartu tarot mempunyai ikatan batin yang kuat. Jadi, jangan heran jika kami tau tentang isi pikiranmu tentang kami, sir.” Balas Jungkook pada Taehyung.
Taehyung menganggukkan kepalanya pelan, “Aku mengerti.”
“Satu hal yang kuminta. Jangan memanggilku dengan embel-embel ‘sir’ karena aku tak suka itu.”
“Ah, maafkan kami. Kami sudah terbiasa.” Ujar Hyungwoon menundukkan kepalanya sedikit.
“Tidak apa, sekarang jelaskan padaku lagi. Oiya, kalian bisa memanggilku Taehyung.”
Kemudian Jungkook dan Hyungwoon menjelaskan kembali fakta dan sejarah tentang ‘mereka’ dan seorang magician.
“Dulunya kami adalah kartu tarot biasa namun karena seorang bangsawan dari Inggris dimana ia dianugerahi kecerdasan yang tinggi serta kekuatan magis di dalam darahnya, ia membuat mantra-mantra yang membuat kami dapat hidup. Sebelumnya maafkan kami karena tidak dapat mengingat namanya. Hanya bisa mengingat wajahnya saja karena sudah lama sekali. Dan juga kami selalu berpindah tangan dari magician satu ke magician yang lain, namun kami akan menjelaskan sebisa kami, Taehyung-ah.” Ujar Hyungwoon panjang lebar.
“Aku mengerti itu. Silakan lanjutkan.”
“Kami sebenarnya tidak memiliki wajah tetap, tergantung penggambaran magician kami tentang kartu tarot yang akan dia hidupkan. Jadi, dulunya wajah kami bukanlah dari Asia melainkan dari Eropa. Mungkin ini pertama kalinya kami memiliki wajah seorang Korea.” Lanjut Hyungwoon.
“Tunggu, jadi aku yang membuat wajah kalian? Kenapa bisa begitu?”
“Benar. Kau yang menggambarkan sosok kami. Karena kau adalah pengendali kami.” Jawab Jungkook kemudian.
Taehyung menganggukkan kepala lagi lalu meminta Jungkook dan Hyungwoon untuk tidur.
“Tapi seharusnya kami dikembalikan lagi menjadi kartu.” Ujar Jungkook tak mengerti.
“Sudahlah, kalian tidur saja. Aku masih membutuhkan kalian untuk aku ajak bicara.” Kemudian Taehyung mengambilkan futon untuk mereka.
“Cha- kalian tidurlah. Jangan banyak protes lagi.”
Akhirnya, mereka menuruti perintah Taehyung untuk tidur.
Taehyung masih tetap terjaga untuk melihat isi tas Baltazar. Ia memutuskan untuk pergi ke teras ; untuk membuka isi tas Baltazar. Terdapat banyak gulungan dan juga buku yang ditinggalkan oleh lelaki itu. Taehyung mengambil salah satu gulungan lalu membacanya. Ternyata itu adalah surat dari Baltazar untuk Taehyung.
“Buku serta gulungan yang bertuliskan hangul serta bahasa Latin ini adalah penjelasan dan mantra tentang kekuatan magis yang akan kau jalankan nantinya, Taehyung-ah.
Maaf selama ini aku tak menjelaskanmu secara langsung karena kupikir kau lebih mengerti jika membaca daripada aku menjelaskannya dari mulutku sendiri.
Kekuatan magis yang akan kau jalani ini bukanlah hanya menghidupkan serta mengendalikan kartu saja, kau dapat mempelajari juga tentang menghidupkan benda mati serta berpindah tempat dan mengendalikan waktu sesuai keinganmu. Tapi ruang lingkupnya hanyalah tempat pada masa Joseon saja, dan waktu yang kau ubah hanyalah masa depan tapi jarak dari tahun, bulan, hari sekarang hanyalah berjarak enam tahun. Selebihnya itu tidak bisa. Tapi- aku sendiri tak yakin, kudengar ada magician yang pergi ke masa depan dimana banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian modern. Mungkin kau bisa mencari informasinya di Italia. Aku sudah mencoba kesana namun hasilnya nihil.
Dan karena kabar itulah aku yakin para tetua yang tinggal di Italia menyimpan sebuah rahasia besar tentang kekuatan magis itu.
Aku mencoba mempelajari semua hal ini namun aku tidak bisa, mungkin tubuhku tidak mampu menerima kekuatan magis ini. Tapi ada satu mantra yang aku kuasai yaitu mantra agar hilang ingatan. Terdengar aneh, ya? Tapi mantra itu sering membantuku untuk lari dari kejaran orang-orang yang ingin membunuhku. Dan aku sudah menuliskannya di salah satu gulungan itu, nanti kau harus mempelajarinya ya. Hahaha.
Taehyung-ah, ingat kartu-kartu tarot itu dapat membahayakan dirimu dan seluruh manusia. Jika keinginan mereka menjadi manusia menjadi kuat maka mereka akan melakukan berbagai hal untuk mengendalikan manusia. Terdengar mengerikan bukan? Ya, sisi buruk mereka yang sudah kujelaskan dulu dapat membuat eksistensi mereka menjadi tak terkalahkan. Padahal mereka hanyalah kartu.
Tapi mereka memiliki kecerdasan yang dapat mengalahkan manusia karena kecerdasan mereka itu sebenarnya dari magician yang pertama kalinya menciptakan matra-mantra ini kemudian menelusup ke dalam otak mereka dan menyatu di dalam diri mereka, di tambah arwah-arwah leluhur magician itu bersatu dalam diri mereka. Jadi kau harus mengendalikan mereka sebaik mungkin atau “bencana” yang kusebutkan tadi akan terjadi.
Beberapa hal lainnya yang harus kau ketahui adalah kau harus cepat menemukan cawan keabadian agar para politikus atau orang-orang kejam yang ingin hidup abadi lalu bertindak semena-mena tidak dapat mengetahuinya. Lalu kau harus menyembuyikannya dengan cara menghilangkan jejak cawan tersebut.
Ah- aku lupa menjelaskan sebenarnya. Aku tidak kembali ke Inggris karena yang aku tau cawan keabadian ini di sembunyikan oleh salah satu pengurus gereja dari Italia yang melarikan diri ke China lalu meminta seorang prajurit untuk menyembunyikannya di Joseon. Lebih tepatnya di Istana. Jadi aku berniat mencarinya tapi karena aku lelah yasudah- aku beristirahat di rumahmu. Hahaha.
Jika kau ingin lebih tau tentang mereka kau dapat menghidupkan mereka lalu menanyakan semua yang ingin kau tau. Tapi jangan menanyakan hal-hal yang menyinggung mereka contohnya umur mereka.
Ah- satu lagi, kartu yang kau hidupkan untuk pertama kalinya adalah kartu yang secara otomatis akan mendominasi kartu lainnya. Jadi kau harus melihat gerak-gerik kartu tersebut, jika sudah semena-mena atau bertindak yang tidak-tidak, maka kau harus membacakan matra untuk menyegelnya agar tak hidup untuk waktu yang lama. Itulah hukuman yang biasanya magician berikan, dan tunjuklah salah satu kartu atau beberapa kartu untuk menjadi “pemimpin” mereka. Atau- tak sama sekali.
Sudah itu saja yang aku jelaskan. Selamat tinggal, Taehyung-ah.”
Hyungwoon yang tak bisa tidur memutuskan untuk meninggalkan Jungkook yang terlelap di sampingnya lalu berjalan menuju teras.
“Kau belum tidur?” Ujar Hyungwoon seraya duduk di sebelah Taehyung.
Dengan gerakan cepat, Taehyung memasukkan surat itu ke dalam tas.
“Tidak apa. Aku juga tidak ingin tahu tentang surat tersebut.” Ujarnya seraya tertawa.
“Ah- begitu...”
“Hyungwoon-ah, boleh aku bertanya lagi?”
“Silahkan. Bukankah kau ‘tuan’ kami?”
“Aish. Jangan menyebut tuan. Aku bukan tuanmu. Anggap saja aku temanmu, langsung saja. Apa kau tau penyebab kematian Baltazar?”
Hyungwoon berpikir sejenak.
Sekarang, Taehyung membaca buku serta gulungan mantra kemudian membaca buku untuk ujian secara bergantian di beranda rumahnya sementara itu Jungkook dan Hyungwoon hanya melihatnya dengan wajah bosan.
“Apa kau tidak bosan?” Tanya Hyungwoon pada Taehyung.
“Tidak. Memangnya kalian bosan melihatku seperti ini?” Tanya Taehyung tanpa menoleh pada Jungkook dan Hyungwoon.
“Bosan sekali...” Ujar mereka bersamaan.
Taehyung tertawa pelan, ”Arraseo aku tau. Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Tapi aku taruh ‘barang-barang’ ini ke dalam dulu.”
“Eh? Tidak perlu, aku saja yang menaruhnya.” Kemudian Jungkook mengambil buku dan gulungan tersebut untuk di taruhnya di laci kamar Taehyung.
“Gomawo, Jungkook-ah.”
“Cheonma.” Balasnya dengan senyum tipis lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Ketika Jungkook menaruh ‘barang-barang’ Taehyung ke dalam laci tersebut, tanpa sengaja ia menjatuhkan sebuah surat. Surat dari Baltazar. Penasaran dengan isinya, Jungkook membaca surat itu.
Perasaan Jungkook berubah menjadi bingung, marah kemudian otak cerdasnya memerintah Jungkook untuk berkhianat. Ya, dia menginginkan cawan tersebut. Lalu ia akan memaksa Taehyung untuk menyerahkan cawan tersebut padanya.
“Aku harus mengatur rencana.... secepatnya.” Gumam Jungkook dalam hati, lalu ia kembali ke beranda rumah untuk menemui Hyungwoon dan Taehyung. Tak lupa ia menaruh kembali surat tersebut ke dalam laci.
“Sudah siap?”
“Siap.” Jawab Jungkook dan Hyungwoon secara bersamaan. Kemudian, Taehyung mengucapkan sebuah mantra dan mereka menghilang.
—September, 1650
Secara bergantian Taehyung menghidupkan beberapa kartu. Ia menanyainya tentang sifat dan juga karakter mereka lalu mencatatnya, tak lantas mengembalikan mereka ke sosok seperti semula. Taehyung keluar sebentar untuk mengembalikan sebuah buku ke perpustakaan, sementara Jungkook mengumpulkan mereka dan mulai berbicara tentang cawan keabadian.
Seolah ‘teracuni’ dengan perkataan Jungkook, mereka membuat rencana untuk memaksa Taehyung menunjukkan cawan tersebut lalu mereka akan memakai cawan tersebut bersama kemudian mereka akan ‘merebut’ semua milik manusia. Seperti harta, tahta dan hak mereka untuk hidup.
Hyungwoon yang tak setuju akan hal itu hanya diam saja melihat mereka yang mulai menjalankan rencana malam ini.
—Skip--
Taehyung telah pulang dari perpustakaan dan tiba-tiba mulutnya di tutup oleh sebuah kain lalu tangan serta kaki Taehyung di ikat oleh tali yang sangat kuat.
“Ya! Lepaskan aku!” Teriaknya dengan mata tertutup.
“Tidak akan, Taehyung-ah.” Jawab Jungkook dengan seringai mengerikan.
“Jawab aku. Dimana letak cawan itu berada?”
“Cih. Kalian sudah tau surat itu, ya? Dasar licik. Aku tak tau. Kau pikir aku yang menyembunyikannya?”
Terbawa emosi dengan kalimat Taehyung, lelaki itu melayangkan sebuah tinjuan keras pada perut Taehyung.
“Ya! Jangan main-main kau.”
“Apa? Jungkook-ssi, sekalipun kau memukulku sampai mati, aku juga tidak akan memberitahumu karena aku sendiri tidak tau letaknya.”
Jungkook ingin melayangkan tinjuan itu lagi namun tangannya dihalau oleh Hyungwoon.
“Cukup! Ini salah. Harusnya kau sadar kalau kita hanyalah kartu, Jungkook-ah. Lepaskan Taehyung lalu lupakan ambisimu untuk menjadi manusia seuntuhnya.”
“Harusnya kau mendukungku. Bukankah kau juga ingin menjadi manusia?!” Bentak Jungkook seraya menarik kerah baju Hyungwoon.
“Ya, aku memang ingin menjadi manusia. Tapi secepatnya aku sadar diri, bukan sepertimu yang se-enaknya.”
“Tolol! Pukuli Hyungwoon sampai dia sadar.”
Kemudian mereka menyeret Hyungwoon untuk menjauh dari Taehyung lalu memukulinya. Entah kekuatan darimana, Hyungwoon membalas pukulan mereka dengan luka yang cukup parah lalu secepatnya ia mengambil tas milik Taehyung untuk ia bawa lari dari para kartu tarot.
Hyungwoon terus berlari dengan kepalanya yang terluka karena pukulan kayu dari salah satu kartu tarot. Mau tak mau ia harus berlari untuk menjauhi para kartu tarot yang ingin menyengelnya dengan mantra yang tertulis di gulungan milik magician.
“Sial, tenagaku sudah habis.” Gumamnya pelan kemudian sampailah dia pada rumah seorang Shaman. Tanpa pikir panjang, Hyungwoon masuk ke dalam rumah tersebut kemudian bersembunyi disana.
Di dalam rumah itu terdapat banyak barang-barang yang menurutnya aneh termasuk sebuah cermin besar yang terpajang di tengah rumah tersebut. Cermin antik yang dihiasi ukiran berbentuk naga. Penasaran dengan cermin tersebut, Hyungwoon melangkahkan kakinya mendekat pada cermin tersebut lalu mengusapnya. Tanpa memakan waktu lama, Hyungwoon menghilang seperti di tarik oleh cermin itu ke dimensi yang tidak ia kenal sebelumnya.
- September, 2015
Masih dengan baju hanbok yang terkena luka ia terduduk di sebuah kamar yang menurutnya begitu asing.
“Apakah ini masih di Joseon? Atau aku sudah mati?” Pikirnya heran kemudian Hyungwoon berdiri dan berkeliling melihat isi kamar tersebut.
“Apa ini? Bentuknya aneh.” Ia memutar-mutar eyeliner tersebut lalu menaruhnya kembali.
Klek
Pintu kamar tersebut terbuka. Ternyata yang membukanya adalah empunya kamar tersebut.
“Siapa kau?! Maniak ya?! Heh!! Pergi pergi!” Teriak Wooju panik lalu gadis cantik itu mengambil sapu untuk memukul Hyungwoon tapi ia mengurungkan niatnya karena baju Hyungwoon penuh dengan bercak darah.
“K-kau siapa? Kenapa terluka begitu?” Tanya Wooju gugup.
“Namaku Hyungwoon. Chae Hyungwoon. Apakah ini masih di- arg.” Hyungwoon terduduk di lantai seraya memegang kepalanya yang terluka.
“Eh? Sebentar sebentar, akan aku obati lukamu.”
Sebenarnya Wooju masih curiga pada lelaki asing yang tiba-tiba berada di kamarnya. Ia takut lelaki itu bersembunyi di rumahnya karena buronan polisi namun karena ibunya mengajarkan untuk tidak berprasangka buruk dulu, mau tak mau Wooju mengambilkan kotak obat untuk mengobati luka Hyungwoon.
“Cha- sudah selesai. Oiya, bajumu terkena darah tuh. Pakailah baju ayahku saja.” Lalu memberikan sebuah kemeja serta celana pada Hyungwoon.
“Iya iya, aku keluar.”
Wooju yang sadar akan tatapan Hyungwoon pun keluar dari kamar lalu beberapa menit kemudian Hyungwoon keluar dengan baju ayah milik Wooju.
“Duduklah dahulu di ruang tamu. Aku akan membersihkan kamarku dulu dari ehm..lukamu hehehe.”
“Baiklah. Maafkan aku sebelumnya.” Ujar Hyungwoon pelan.
—--
Setelah selesai membersihkan kamar, Wooju mengambilkan beberapa kue untuk Hyungwoon. Lalu mulai mengintrogasi lelaki itu dengan banyak pertanyaan.
“Jadi kau datang darimana? Planet Mars?”
“Yang aku tau aku berasal dari Joseon, lalu tiba-tiba aku terduduk di kamarmu. Aku sendiri tak tau kenapa bisa begitu.”
Wooju menatap Hyungwoon dengan tatapan tak percaya lalu ia tertawa terbahak sampai perutnya sakit, “Tunggu, jangan bercanda. Kalau kau ingin mengada-ada jangan membawa Dinasti Joseon. Itu tidak mungkin.”
“Itu benar, nona. Buktinya itu adalah bajuku tadi.”
Wooju terdiam, “Benar juga ya..” Gumamnya dalam hati.
“Ah- tapi kan bisa saja kau adalah aktor yang bermain di drama kolosal, kan?”
Hyungwoon teringat dengan tas milik Taehyung kemudian mengeluarkan semua gulungan dan buku yang masih tersisa.
“Lihatlah, nona.”
Lalu Wooju melihat setiap gulungan tersebut dengan tatapan tak percaya sekaligus terkejut, ini benar-benar nyata. Setiap tulisannya dan juga kertasnya seperti yang ia lihat di museum. Bukan seperti yang terdapat di film ataupun drama.
“Jadi kau seorang time traveler?!” Tanya Wooju dengan nada agak tinggi.
“Apa itu?” Tanya Hyungwoon tak mengerti.
“Artinya penjelajah waktu....”
Kemudian Wooju merenung-memikirkan-bagaimana bisa Hyungwoon datang ke tahun ini.
“Hah? Jadi sekarang tahun berapa?”
“Tahun 2015....” Ujar Wooju dengan tatapan kosong. Jangan heran, jika Wooju terlalu terkejut ia pasti seperti itu. Tapi, sepertinya itu suatu hal yang biasa kan?
Hyungwoon terkejut dengan jawaban dari Wooju, “Aigoo, kepalaku semakin pusing memikirkan semua ini...” Gumam Hyungwoon dalam hati.
“Ah- Nona, kau tak apa?” Lalu mengibaskan tangannya di depan wajah Wooju.
Wooju tersadar, “Aku tak apa. Jadi kau berasal dari tahun berapa dan bagaimana kau bisa datang kesini?”
“Aku berasal dari tahun 1650 dan aku sendiri tak tahu caranya. Yang jelas tadi malam aku berlari dari kejaran beberapa orang yang berniat ingin melenyapkanku kemudian aku bersembunyi di rumah seorang shaman. Disana aku menemui sebuah cermin kemudian aku mengusapnya. Setelah itu, aku merasa seperti di tarik oleh cahaya putih. Lalu- ya seperti inilah jadinya. Aku berada di rumahmu, nona.” Jelasnya panjang lebar.
“Astaga ini seperti drama dan film yang aku tonton....” Ujar Wooju tak percaya.
“Jadi cermin yang ada di kamarku itu adalah mesin waktu? Hebat juga. Kau ingin kembali?”
Hyungwoon berpikir sejenak, sebenarnya ia ingin kembali untuk menyelamatkan Taehyung dan juga cawan tersebut. Namun lukanya belum sembuh total.
“Ya, aku ingin kembali.”
“Kalau begitu coba saja kau usapkan cermin tersebut sekarang.”
Kemudian Hyungwoon berjalan dengan langkah pelan menuju kamar Wooju dan mengusap cermin tersebut seperti yang ia lakukan tadi malam, tapi hasilnya nihil.
Beberapa hal lainnya yang harus kau ketahui adalah kau harus cepat menemukan cawan keabadian agar para politikus atau orang-orang kejam yang ingin hidup abadi lalu bertindak semena-mena tidak dapat mengetahuinya. Lalu kau harus menyembuyikannya dengan cara menghilangkan jejak cawan tersebut.
Ah- aku lupa menjelaskan sebenarnya. Aku tidak kembali ke Inggris karena yang aku tau cawan keabadian ini di sembunyikan oleh salah satu pengurus gereja dari Italia yang melarikan diri ke China lalu meminta seorang prajurit untuk menyembunyikannya di Joseon. Lebih tepatnya di Istana. Jadi aku berniat mencarinya tapi karena aku lelah yasudah- aku beristirahat di rumahmu. Hahaha.
Jika kau ingin lebih tau tentang mereka kau dapat menghidupkan mereka lalu menanyakan semua yang ingin kau tau. Tapi jangan menanyakan hal-hal yang menyinggung mereka contohnya umur mereka.
Ah- satu lagi, kartu yang kau hidupkan untuk pertama kalinya adalah kartu yang secara otomatis akan mendominasi kartu lainnya. Jadi kau harus melihat gerak-gerik kartu tersebut, jika sudah semena-mena atau bertindak yang tidak-tidak, maka kau harus membacakan matra untuk menyegelnya agar tak hidup untuk waktu yang lama. Itulah hukuman yang biasanya magician berikan, dan tunjuklah salah satu kartu atau beberapa kartu untuk menjadi “pemimpin” mereka. Atau- tak sama sekali.
Sudah itu saja yang aku jelaskan. Selamat tinggal, Taehyung-ah.”
Hyungwoon yang tak bisa tidur memutuskan untuk meninggalkan Jungkook yang terlelap di sampingnya lalu berjalan menuju teras.
“Kau belum tidur?” Ujar Hyungwoon seraya duduk di sebelah Taehyung.
Dengan gerakan cepat, Taehyung memasukkan surat itu ke dalam tas.
“Tidak apa. Aku juga tidak ingin tahu tentang surat tersebut.” Ujarnya seraya tertawa.
“Ah- begitu...”
“Hyungwoon-ah, boleh aku bertanya lagi?”
“Silahkan. Bukankah kau ‘tuan’ kami?”
“Aish. Jangan menyebut tuan. Aku bukan tuanmu. Anggap saja aku temanmu, langsung saja. Apa kau tau penyebab kematian Baltazar?”
Hyungwoon berpikir sejenak.
Sekarang, Taehyung membaca buku serta gulungan mantra kemudian membaca buku untuk ujian secara bergantian di beranda rumahnya sementara itu Jungkook dan Hyungwoon hanya melihatnya dengan wajah bosan.
“Apa kau tidak bosan?” Tanya Hyungwoon pada Taehyung.
“Tidak. Memangnya kalian bosan melihatku seperti ini?” Tanya Taehyung tanpa menoleh pada Jungkook dan Hyungwoon.
“Bosan sekali...” Ujar mereka bersamaan.
Taehyung tertawa pelan, ”Arraseo aku tau. Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Tapi aku taruh ‘barang-barang’ ini ke dalam dulu.”
“Eh? Tidak perlu, aku saja yang menaruhnya.” Kemudian Jungkook mengambil buku dan gulungan tersebut untuk di taruhnya di laci kamar Taehyung.
“Gomawo, Jungkook-ah.”
“Cheonma.” Balasnya dengan senyum tipis lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Ketika Jungkook menaruh ‘barang-barang’ Taehyung ke dalam laci tersebut, tanpa sengaja ia menjatuhkan sebuah surat. Surat dari Baltazar. Penasaran dengan isinya, Jungkook membaca surat itu.
Perasaan Jungkook berubah menjadi bingung, marah kemudian otak cerdasnya memerintah Jungkook untuk berkhianat. Ya, dia menginginkan cawan tersebut. Lalu ia akan memaksa Taehyung untuk menyerahkan cawan tersebut padanya.
“Aku harus mengatur rencana.... secepatnya.” Gumam Jungkook dalam hati, lalu ia kembali ke beranda rumah untuk menemui Hyungwoon dan Taehyung. Tak lupa ia menaruh kembali surat tersebut ke dalam laci.
“Sudah siap?”
“Siap.” Jawab Jungkook dan Hyungwoon secara bersamaan. Kemudian, Taehyung mengucapkan sebuah mantra dan mereka menghilang.
—September, 1650
Secara bergantian Taehyung menghidupkan beberapa kartu. Ia menanyainya tentang sifat dan juga karakter mereka lalu mencatatnya, tak lantas mengembalikan mereka ke sosok seperti semula. Taehyung keluar sebentar untuk mengembalikan sebuah buku ke perpustakaan, sementara Jungkook mengumpulkan mereka dan mulai berbicara tentang cawan keabadian.
Seolah ‘teracuni’ dengan perkataan Jungkook, mereka membuat rencana untuk memaksa Taehyung menunjukkan cawan tersebut lalu mereka akan memakai cawan tersebut bersama kemudian mereka akan ‘merebut’ semua milik manusia. Seperti harta, tahta dan hak mereka untuk hidup.
Hyungwoon yang tak setuju akan hal itu hanya diam saja melihat mereka yang mulai menjalankan rencana malam ini.
—Skip--
Taehyung telah pulang dari perpustakaan dan tiba-tiba mulutnya di tutup oleh sebuah kain lalu tangan serta kaki Taehyung di ikat oleh tali yang sangat kuat.
“Ya! Lepaskan aku!” Teriaknya dengan mata tertutup.
“Tidak akan, Taehyung-ah.” Jawab Jungkook dengan seringai mengerikan.
“Jawab aku. Dimana letak cawan itu berada?”
“Cih. Kalian sudah tau surat itu, ya? Dasar licik. Aku tak tau. Kau pikir aku yang menyembunyikannya?”
Terbawa emosi dengan kalimat Taehyung, lelaki itu melayangkan sebuah tinjuan keras pada perut Taehyung.
“Ya! Jangan main-main kau.”
“Apa? Jungkook-ssi, sekalipun kau memukulku sampai mati, aku juga tidak akan memberitahumu karena aku sendiri tidak tau letaknya.”
Jungkook ingin melayangkan tinjuan itu lagi namun tangannya dihalau oleh Hyungwoon.
“Cukup! Ini salah. Harusnya kau sadar kalau kita hanyalah kartu, Jungkook-ah. Lepaskan Taehyung lalu lupakan ambisimu untuk menjadi manusia seuntuhnya.”
“Harusnya kau mendukungku. Bukankah kau juga ingin menjadi manusia?!” Bentak Jungkook seraya menarik kerah baju Hyungwoon.
“Ya, aku memang ingin menjadi manusia. Tapi secepatnya aku sadar diri, bukan sepertimu yang se-enaknya.”
“Tolol! Pukuli Hyungwoon sampai dia sadar.”
Kemudian mereka menyeret Hyungwoon untuk menjauh dari Taehyung lalu memukulinya. Entah kekuatan darimana, Hyungwoon membalas pukulan mereka dengan luka yang cukup parah lalu secepatnya ia mengambil tas milik Taehyung untuk ia bawa lari dari para kartu tarot.
Hyungwoon terus berlari dengan kepalanya yang terluka karena pukulan kayu dari salah satu kartu tarot. Mau tak mau ia harus berlari untuk menjauhi para kartu tarot yang ingin menyengelnya dengan mantra yang tertulis di gulungan milik magician.
“Sial, tenagaku sudah habis.” Gumamnya pelan kemudian sampailah dia pada rumah seorang Shaman. Tanpa pikir panjang, Hyungwoon masuk ke dalam rumah tersebut kemudian bersembunyi disana.
Di dalam rumah itu terdapat banyak barang-barang yang menurutnya aneh termasuk sebuah cermin besar yang terpajang di tengah rumah tersebut. Cermin antik yang dihiasi ukiran berbentuk naga. Penasaran dengan cermin tersebut, Hyungwoon melangkahkan kakinya mendekat pada cermin tersebut lalu mengusapnya. Tanpa memakan waktu lama, Hyungwoon menghilang seperti di tarik oleh cermin itu ke dimensi yang tidak ia kenal sebelumnya.
- September, 2015
Masih dengan baju hanbok yang terkena luka ia terduduk di sebuah kamar yang menurutnya begitu asing.
“Apakah ini masih di Joseon? Atau aku sudah mati?” Pikirnya heran kemudian Hyungwoon berdiri dan berkeliling melihat isi kamar tersebut.
“Apa ini? Bentuknya aneh.” Ia memutar-mutar eyeliner tersebut lalu menaruhnya kembali.
Klek
Pintu kamar tersebut terbuka. Ternyata yang membukanya adalah empunya kamar tersebut.
“Siapa kau?! Maniak ya?! Heh!! Pergi pergi!” Teriak Wooju panik lalu gadis cantik itu mengambil sapu untuk memukul Hyungwoon tapi ia mengurungkan niatnya karena baju Hyungwoon penuh dengan bercak darah.
“K-kau siapa? Kenapa terluka begitu?” Tanya Wooju gugup.
“Namaku Hyungwoon. Chae Hyungwoon. Apakah ini masih di- arg.” Hyungwoon terduduk di lantai seraya memegang kepalanya yang terluka.
“Eh? Sebentar sebentar, akan aku obati lukamu.”
Sebenarnya Wooju masih curiga pada lelaki asing yang tiba-tiba berada di kamarnya. Ia takut lelaki itu bersembunyi di rumahnya karena buronan polisi namun karena ibunya mengajarkan untuk tidak berprasangka buruk dulu, mau tak mau Wooju mengambilkan kotak obat untuk mengobati luka Hyungwoon.
“Cha- sudah selesai. Oiya, bajumu terkena darah tuh. Pakailah baju ayahku saja.” Lalu memberikan sebuah kemeja serta celana pada Hyungwoon.
“Iya iya, aku keluar.”
Wooju yang sadar akan tatapan Hyungwoon pun keluar dari kamar lalu beberapa menit kemudian Hyungwoon keluar dengan baju ayah milik Wooju.
“Duduklah dahulu di ruang tamu. Aku akan membersihkan kamarku dulu dari ehm..lukamu hehehe.”
“Baiklah. Maafkan aku sebelumnya.” Ujar Hyungwoon pelan.
—--
Setelah selesai membersihkan kamar, Wooju mengambilkan beberapa kue untuk Hyungwoon. Lalu mulai mengintrogasi lelaki itu dengan banyak pertanyaan.
“Jadi kau datang darimana? Planet Mars?”
“Yang aku tau aku berasal dari Joseon, lalu tiba-tiba aku terduduk di kamarmu. Aku sendiri tak tau kenapa bisa begitu.”
Wooju menatap Hyungwoon dengan tatapan tak percaya lalu ia tertawa terbahak sampai perutnya sakit, “Tunggu, jangan bercanda. Kalau kau ingin mengada-ada jangan membawa Dinasti Joseon. Itu tidak mungkin.”
“Itu benar, nona. Buktinya itu adalah bajuku tadi.”
Wooju terdiam, “Benar juga ya..” Gumamnya dalam hati.
“Ah- tapi kan bisa saja kau adalah aktor yang bermain di drama kolosal, kan?”
Hyungwoon teringat dengan tas milik Taehyung kemudian mengeluarkan semua gulungan dan buku yang masih tersisa.
“Lihatlah, nona.”
Lalu Wooju melihat setiap gulungan tersebut dengan tatapan tak percaya sekaligus terkejut, ini benar-benar nyata. Setiap tulisannya dan juga kertasnya seperti yang ia lihat di museum. Bukan seperti yang terdapat di film ataupun drama.
“Jadi kau seorang time traveler?!” Tanya Wooju dengan nada agak tinggi.
“Apa itu?” Tanya Hyungwoon tak mengerti.
“Artinya penjelajah waktu....”
Kemudian Wooju merenung-memikirkan-bagaimana bisa Hyungwoon datang ke tahun ini.
“Hah? Jadi sekarang tahun berapa?”
“Tahun 2015....” Ujar Wooju dengan tatapan kosong. Jangan heran, jika Wooju terlalu terkejut ia pasti seperti itu. Tapi, sepertinya itu suatu hal yang biasa kan?
Hyungwoon terkejut dengan jawaban dari Wooju, “Aigoo, kepalaku semakin pusing memikirkan semua ini...” Gumam Hyungwoon dalam hati.
“Ah- Nona, kau tak apa?” Lalu mengibaskan tangannya di depan wajah Wooju.
Wooju tersadar, “Aku tak apa. Jadi kau berasal dari tahun berapa dan bagaimana kau bisa datang kesini?”
“Aku berasal dari tahun 1650 dan aku sendiri tak tahu caranya. Yang jelas tadi malam aku berlari dari kejaran beberapa orang yang berniat ingin melenyapkanku kemudian aku bersembunyi di rumah seorang shaman. Disana aku menemui sebuah cermin kemudian aku mengusapnya. Setelah itu, aku merasa seperti di tarik oleh cahaya putih. Lalu- ya seperti inilah jadinya. Aku berada di rumahmu, nona.” Jelasnya panjang lebar.
“Astaga ini seperti drama dan film yang aku tonton....” Ujar Wooju tak percaya.
“Jadi cermin yang ada di kamarku itu adalah mesin waktu? Hebat juga. Kau ingin kembali?”
Hyungwoon berpikir sejenak, sebenarnya ia ingin kembali untuk menyelamatkan Taehyung dan juga cawan tersebut. Namun lukanya belum sembuh total.
“Ya, aku ingin kembali.”
“Kalau begitu coba saja kau usapkan cermin tersebut sekarang.”
Kemudian Hyungwoon berjalan dengan langkah pelan menuju kamar Wooju dan mengusap cermin tersebut seperti yang ia lakukan tadi malam, tapi hasilnya nihil.
“Eh? Kok tidak bisa?” Tangan Wooju juga ikut mengusap cerminnya. Hasilnya sama. Tak ada cahaya putih yang terpancar dari cermin tersebut.
Hyungwoon kecewa. Ia berjalan ke tempat tidur lalu duduk diam merenungkan nasibnya dan nasib Taehyung kedepannya.
“Sudahlah nanti di coba lagi. Lebih baik kau beristirahat di kamar ayahku, selagi ia pergi bekerja di Jepang kau bisa tinggal disini. Tapi ingat jangan macam-macam denganku atau kupatahkan lehermu.” Ujar Wooju galak.
“Benarkah nona?” Tanya Hyungwoon tak yakin.
“Iya benar, eh- kenapa memanggilku nona sih? Panggil saja Wooju.”
Hyungwoon tersenyum lembut, “Baiklah, Wooju.”
“Tampannya...” Gumam Wooju dalam hati.
—Skip--
Sudah dua minggu, Hyungwoon berada di rumah Wooju. Ia banyak mengenalkan hal baru pada Hyungwoon. Bahkan, Wooju mengajak Hyungwoon untuk berbelanja di Myeongdong.
“Hyungwoon-ah, karena kau sudah berangsur sembuh. Kau harus menemaniku untuk membeli baju baru dan ponsel baru di Myeongdong.” Jelasnya dengan senyum lebar.
“Hah? Apa itu?”
“Itu tempat untuk belanja. Ganti bajumu. Akan kutunggu lima menit lagi.”
- At Myeongdong’s Shopping District
Tanpa pikir panjang, Wooju keluar dari taksi tersebut kemudian berlari ke sebuah toko baju yang memberi diskon hanya untuk hari ini saja.
“Ya! Tunggu aku!” Hyungwoon mengikuti Wooju dengan berlari dan masuk ke dalam toko tersebut. Ia terdiam dan melihat sekeliling toko tersebut dengan takjub.
“Jangan disitu terus. Ayo ikut aku.” Kemudian Wooju menarik tangan Hyungwoon untuk mencari gaun yang pas untuknya.
“Mana yang bagus ya?”
Ia melihat gaun-gaun itu dengan bingung. Seleranya itu sebenarnya bewarna merah namun ia bosan. Tapi ia juga ragu.
“Sudahlah beli saja gaun bewarna merah itu. Kau akan terlihat cantik, nona Kim.” Jawab Hyungwoon seraya menyenderkan badannya di tembok.
“Jinja? Yasudah aku akan membeli ini.” Kemudian ia mengambil gaun tersebut dan berlari untuk mencari kemeja dan jas yang pas untuk Hyungwoon.
“Kenapa masih diam? Ayo ikut aku.”
Hyungwoon menghela nafasnya panjang. Mau tak mau ia mengikuti langkah kaki Wooju.
“Kau suka yang mana? Ukuranmu berapa? Ya Tuhan, aku bingung lagi.”
Hyungwoon melihat jas dan kemeja tersebut kemudian ia mengambil kemeja putih dan juga jas bewarna hitam yang menurutnya pas untuk ukuran badannya.
“Ini saja. Ayo cepat pulang.”
“Dasinya kurang....”
Hyungwoon menepuk dahinya, lalu dengan gerakan cepat ia meraih sebuah dasi bewarna hitam.
“Sudah kan?” Hyungwoon berjalan ke kasir dengan mendahului Wooju.
“Belum. Aku kan belum mengajarimu memakai dasi.” Ujar Wooju dengan tatapan polos.
Wooju mulai mengajarkan Hyungwoon untuk memakaikan dasi. Wajah mereka sekarang begitu dekat sehingga membuat Hyungwoon dapat melihat wajah cantik Wooju yang merona merah karena tatapan Hyungwoon yang sungguh membuat jantungnya berdegup kencang.
“Aish sudah sudah.” Ujar Hyungwoon cepat kemudian ia melepas dasi tersebut dan berjalan mendahului Wooju.
“Ya! Dasar tak tahu terima kasih!” Teriak Wooju kesal.
“Ayo, jalannya cepat sedikit. Kau itu seperti siput saja.” Ujar Wooju kesal.
“Sabar. Aku kan membawa barang-barangmu, nona Wooju yang bawel.” Balas Hyungwoon dengan sedikit menekan pada kalimat akhir.
“Hah. Menyebalkan.” Wooju berjalan cepat meninggalkan Hyungwoon yang berteriak-teriak memanggil namanya.
“Hey, nona bawel! Ya! Aish.”
Setelah lama berjalan, tatapan mata Wooju tertuju pada sebuah toko yang menjual ponsel keluaran terbaru dengan diskon yang cukup membuatnya terkejut. Ia memutuskan untuk berjalan masuk ke toko tersebut lalu melihat-lihat ponselnya.
“Silahkan dipilih, nona.” Ujar pelayan toko tersebut.
“Woah- ini murah sekali. Aku beli dua ya.” Ujarnya dengan senyum lebar.
Kemudian, Wooju cepat-cepat mengeluarkan kartu kreditnya kemudian memberikannya pada kasir toko.
Setelah mendapatkan ponsel itu, Wooju kembali ke sosok Hyungwoon. Ia merasa bersalah sudah meminta lelaki itu membawakan barang belanjaannya yang begitu berat.
“Hey...” Panggil Wooju pada Hyungwoon yang duduk di bawah pohon.
“Apa?” Tanyanya dengan wajah dingin.
“Jangan galak begitu. Ayo kita selca. Aku membelikanmu ponsel.”
“Eh? Apa itu?”
“Sudahlah. Menurut saja padaku. Nanti akan kujelaskan dirumah.”
Lalu Wooju mengambil selca dengan Hyungwoon dengan berbagai pose yang cukup aneh.
“Ya! Apa-apaan ini. Wajahku begitu berminyak. Ahhh, lagi-lagi. Sebentar, aku dandan dulu.”
Hyungwoon hanya diam ketika melihat tingkah Wooju yang begitu membuatnya kesal.
Beberapa menit kemudian ponsel Wooju penuh dengan selca mereka. Gadis itu merasa senang sekali melihat wajah Hyungwoon yang biasanya serius menjadi lucu.
“Lihatlah. Kau begitu lucu.”
“Aish.”
“Itu memang benar...”
Tiba-tiba, Wooju menajamkan matanya lalu berteriak memanggil seorang wanita bertubuh kurus dan memakai lensa kacamata yang tebal.
“Hyeri-ya!”
Hyeri yang mendengar suara Wooju lalu menolehkan kepalanya kemudian berjalan menghampiri Wooju.
“Bisa minta tolong? Bawakan ini ke rumahmu dulu. Nanti akan kuambil. Rumahmu kan dekat dari sini. Hehehe.”
“Baiklah...” Balas Hyeri pelan. Kemudian Wooju menyerahkan semua barang belanjaannya kepada Hyeri.
“Terima kasih! Kau memang teman yang baik!”
Teriaknya ketika Hyeri berangsur menjauh.
“Kau memperalatnya? Dia kan wanita.”
“Aku hanya meminta tolong. Apa salahnya? Sudahlah, ayo ikut aku. Kita ke Lotte world.”
Wooju segera menarik tangan Hyungwoon untuk mencari taksi.
- At Lotte World Theme Park
“Nah, sekarang kita naik giant loop.” Tunjuk Wooju pada sebuah permainan yang memacu adrenalin.
“Kau gila?!”
“Itu seru. Aku mengajakmu untuk tidak kuno. Menurut saja ya.” Ujarnya lalu menyenggol lengan Hyungwoon pelan.
“Ayo!” Kemudian Wooju menarik tangan Hyungwoon untuk menaiki permainan tersebut.
Setelah sampai di rumah Hyungwoon merasa kepalanya masih saja pusing. Lelaki itu tak habis pikir dengan Wooju.
“Kepalaku...”
“Masih pusing? Ma-maafkan aku. Aku hanya-...”
Sebelum Wooju menyelesaikan kalimatnya, Hyungwoon merasa ingin terjatuh.
“Pelan-pelan ya...” Ujar Wooju seraya membantu Hyungwoon berjalan menuju kamarnya.
“Tidurlah. Maaf untuk tadi....” Kemudian Wooju menuju kamarnya untuk tidur.
Besok siangnya setelah Wooju pulang dari kampusnya ia langsung datang ke kamar Hyungwoon dengan berteriak.
“Hyungwoon-ah!! Buka pintunya.”
“Masuk saja, pintunya tak di kunci.” Ujar Hyungwoon - yang masih berkutat pada ponsel barunya.
Wooju membuka pintu tersebut lalu langsung duduk di sebelah Hyungwoon dengan tingkah merengek pada Hyungwoon.
“Nanti malam, temani aku ke ulang tahunnya Nahyun ya~~” Ujarnya seraya menggoyangkan lengan Hyungwoon.
Hyungwoon menaruh ponsel tersebut di meja kemudian mulai menatap Wooju, “Siapa itu? Teman kuliahmu?”
“Iya. Teman-temanku kan mengajak masing-masing kekasihnya untuk datang ke rumah Nahyun, sedangkan aku tidak punya kekasih. Jadi-...”
“Jadi?”
“Jadi- kau mau ya berpura-pura menjadi kekasihku? Ayolah.” Lalu menatap Hyungwoon dengan tatapan memohon.
Hyungwoon menggaruk rambutnya yang tak gatal.
“Ayolah, bantu aku. Aku tak mau menahan malu lagi seperti tahun kemarin, ya ya ya?”
“Baiklah.” Jawab Hyungwoon dengan senyum lembut.
“Oke! Jadi, aku akan membuatmu menjadi seorang ‘pangeran’ dan kau harus terlihat tampan.”
Tersadar akan ucapannya yang salah, Wooju menjadi salah tingkah.
“Eh maafkan aku. Aku terlalu bersemangat. Sebentar, aku mengambil jas untukmu dulu.” Kemudian berlari keluar dengan wajah memerah.
Beberapa menit kemudian Wooju memberikan sebuah semua perlengkapan yang akan di pakai oleh Hyungwoon. Dari jas, kemeja, dasi serta sepatu.
“Pakailah ini semua, kau sudah tau kan cara memakai dasi? Yasudah aku tinggal ya.” Ujarnya seraya menundukk kemudian Wooju berlari ke kamarnya dengan memegangi wajahnya yang memanas.
“Aish bodoh. Harusnya tak seperti itu.” Makinya kesal.
Setelah turun dari taksi, Hyungwoon menggandeng tangan Wooju agar terlihat seperti sepasang kekasih.
“Jangan menatapku seperti itu, Wooju-ya. Aku tau kalau aku tampan.” Bisik Hyungwoon pada Wooju.
“Ya! Aku tak menatapmu!” Wooju mengangkat gaun merahnya sedikit kemudian berjalan cepat, masuk ke dalam hotel dengan wajah kesalnya.
“Aish, sensitif sekali gadis itu, padahal memang benar kan...”
Kemudian Hyungwoon berjalan mengikuti langkah kaki Wooju dari belakang.
“Nahyun-ah, saengil chukkahamnida~” Kemudian mereka saling mencium pipi.
“Gomawo. Wah- dia siapa?” Tatapan Nahyun beralih pada Hyungwoon yang berada di belakang Wooju.
“Dia kekasihku...” Ujar Wooju dengan wajah memerah.
“Tampannya. Ada saja yang mau dengan gadis galak sepertimu, Wooju-ya.” Ujar Nahyun seraya menyenggol lengan Wooju.
“Jahat sekali.” Ujar Wooju dengan wajah menahan emosi.
“Hey- aku hanya bercanda. Yasudah, nikmatilah pesta ini. Arra?” Ujar Nahyun seraya tertawa.
“Arraseo!” Kemudian Wooju menarik Hyungwoon untuk duduk di bar.
“Kita duduk saja ya. Aku tak pandai berdansa ala Eropa seperti itu.”
“Kau tidak bisa?”
“Iya.” Jawab Wooju seraya menunduk malu.
Hyungwoon berdiri lalu menuntun Wooju untuk berdansa.
“Pegang bahuku lalu tatap mataku. Jangan tegang. Santai saja. Ikuti saja langkah kakiku dan dengarkan musik itu dengan baik.” Kemudian Hyungwoon memegang pinggang Wooju dengan tatapan lembut.
Dan mereka mulai berdansa.
Awalnya memang agak kesusahan namun entah kenapa karena tatapan Hyungwoon yang seakan ‘menyihir’ Wooju. Gadis itu menjadi bisa berdansa seperti ini.
“Cha- kau bisa kan? Jangan bilang tidak kalau belum mencoba.”
Cukup lama mereka berdansa. Wooju sudah mulai mengantuk. Pasti karena ia terlalu lelah memikirkan kuliahnya.
“Sebaiknya kita pulang, kau sudah lelah Wooju-ya.” Ujar Hyungwoon seraya menuntun Wooju keluar kemudian ia memanggil taksi untuk pulang.
—Skip--
Dengan pelan, Hyungwoon membaringkan Wooju ke tempat tidurnya kemudian samar-samar ia mendengar suara meminta tolong.
“Hyungwoon-ah, tolong aku...”
Dan ia yakin, itu suara Taehyung. Hyungwoon segera berlari mengambil tas milik Taehyung kemudian berlutut di depan cermin Wooju.
“Kumohon, siapapun dirimu bawalah aku ke Joseon. Aku berjanji akan melakukan apapun untukmu.”
Kemudian sebuah cahaya putih seperti yang dilihat oleh Hyungwoon kembali terlihat untuk ‘menarik’ lelaki itu kembali ke Joseon.
—Joseon’s Era
“Argggg, sakit!!”
Hyungwoon kembali pada masa Joseon dengan punggung yang terasa sakit karena ia merasa dilempar oleh cahaya tersebut.
“Sial...”
“Hei, anak muda.”
“Eh?”
“Kau buta atau bagaimana? Aku di depanmu.”
Lalu Hyungwoon menengok ke atas. Terlihat seorang wanita setengah baya melayang seraya duduk bersila dengan hanbok serba putih.
“Huaaa, hantu.” Lalu memundurkan tubuhnya ke belakang.
“Bodoh. Aku bukan hantu. Yang membawamu ke masa ini baru hantu. Aku seorang shaman. Panggil aku shaman Jung.” Jelasnya singkat, lalu shaman Jung ‘turun’ seraya menghampiri Hyungwoon yang masih ketakutan.
“Maafkan aku...”
“Tidak apa. Baju apa yang kau pakai? Cepat ganti atau kau akan dalam bahaya. Aku punya baju peninggalan suamiku, pakailah saja dulu.”
Setelah berganti baju, shaman Jung menjelaskan semua yang menimpa Taehyung pada Hyungwoon.
“Kenapa kau bisa tahu?”
“Karena aku seorang shaman, anak muda. Para arwah itu yang membantuku untuk mengetahui semua itu. Kau masih ingat sewaktu kau masuk dengan tidak sopannya ke rumahku?”
“Iya.” Balasnya dengan menunduk. Hyungwoon merasa bersalah. Ia merasa seperti pencuri. Masuk tanpa permisi. Namun, tak apa kan? Karena sewaktu itu begitu mendesak.
“Nah karena itu, aku mencari tahu tentang masalahmu.” Jawabnya singkat.
“Oh...kalau begitu kau akan membantuku kan?”
“Tidak.”
“Ayolah shaman Jung....”
“Tapi ada imbalannya. Belikan arwah itu sepasang garakji.” Seraya menunjuk arwah yang sedang duduk di kursinya.
“Baiklah nanti akan kubelikan...” Ujarnya pelan. Padahal, ia sendiri tak tahu arwah itu ada atau tidaknya, karena ia tak dapat melihat arwah tersebut.
“Kalau begitu ayo bergegas. Kita sudah terlambat. Teman-temanmu membawa Taehyung ke Istana dalam untuk mencari cawan itu.”
Hyungwoon segera membawa tas milik Taehyung lalu berlari mengampiri shaman Jung.
“Kita berlari?”
“Tidak. Kita akan berpindah tempat seperti yang sering kau lakukan dengan ‘tuanmu’ itu.”
Tanpa menunggu lama mereka telah sampai di Istana dalam yang terlihat sepi.
“Tunggu. Bagaimana kalau mereka melawan?” Tanya Hyungwoon seraya mencegah shaman Jung untuk melanjutkan perjalanan.
“Tenang saja. Aku akan membantumu dengan bantuan para arwah-arwah yang berada di belakangku ini.”
Hyungwoon bergidik ngeri tentang arwah yang disebut-sebut oleh shaman Jung.
“Tidak perlu takut, sekalipun rupa mereka menakutkan mereka tak akan mengganggumu.”
Beberapa menit kemudian rombongan Jungkook datang dengan mantra yang dibacakan oleh Taehyung.
“Ya! Kau-” Menggeram marah pada Hyungwoon.
“Apa? Kau kaget?” Tanya Hyungwoon dengan wajah sombong.
“Tidak.” Balas Jungkook singkat.
Hyungwoon berdecih keras, “Sudah jangan bertele-tele lagi. Lepaskan Taehyung.”
Jungkook tertawa keras lalu menyeringai, “Kau memerintahku? Punya hak apa kau?”
“Serang dia.” Teriak Jungkook tanpa menunggu jawaban dari Hyungwoon.
Kemudian para tarot mengeluarkan pedang mereka dan mulai menyerang Hyungwoon. Lelaki itu mulai takut. Berjalan mundur menjauh dari mereka karena ia tidak mempunyai pedang sama sekali, hanya ‘berbekal’ tangan kosong. Tanpa di duga, arwah-arwah yang di panggil oleh shaman Jung telah berada di sampingnya untuk melawan mereka dan memberi Hyungwoon sebuah pedang yang tajam. Perkelahian pun terjadi.
Sedikit goresan mengenai wajah Hyungwoon. Membuat lelaki itu lebih geram terhadap mereka. Ia pun mengayunkan pedang pada mereka secara membabi buta. Jungkook menatapnya marah. Ia mengeluarkan pedangnya kemudian melawan Hyungwoon tanpa bantuan siapapun. Dengan sigap, Jungkook berhasil mengalahkan Hyungwoon dan mengarahkan pedang tersebut tepat pada leher Hyungwoon.
“Menyerahlah.” Ujar Jungkook dingin.
Tanpa mereka sadari, Taehyung yang berada di belakang sana membaca sebuah mantra untuk Hyungwoon. Mantra penguat agar Hyungwoon dapat mengalahkan para tarot itu dengan mudah terutama Jungkook.
Sebuah cahaya putih mulai mengelilingi Hyungwoon. Membuat Jungkook mundur karena cahaya tersebut begitu menyilaukan matanya. Mata Hyungwoon sekarang berubah menjadi biru kemudian lelaki itu mulai membaca mantra sehingga kartu-kartu tersebut berubah menjadi lemah lalu menjadi kembali seperti semula. Dan arwah-arwah tadi pun menghilang.
Ingatkah kau dengan lelaki bermata biru? Ya, dia adalah Baltazar. Yang merasuki Hyungwoon tadi adalah jiwa Baltazar.
Setelah itu, Hyungwoon lemas dan bola matanya kembali menjadi hitam.
Shaman Jung yang sedari tadi bersembunyi di balik pohon kemudian berlari dengan panik ke arah Hyungwoon.
“Kau tidak apa?”
“Tidak apa, shaman Jung...”
“Baiklah. Ayo, kita lepaskan ikatan Taehyung dahulu.” Lalu mereka berajalan menuju Taehyung kemudian melepaskannya dengan hati-hati karena ikatan tersebut begitu kuat dan juga menyakitkan karena para kartu tarot telah memberinya sebuah mantra agar Taehyung tak dapat melepaskannya. Namun dengan mudah shaman Jung melepaskan ikatan tersebut dengan bantuan kekuatan gaib salah satu arwah yang menemaninya tadi.
“Apakah ini sakit?” Tanya Shaman Jung pada Taehyung, “Atau aku akan mengobatimu? Lihatlah, tanganmu sampai berdarah karena ikatan ini.”
“Tidak apa, shaman Jung. Ini hanya luka kecil saja.”
“Eh kau mengenalku?”
“Pasti. Kau itu shaman yang sangat terkenal.”
“Ah- begitu yasudah ku antarkan kalian pulang.” Ujar shaman Jung singkat.
“Eh- tidak perlu. Kami sudah ada caranya. Hehehe.” Balas Taehyung seraya tertawa.
Shaman Jung menepuk dahinya. Ia lupa jika Taehyung seorang magician.
“Ah iya aku lupa. Yasudah pulanglah. Lalu obati luka-luka kalian. Aku akan pulang saja.” Ujarnya cepat kemudian shaman Jung menghilang di kegelapan malam.
Taehyung berhasil dibebaskan kemudian ia menyegel kartu-kartu itu sampai beberapa tahun kemudian. Atau mungkin selamanya
—--
Sesuai dengan janjinya, Hyungwoon sudah bersiap mencari sepasang garakji untuk hantu yang berada di rumah shaman Jung. Dengan memakai satgat ia menutup wajahnya lalu mulai mencari ke seluruh pasar cincin batu giok yang bagus dan murah. Hasilnya masih nihil. Ini membuat Hyungwoon kesal.
“Sial, Taehyung hanya memberiku uang sedikit. Tapi garakji itu begitu mahal. Dan apa masuk akal aku membeli cincin untuk hantu.”
Ia terus berjalan mencari garakji yang murah. Dan akhirnya Hyungwoon dapat tersenyum lebar. Ia menghampiri seorang lelaki tua yang masih menunggu pembeli datang dengan terkantuk-kantuk.
“Permisi.” Ujar Hyungwoon seraya melepas satgat-nya kemudian ia mulai melihat-lihat garakji-garakji tersebut.
“Silahkan dipilih tuan.” Balas lelaki tua itu dengan senyum.
“Aish semuanya bagus...ah- aku pilih yang ini saja.”
Hyungwoon mengambil sepasang garakji bewarna hijau kemudian mengeluarkan uang yang berada di kantongnya, “Apakah semua ini cukup?”
“Lebih dari cukup tuan.” Jawabnya senang.
“Baiklah, akan kuberikan ini padamu.” Kemudian lelaki tua itu memasukkan garakji tersebut ke dalam sebuah tempat kecil kemudian memberikannya pada Hyungwoon.
“Terima kasih banyak, tuan.”
“Sama-sama.” Jawab Hyungwoon singkat seraya tersenyum lalu Hyungwoon memakai kembali satgat-nya untuk pergi ke rumah shaman Jung.
—--
Hyungwoon telah berulang kali mencoba kembali ke masa dimana Wooju tinggal namun gagal. Cermin itu tak memberikan reaksi apapun untuk membuatnya kembali.
Hyungwoon duduk di beranda rumah Taehyung dengan wajah kecewa, kemudian ia menaruh satgat tersebut di sampingnya lalu melamun.
“Hey, bagaimana upacara pernikahan hantunya? Apakah sudah berhasil?” Tanya Taehyung secara tiba-tiba. Membuat Hyungwoon kaget.
“Aish, untung aku tak mempunyai riwayat penyakit jantung. Tak tahu, shaman Jung merahasiakan itu dariku.”
“Lalu apa yang kau pikirkan?”
“Aku memikirkan Wooju....” Balas Hyungwoon dengan wajah sedih.
“Siapa itu? Ceritakan padaku.”
Hyungwoon mulai bercerita tentang kejadian dimana ia ‘tersesat’ di kehidupan modern. Dan ia juga menceritakan tentang perasaannya yang mulai jatuh cinta pada Wooju.
“Dan aku ingin kembali ke masa depan. Jujur aku frustasi memikirkan hal ini setiap malam.”
“Aku akan membantumu.” Ujar Taehyung cepat.
“Caranya?”
“Ikut aku.”
Taehyung mengajak Hyungwoon ke padang bunga yang begitu sepi lalu menyuruhnya untuk menutup mata.
“Bayangkan kau berada di tahun 2015.”
Kemudian Taehyung memegang pundak Hyungwoon dengan erat.
“Movere ad illum locum!”
Hyungwoon menghilang dengan sekejap mata.
“Mantra itu berhasil...” Gumamnya dalam hati lalu Taehyung berjalan kembali ke rumahnya dengan senyum penuh arti.
—December; London; 2015
“Bodoh! Dasar laki-laki bodoh! Aku masih tak percaya dia meninggalkanku sendirian.” Wooju masih saja mengumpat, tanpa memperdulikan banyak orang yang melihatnya dan mungkin mereka berpikir bahwa Wooju adalah orang gila. Dan hampir saja ia melempar ponselnya sendiri ke jalan karena ia frustasi dengan rasa rindunya dengan Hyungwoon.
Sementara itu, Hyungwoon terjatuh di sebuah rumah bergaya Eropa.
“Ya! Siapa kau?” Lelaki tua itu menggambil sebuah senapan laras panjang lalu mengarahkannya pada Hyungwoon.
“Tu-tunggu, aku bukan pencuri, aku orang baik-baik, sir.”
Dongjin terdiam. Ia menaruh senjata tersebut ke tempat semula kemudian mendekat pada sosok Hyungwoon yang masih memakai hanbok.
“Kau-...kau kartu tarot yang hilang itu?”
“Aku merasa kau berbeda, nak.”
Mau tak mau Hyungwoon menceritakan semua kejadian yang menimpanya pada Dongjin.
“Begitu? Akhirnya aku menemukanmu...”
“Eh? Memangnya kenapa? Jangan-jangan kau itu seorang..”
“Iya. Aku seorang magician. Ah sudahlah, yang terpenting kau masih hidup. Tinggal lah disini. Tapi tunggu- Kim Wooju yang kau cari itu wajahnya bagaimana?”
Hyungwoon merogoh saku pada hanbok-nya lalu memperlihatkan sebuah foto selca dirinya dengan Wooju, “Ini dia.”
“Apa?! Dia cucuku!” Ujar Dongjin dengan nada keras karena terkejut akan hal tersebut.
“Kakek!! Wooju menghilang!!” Teriak Yejin secara tiba-tiba lalu masuk ke dalam rumah dan memeluk kakeknya.
"Hah? Di udara sedingin ini? Dasar gadis nakal. Berlibur ke Inggris bukannya membuat senang tapi membuat repot."
"Iya kek. Tadi dia bersamaku dengan wajahnya yang jutek itu terus meninggalkanku. Sudah kucari kemana-mana tapi dia tidak ketemu." Jelas Yejin dengan wajah kesal.
"Jinja? Biarkan aku yang mencarinya, sir."
“Kau yakin?" Tanya Dongjin dengan tatapan tak percaya.
"Aku yakin."
"Yasudah, ganti bajumu dulu lalu carilah cucuku sampai ketemu."
Dongjin menujukkan sebuah kamar pada Hyungwoon lalu menyuruh lelaki itu untuk mengganti bajunya dengan milik putranya, yaitu milik ayah Wooju. Setelah mengganti bajunya, Hyungwoon segera bergegas untuk pergi.
Dongjin kembali ke kamarnya dengan wajah datar. Lalu ia mengucapkan mantra untuk menghidupkan sebuah kartu.
“Ikuti dia.”
“Baiklah, sir.” Dengan cepat, kartu itu berjalan keluar untuk mengikuti Hyungwoon.
“Hey!” Panggil Dongjin dengan suara keras, “Tangkap ini.” Dongjin melempar sebuah jaket tebal untuk kartu itu.
Ia tersenyum tipis, “Terima kasih, sir.” Lalu ia berlari menembus udara dingin kota London.
—--
“Astaga...di udara sedingin ini aku harus mencarinya dimana?” Hyungwoon merapatkan jaketnya kemudian ia dihampiri oleh seorang anak laki-laki yang sadar akan Hyungwoon yang sedang mencari seseorang.
“Hyung, kau mencari siapa?” Tanya bocah tersebut seraya menarik baju Hyungwoon.
“Aku mencari...” Hyungwoon mengeluarkan ponselnya kemudian memperlihatkan foto selca dirinya dengan Wooju.
“Noona itu...dia disana. Sedari tadi mengomel terus, seperti orang gila. Untungnya cantik. Memangnya hyung itu siapa?”
Hyungwoon tersenyum penuh arti lalu mengacak rambut anak laki-laki itu, “Hyung adalah kekasih noona itu dari dimensi lain.”
Anak laki-laki itu berpikir keras, “Bagaimana bisa?”
“Takdir mungkin? Sudahlah, kau itu masih kecil. Jangan banyak tanya, arraseo? Aku pergi dulu ne. Terima kasih.”
Kemudian Hyungwoon menghampiri Wooju dengan langkah hati-hati agar tidak ketahuan seraya menahan tawanya.
"Bodoh bodoh bodoh!!! Duh- dingin sekali....kyaa aku membencimuuuu!!!"
Ternyata, Kim Wooju berada di taman yang di penuhi oleh beberapa anak-anak yang bermain salju.
"Siapa yang kau bilang bodoh?" Tanya Hyungwoon seraya memakaikan topi hangat pada Wooju.
"Ya kaulah! Eh?" Lalu menatap Hyungwoon dengan mulut sedikit terbuka.
"Apa?"
"Ya! Bodoh!! Hyungwoon bodoh! Aku mengkhawatirkanmu tapi kau tanya apa? Dasar bodoh!" Wooju terus saja mengumpat lalu melemparkan salju pada Hyungwoon.
"Hey, hey, hey. Cukup.” Kemudian Hyungwoon mendekat pada Wooju dan memeluknya.
"Aku membencimu...."
"Tapi aku mencintaimu, Wooju-ya." Balas Hyungwoon seraya mempererat pelukan tersebut.
"Jinja?" Menatap Hyungwoon dengan tatapan tak percaya, “Sungguh? Kau bercanda? Bukankah kita baru saja kenal?”
"Cerewet. Itu benar. Kalau tak percaya, yasudah. Ayo kita pulang." Jawabnya malas.
"Kalau aku tidak mau bagaimana?"
"Akan aku cium sampai kau pingsan."
"Dasar mesum."
Wooju mendorong Hyungwoon sampai jatuh lalu meninggalkannya.
"Hey mesum, kejar aku!!" Ujar Wooju seraya tertawa.
"Ya! Awas kau!” Teriak Hyungwoon emosi.
Tanpa mereka ketahui, ada seseorang yang megawasi gerak-gerik mereka yaitu kartu yang diperintah oleh Dongjin untuk mengikuti Hyungwoon.Dia Jeon Jungkook, menyeringai penuh arti seraya menatap Hyungwoon dan Wooju secara tajam, “Aku berjanji pada diriku sendiri kalau kau akan kalah, Hyungwoon-ah.”
[End]
Bokgeon: Sebuah penutup kepala yang terbuat dari kain berwarna hitam yang biasa dipakai oleh sarjana atau pelajar.
Futon: Tempat tidur gelar tradisional.
Garakji: Sebutan yang digunakn untuk sepasang cincin. Cincin ini digunakan oleh wanita yang sudah menikah, sebagai pertanda tentang keharmonisan bersama suami
Satgat: Topi yang berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami, satgat biasanya digunakan oleh para petani dan biksu, dan kebanyakan digunakan sebagai penutup wajah pada drama sageuk.
Hanbok: Pakaian tradisional masyarakat Korea.
Shaman (Mudang): Biasanya dipegang oleh wanita yang melakukan kontak (menghubungkan) antara dewa dan manusia. Melakukan upacara mengundang arwah yang disebut dengan Gut.