Elysian
Tittle : Elysian
Author : Arni Kyo ( @redribbonnnn )
Main cast :
Rating : NC
Length : Oneshoot
~~~
Banyak hal mengerikan yang tak pernah terbayangkan dari dahsyatnya perang nuklir. Suara jeritan, dentingan pedang yang beradu, dan suara mengerikan lainnya berbaur. Hanya demi kemenangan, kekuasaan atas wilayah dan demi kehidupan yang terasa sangat mahal pada masa itu. Mereka ingin menjadi dewa. Menguasai dan memerintah diatas segala yang ada dibumi.
Didalam dunia yang hancur, bahkan tak ada manusia tidak bersikap seperti layaknya manusia lagi. Mereka mengambil pedang dan mencoba untuk menguasai satu sama lain, mulai membantai satu sama lain. Memperebutkan wilayah untuk mereka tinggali.
-
Winter, 2190
Hahoe City, Andong, Gyeongsangbuk-do, South Korean
Sore itu. Kala salju mulai berguguran dari langit gelap. Namun belum sempat menyentuh tanah, butiran salju tersebut sudah mencair terkena panasnya api yang membakar wilayah itu. Pasukan Moroi berhasil meluluh-lantahkan wilayah Hahoe.
“bawa pemimpinnya kemari, dan biarkan aku sendiri yang memenggal kepalanya”. Titah Wu Yifan, pemimpin pasukan Moroi.
Di hadapannya, berlutut beberapa puluh orang yang terbilang kuat di Hahoe, karena berhasil bertahan sampai mereka benar-benar kehabisan tenaga dan takluk saat ini.
Dengan gelagat sombong dan berkuasanya, ia berdiri ditengah ratusan mayat yang bergelimpangan ditanah Hahoe. Tanah Hahoe adalah salah satu wilayah yang diperebutkan karena disini terbilang aman dari serangan nuklir.
Tak menunggu lama, pimpinan Hahoe diseret oleh dua orang prajurit dari dalam barisan. Lalu dilemparkan hingga berlutut dihadapan Wu Yifan.
“kalian sudah kalah. Jadi wilayah ini milik kami sekarang”.
“walaupun kami semua mati, tapi kami tidak akan pernah sudi membiarkan makhluk laknat seperti kalian menempati tanah kami”. Jawab pimpinan Hahoe, Tuan Bang Mingjae.
Sliiing...
Bilah pedang terdengar lalu mengayun mengarah pada tengkuk Tuan Bang. Siap memenggal. Wu Yifan mengangkat tangannya, menginterupsi agar prajuritnya tidak bertindak buru-buru.
“kau ini keras kepala sekali. Kenapa sangat ingin bertahan disini sementara wargamu sudah 80% mati?”. Ujar Wu Yifan yang terdengar meremehkan, diiringi oleh seringaian khasnya.
Disaat yang bersamaan, seorang gadis cantik dengan gaun dan jubah berwarna merah maroon, berjalan keluar dari arah hutan. Tangannya menjinjing seekor kelinci hasil buruannya. Kelinci itu terlepas dari tangannya, jatuh dan berlari kembali kedalam hutan saat Minah menyadari pemandangan didepannya.
“jadi kau memilih mati daripada kami mengirimmu ke pulau Jeju?”. Suara lantang itu seolah mengancam.
“kami akan tetap berada disini!”. jawab Tuan Bang mantap.
“ayah...”. lirih Minah –gadis cantik itu. Kakinya seperti dirantai dengan bola besi menggantung disana. “ayah... AYAH!!!”. Jeritnya tiba-tiba. Dengan bersusah payah ia berlari mendekati kerumunan orang yang tengah menghakimi ayahnya.
Semua orang yang berada disana menoleh kearah Minah, dengan wajah heran dan bertanya-tanya.
“Minah! Lari, nak! Lari sejauh mungkin! Jangan mendekat kemari”. Pekik Tuan Bang. Tak diindahkan oleh Minah yang semakin berlari mendekat.
“tangkap gadis itu!”. Titah Wu Yifan. Prajurit yang berada tak jauh dari sana pun berlari kearah Minah untuk melakukan perintah Wu Yifan. “cih. Ternyata kau masih punya anak”.
Tuan Bang berdiri, hendak menyerang Wu Yifan. Percuma. Belum sempat melangkah, beberapa pedang tajam mengarah padanya. “jangan menyakitinya!”.
Sementara Minah sudah ditangkap dan dibawa mendekat pada Wu Yifan. Ia tidak tahu jika Hahoe akan diserang oleh kelompok Moroi. Maka siang tadi ia bermain di hutan dan berburu hewan untuk makan malam.
Brukk.
Minah dijatuhkan tersungkur begitu saja didepan kaki Wu Yifan. “Ayah”. Panggil Minah. Wu Yifan mengangkat dagu Minah dengan ujung pedang miliknya.
“dia cantik. Beruntung sekali karena dia sendiri yang menyerahkan diri”.
“kirim kami ke Jeju dan ambilah tanah ini”. Ujar Tuan Bang akhirnya.
Wu Yifan tertawa nista. Ia menggerakkan jari telunjuknya atas ke bawah. “berlututlah”. Suruhnya.
Minah menatap ayahnya. Sungguh! Miris sekali. Ayahnya adalah pria yang kuat. Pria yang bijaksana hingga ia dipilih menjadi pimpinan kota kecil ini. Lalu – sekarang yang Minah lihat hanyalah wajah menyerah ayahnya.
Tuan Bang berlutut kembali. Tak ada hal lain yang mereka inginkan sekarang. Hanyalah kebebasan. Mengalah demi tetap bertahan hidup. “bersujud”. Titah Wu Yifan lagi. Tuan Bang menatap dengan kilatan marah. “tunggu apa lagi? Ayo bersujud!”.
“ayah”. Lirih Minah. Tangannya mengepal. Tak terima ayahnya diperlakukan seperti ini.
Tapi – tak ada penolakan. Tuan Bang bersujud. Berhasil mengundang tawa kemenangan dari Wu Yifan. “baiklah, kuberi waktu untuk pergi ke Jeju”. Wu Yifan berbalik, memberi tanda pada prajuritnya agar mengikutinya.
Beberapa langkah Wu Yifan pergi. Minah merayap menghampiri ayahnya. Memeluk tubuh ringkih itu sejenak. “ayah, kenapa – kenapa ini bisa terjadi?”. Tanyanya tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.
“mereka tiba-tiba saja datang dan menyerang. Banyak warga yang tidak siap untuk melawan mereka. Maafkan ayah Minah”.
“tidak pergi meminta maaf. Aku bersyukur ayah masih hidup”. Minah menunduk, enggan menunjukkan tangisannya dihadapan sang ayah.
Sliing sliing.. slaatt!
“aakkh!”. Ringisan itu terdengar memilukan. Takut-takut Minah mengangkat kepalanya. Tubuh ayahnya terhuyung kedepan. Minah segera menangkap tubuh itu. “Min-ah... maafkan... ayah”.
“tidak... tidak!!!”. Minah memekik histeris. Ayahnya tewas. Mendapat serangan dari belakang oleh pria bertubuh tinggi, sorot mata yang tajam dan sebuah tatto Phoenix dileher kirinya. Minah menatap mata itu berlama-lama.
Tampan. Baiklah – lupakan, Minah. Dia adalah orang yang membunuh ayahmu.
Tak lama setelah itu, warga Hahoe yang tersisa juga ikut dihabisi nyawanya oleh prajurit Moroi. Minah gemetar. Literan darah segar mengalir ketanah.
“bajingan!”. Desis Minah. Ia mendongak, menatap sosok tinggi yang telah menghabisi nyawa ayahnya. “kalian monster, biadab!”. Pekik Minah lantas berdiri seraya menarik pedang milik ayahnya.
Minah melayangkan pedang tersebut pada Chanyeol. Ya, prajurit Moroi yang menghabisi nyawa ayahnya itu. Chanyeol hanya diam. Kehilangan fokusnya melihat emosi Minah yang memuncak.
Sliiing.
“bodoh”. Sebuah pedang menangkis serangan Minah sebelum membelah kepala Chanyeol. Orang itu adalah Wu Yifan. Minah terhuyung kebelakang. Jika saja ia tidak dalam keadaan kalap dan trauma, ia bisa saja bertahan dan tidak terlihat lemah seperti ini.
“hyahh!”. Minah kembali melayangkankan pedangnya. Kali ini kedua bilah pedang beradu. Chanyeol, pria itu hanya melongo melihat pertarungan Wu Yifan dan Minah. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Bruukk. Minah tersungkur terkena serangan Wu Yifan. Tangan kasar pria itu mencengkram rahang Minah.
“sebenarnya aku sangat berminat padamu. Tetapi kau terlalu garang”. Desis Wu Yifan. Dengan kasar ia menghempaskan tubuh lemah Minah. “kau – besok malam temui aku”. Wu Yifan menunjuk Chanyeol.
Chanyeol mengangguk mengiyakan.
Wu Yifan kembali berjalan. Kali ini ia benar-benar menaiki mobil untuk membawanya pergi. Chanyeol mengalihkan pandangannya pada seonggok daging yang ia harap masih bernyawa itu –Minah.
Minah sudah kelihangan separuh kesadarannya. Tubuhnya mati rasa karena dingin yang begitu menusuk tulang. Nyeri dibeberapa bagian tubuh akibat luka dari goresan pedang Wu Yifan tadi.
Butiran salju turun semakin banyak. Jatuh mengenai wajah putihnya yang sudah sangat pucat.
~oOo~
Tatto Phoenix itu terukir dibagian leher kiri pria tinggi bernama Chanyeol itu. Diruangan ini, ia duduk di depan perapian, sambil memainkan sebuah pisau belati kecil dengan ukiran pada sarung belati tersebut. Terbaring tak jauh darinya, tubuh Minah yang ia beberapa hari yang lalu.
Minah tersadar. Perlahan ia membuka matanya. Kepalanya pening dan kakinya nyeri sekali. Tetapi, hey, apa ini? Sebuah selimut tebal menyelimuti dirinya? Dimana ia saat ini?
“uh –“. Minah bangkit, duduk.
Chanyeol menoleh. “kau sudah bangun?”. Ujar Chanyeol lalu berjalan mendekati Minah.
“ja-jangan mendekat”. Seru Minah dengan sorot mata ketakutan. Chanyeol berjalan menuju sebuah meja kecil. Menuang air ke dalam gelas almunium. “minum ini”.
“aku tidak butuh”. Tolak Minah acuh, mengalihkan pandangannya dengan guratan takut itu.
Chanyeol menarik kasar tangan Minah, meletakkan air minum itu ketangan Minah. “aku berbaik hati membawamu kesini, merawat dan menjaga mu. Tidak tahu terima kasih!”. Bentak Chanyeol.
Praang...
Minah melempar gelas berisi air tersebut. “aku tidak sudi meminum ataupun memakan apapun yang kau berikan. Pembunuh!”. Minah balas berteriak.
“sialan!”.
Plakk!
Chanyeol melayangkan sebuah tamparan pada Minah. Cukup – ah, tidak, tapi sangat keras. Hingga tubuh Minah terhempas kesamping dan bibirnya membentur sandaran shofa tempatnya terbaring.
Lalu, detik berikutnya...
Chanyeol duduk disebelah tubuh Minah. Menarik lengan gadis itu. Memastikan Minah baik-baik saja setelah tamparan sadis yang ia lakukan. Bibir Minah terluka dan berdarah. “aku – tidak ingin kau terluka”.
Ucapan dari mulut Chanyeol yang berhasil membuat Minah mematung. Tak mengerti apa yang sebenarnya pria ini pikirkan. Chanyeol mendekatkan tubuhnya. Mengecup bibir Minah. Tangannya merambat mengusap paha Minah. Kemudian menghisap pelan darah yang keluar dari luka dibibir mungil Minah.
Rasanya sama saja seperti darah manusia lainnya. Tapi, Chanyeol merasakan sensasi yang berbeda saat mengesap sedikit darah dari Minah. Luka. Ya, Chanyeol menemukan luka dari setitik darah itu.
“aku akan keluar untuk mencari makan malam”. Ujar Chanyeol sesaat setelah melepas kecupannya. Minah tetap acuh padanya. Chanyeol berdiri, mengambil jubah dan tak lupa menenteng belati yang ia pegang tadi. “kau – keluarlah dari tempat ini jika ingin kepala dan tubuhmu terpisah”. Peringat Chanyeol sebelum benar-benar pergi.
Brakk!
Suara pintu tertutup menandakan Chanyeol sudah keluar dari tempat ini. Minah menyingkap selimutnya. Bagus sekali, pakaiannya telah berganti dengan pakaian yang ia yakin bukan miliknya. Minah menghela napas berat. Jadi monster itu sudah melihat tubuhku? Sialan. Minah mengumpat dalam hati nya.
Setelah berhasil meredakan nyeri hebat pada kakinya yang terluka, Minah berlari tertatih kearah pintu. Mengabaikan ucapan Chanyeol tentang pisahnya kepala dan tubuhnya jika ia keluar dari sini. Persetan dengan ucapan pembunuh itu.
ceklek... ceklekk...
“uh? Terkunci? Sialan!”. Minah berbalik membelakangi pintu. Dipikirnya jika pintu itu tidak terkunci makanya Chanyeol berkata seperti tadi. Kini bahunya terasa sangat berat. Ia kelaparan.
Bruukk..
Minah terjatuh tepat didepan jendela yang gordennya terbuka sedikit. Putih. Salju turun sangat lebat diluar sana. Perlahan mata Minah mengecil. Tak kuat menahan ngilu di perutnya yang sudah meradang minta diberi makanan.
Dibadai salju yang selebat ini – mungkinkah monster itu bisa mendapat makanan? Bagaimana jika ia tidak kembali? Lalu aku akan mati karena kelaparan ditempat ini? Ayah – Minah pingsan.
-
-
Chanyeol – salah satu dari monster pembunuh yang merebut kota ini dengan cara yang keji. Mereka manusia, tapi tidak pernah bersikap seperti manusia. Sedari kecil mereka dilatih untuk menjadi monster kejam – mesin pembunuh. Namun – sepertinya sekarang Chanyeol telah berubah. Menaruh belas kasihan pada gadis bernama Minah.
Chanyeol sangat jarang berbicara. Hari ini, adalah hari ke 20 Minah tinggal bersamanya. Didalam bangunan yang sepertinya adalah perpustakaan dari rumah mewah dikota ini. Terdapat rak buku yang tersusun deretan buku-buku tebal. Tepat didepan rak tersebut ada 2 jendela yang selalu tertutup gorden.
Sebuah shofa santai yang menjadi tempat tidur Minah. Sementara itu Chanyeol tidur dishofa untuk membaca buku yang terletak didekat rak buku. Lalu, meja kecil yang diatasnya terdapat 2 buah piring, gelas almunium dan termos air berukuran sedang. Disebelah meja itu adalah kamar mandi kecil.
Malam itu – Chanyeol dan Minah tengah menikmati hasil buruan Chanyeol. Mereka berdua duduk diatas ambal tebal didepan perapian. Makan dengan hikmat dan hening tanpa mengobrol – ya, seperti biasanya.
“apa yang kau lihat?”. Tanya Chanyeol tanpa menoleh pada Minah, menyadari jika gadis itu menatapnya sedari tadi.
Minah telah menyelesaikan acara makan malam nya lebih dulu. “kau makan dengan baik, jadi kau benar-benar manusia?”. Ujar Minah blak-blakan.
Pluk.
Chanyeol melempar daging kelinci panggang yang ia pegang tadi. Mengelap tangannya dengan kain kecil yang ia sediakan. Lalu menatap Minah tajam. Manik matanya terpantul oleh cahaya api dari perapian.
“jadi menurutmu aku ini apa? Robot? Siluman?”.
“uh? Bisa saja kau ini vampire. Seperti cerita lama itu”.
Sreet.
Dengan gerakan cepat, Chanyeol mendekatkan tubuhnya kearah Minah. Minah yang tidak siap dengan gerakan mendadak itu, lantas berbarik kelantai karena terkejut. Mereka berada dijarak yang sangat sempit.
Mendapatkan ciuman dari Chanyeol bukan hal yang asing bagi Minah. Pria itu selalu memberikan ciuman dikening dan bibir Minah, saat ia akan pergi keluar ataupun pulang. Minah tidak protes. Ia sudah terlanjur keranjingan dengan ciuman pria itu.
“biar kutunjukkan padamu, seperti apa vampire yang kau katakan itu”.
Chanyeol mengecup bibir Minah sekilas. Lalu beralih pada leher gadis itu. Mengecup dan menggigit kecil leher Minah. “uhh..”. lenguhan itu lolos begitu saja dari mulut Minah.
Minah tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Ia hanya merasa jika ia harus menikmati perlakuan Chanyeol padanya. Ciuman pada leher? Oh Tuhan! Minah belum pernah melakukan itu. Bahkan ciuman pertamanya pun ia lakukan dengan sahabatnya, Yoo Kihyun.
Chanyeol semakin penasaran untuk menelusuri lekuk leher Minah dengan bibirnya. Ciuman itu mulai bergerak kesetiap sudut yang ia lewati. Hingga bibirnya tiba dibagian empuk nan putih. Dada Minah. Chanyeol menghisap bagian itu dengan kuat.
“aakh”.
“apa ini sakit?”. Chanyeol mendongak saat mendengar Minah menjerit pelan.
Minah segera menggeleng. Ia juga tidak mengerti bagaimana ia bisa mengeluarkan suara seperti itu. “Chan –“.
“tidurlah”. Suruh Chanyeol lantas bangkit dari atas tubuh Minah. Ia pun melanjutkan memakan daging panggang yang tersisa. Sedikit makanan sangat berharga, apalagi dimusim dingin seperti ini. Susah untuk berburu.
Malam saat Minah pingsan karena kelaparan. Membuat Chanyeol panik bukan kepalang. Sejak saat itu ia berusaha keras agar selalu mendapatkan hewan buruan untuk dibawa pulang. Chanyeol mungkin bisa bertahan 3 hari tanpa makan dan hanya minum air salju. Tapi – tidak untuk Minah.
“tidurlah bersamaku”. Takut-takut Minah memegang lengan Chanyeol.
“kau tidak takut aku membunuhmu?”. Tanya Chanyeol. Tentu Chanyeol ingat saat ia menemukan Minah terjaga sepanjang malam karena takut dibunuh saat sedang tertidur.
“kau – menyelamatkan aku, tidak mungkin kau akan membunuhku begitu saja. Benar kan?”.
“seharusnya, hari itu aku meninggalkanmu diantara tumpukan mayat yang akan dibakar. Bodohnya, aku malah berbalik dan mencari tubuhmu diantara mayat-mayat itu. Entah mengapa, aku merasa sangat senang saat menemukanmu. Masih bernapas dan belum terbakar”. Jelas Chanyeol sembari membereskan bekas makan mereka.
“kau manusia. Sama sepertiku. Aku yakin kau orang yang baik”. Minah menatap Chanyeol. Tersenyum simpul pada pria itu. Demi apapun, Chanyeol membalas senyuman itu. “ini pertama kalinya aku mendengarmu berbicara panjang lebar dan – melihatmu tersenyum”.
-
-
Markas Moroi.
Chanyeol berjalan gagah melewati barisan obor dilorong panjang ini. Malam ini, mereka akan mengadakan pertemuan dengan Tuan mereka. Tuan Seunghyun. Chanyeol yakin ia sudah terlambat datang. Karena ia harus mengurus Minah terlebih dahulu baru bisa pergi keluar dengan perasaan tenang.
Pintu besar itu terbuka. Semua yang hadir menoleh pada sosok yang baru saja tiba. Dengan santai, Chanyeol memasuki ruangan dengan meja besar yang dipinggirannya duduk dengan rapi prajurit andalan Moroi.
“semuanya sudah hadir disini”. ujar Tuan Seunghyun sambil memakan hidangan makan malamnya. “apakah diantara kalian tidak menemukan gadis itu?”.
Para prajurit saling menoleh mendengar pertanyaan tersebut. Tidak terkecuali Chanyeol. “dikota Hahoe ini terdapat banyak gadis, gadis mana yang anda maksud Tuan?”. Tanya Wu Yifan.
Tuan Seunghyung mengesap wine nya. Rasa asam wine itu meresap disekujur mulutnya. “gadis itu – gadis dengan tatto Unicorn dipunggung sebelah kanannya”.
Chanyeol mengerutkan keningnya. Tatto itu? Minah? Sebisa mungkin Chanyeol menjaga sikapnya. Jangan sampai gelagat mencurigakannya tercium oleh Tuan Seunghyun yang sangat peka itu.
“siapa sebenarnya gadis dengan tatto itu?”. Hyungwoon menanya.
Tuan Seunghyun berdiri. Berjalan kearah jendela besar dibelakang tempat duduknya. Lalu membuka jubah bulu yang ia kenakan. Memamerkan luka yang cukup parah dibagian punggungnya.
“aku mendapatkan luka ini saat berperang untuk merebut wilayah Daegu. Hingga sekarang – setiap malam saat aku berbaring akan tidur, aku tetap merasakan sakit”. Tuan Seunghyun menoleh. “karena itu aku menyerahkan kekuasaanku pada Wu Yifan”.
“lalu, apa yang bisa gadis bertatto Unicorn itu lakukan untukmu, Tuan?”. Tanya Wu Yifan penasaran.
“menurut rumor yang beredar. Gadis itu memiliki kekuatan menyembuhkan. Banyak kelompok yang mengincarnya hingga ia dan keluarganya berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari kelompok pemberontak”. Jelas Tuan Seunghyun.
“jadi, kita bisa memanfaatkannya untuk menyembuhkan siapapun yang terluka?”. Celetuk Baekhyun yang mulai tertarik untuk berburu menemukan gadis itu.
Tuan Seunghyun menyeringai. “lihatlah betapa menguntungkannya jika kita mendapatkan gadis itu. Dan lagi, ia sangat cantik. Tidak rugi menghabiskan malam bercinta dengannya”.
Chanyeol menggenggam erat pedang miliknya. Telinganya panas mendengar ucapan fulgas dari Tuannya ini. Tapi ia berusaha untuk tetap tenang.
“jika kalian berhasil mendapatkannya dan membawanya kehadapanku dalam keadaan hidup, maka aku akan memberikan imbalan pada kalian. Tentu saja imbalan yang tidak murah”.
Para prajurit mulai berisik saling bertukar informasi tentang gadis yang dimaksud. Barangkali mereka melihat sosok yang dimaksud. Tuan Seunghyun kembali memakai jubahnya dan pergi meninggalkan ruangan itu.
“apa kalian tidak merasa telah membunuh gadis yang dimaksud oleh Tuan Seunghyun?”. Tanya Wu Yifan dengan suara lantang.
“sepertinya tidak”. Jawab Baekhyun. Ya, seingatnya ia hanya membunuh prajurit Hahoe yang berusaha melawannya.
Selagi mereka saling berbincang, Chanyeol memikirkan hal lain. Minah dirumah sendirian. Bagaimana jika prajurit khusus Tuan Seunghyun mengetahui keberadaan Minah? Chanyeol hanya berdoa agar Minah tidak menyalakan api dan membuka gorden.
“Chanyeol, bagaimana denganmu? Apa kau ingat telah membunuh gadis itu?”. Tanya Wu Yifan kemudian. Ia tidak heran jika Chanyeol hanya diam, karena pria itu memang jarang berbicara.
“tidak. Aku hanya membunuh orang yang kau suruh saja”. Jawab Chanyeol tenang.
“baiklah, sebaiknya kita pulang saja dulu. Besok siang kita akan melakukan penelusuran untuk mencari keberadaan gadis itu”. Wu Yifan berdiri hendak pergi.
-
-
Minah mengintip dari celah gorden yang terbuka sedikit. Chanyeol melarangnya untuk menyalakan api ataupun membuka gorden, saat Chanyeol tidak berada dirumah. Karena itu akan mengundang kecurigaan bagi prajurit Moroi.
Minah tersenyum lega saat melihat Chanyeol tiba dihalaman rumah itu. Memarkirkan motornya. Mata tajam Chanyeol menengok kearah Minah. “mungkinkah dia? jika benar, apa aku harus membawanya pada Tuan Seunghyun?”. Gumam Chanyeol. Hatinya merasa bimbang.
Dengan langkah besar, Chanyeol berjalan kearah pintu. Membuka pintu dan segera masuk. “bagaimana pertemuan kalian? Apa kalian akan melakukan penyerangan ke wilayah lain? Jika ya, apa aku akan ikut?”. Minah langsung menghujani Chanyeol dengan pertanyaan sembari mengekor dibelakang Chanyeol.
“tidak”. Jawab Chanyeol singkat.
“hmm... baiklah, kau pasti lelah, bagaimana kalau –“. Ucapan Minah terpotong saat Chanyeol mendadak menoleh padanya. Menatapnya tajam. Tangan Chanyeol mencengkram leher Minah kuat. Hingga gadis itu hampir kehabisan napasnya. “Chan... uukkh”.
Entah apa yang merasukinya, Chanyeol tidak mempedulikan Minah yang kesusahan dicekik olehnya. Tangan mungil Minah menggenggam pergelangan tangan Chanyeol. Berusaha melepaskan cekikan Chanyeol dari lehernya.
“aku – aku tidak bisa membunuhmu”. Perlahan cekikan itu mengendur. Minah menstabilkan napasnya. Chanyeol melangkah mundur. Tubuhnya terduduk diatas shofa yang sudah beberapa hari ini menjadi tempat tidur mereka berdua.
“kau kenapa?”.
“pergilah. Aku tidak ingin menyakitimu”.
“katakan padaku, kau kenapa?”.
Minah duduk disebelah Chanyeol. Hendak membaca pikiran pria itu. Chanyeol menunduk. Sebulir air mata mengalir dari pelupuk matanya. Seorang monster pembunuh menangis.
“berbaliklah dan buka bajumu”.
“apa?”.
“lakukan saja!”.
Bentakan itu membuat Minah terkejut. Dengan perasaan was-was, ia berbalik, menurunkan retsleting gaunnya perlahan. Lalu menurunkan gaunnya. Jantungnya berdegup kencang. Sangat takut.
Chanyeol diam saja saat melihat punggung putih mulus milik Minah terpampang jelas dihadapannya kini. Dan – ya, tatto Unicorn itu terukir dipunggung kanan Minah. Chanyeol frustasi. Jadi benar, Minah adalah gadis yang dicari oleh Tuan Seunghyun.
Ujung jemari Chanyeol mengusap tatto itu.
“siapa kau sebenarnya?”.
“kumohon – kita jangan berpisah. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini”. Minah menyuarakan isi hatinya dengan isakan kecil.
Greebb.
Tangan kekar Chanyeol memeluk tubuh Minah. Hangat. Ia meletakkan dagunya dibahu Minah. “Mereka mencarimu – aku tidak bisa menyerahkanmu pada mereka”.
Chanyeol melepas pelukannya. Membalikan tubuh Minah. Tangan gadis itu menahan gaun bagian depannya agar tidak turun. Ibu jari Chanyeol mengusap airmata Minah. Ia menarik dagu gadis itu. Membenamkan bibirnya dengan bibir Minah. Menghisap keras bibir Minah. Tidak seperti ciuman mereka sebelumnya. Kali ini Chanyeol melakukannya dengan penuh gairah. Ciuman Chanyeol semakin menuntut. Kasar namun memabukkan.
Bahkan, Minah tidak sadar jika ia telah melepaskan genggamannya pada gaunnya. Ia malah mencengkram erat bahu Chanyeol. Seolah meminta agar Chanyeol tidak mengakhiri cumbuannya. Chanyeol merebahkan tubuh Minah dengan tubuhnya berada disisi Minah.
“aku tidak akan rela jika harus kehilanganmu”. Bisik Chanyol sebelum kembali meraup bibir Minah. Tangannya mengusap lekuk tubuh Minah. Meloloskan gaun milik Minah dan melempar gaun itu kelantai.
Chanyeol sendiri membuka pakaiannya. Memamerkan tubuh berototnya yang dihiasi beberapa luka memar. Minah mengusap perut pria itu, merambat hingga ke dada dan bahu. Bekas luka ditubuh seksi ini, adalah bukti lain Chanyeol adalah manusia. Mereka kembali berciuman. Minah mengerang tertahan saat Chanyeol membelai pelan perut hingga payudaranya.
Gairah membakar, indah terpancar dari mata keduanya. Minah bergetar dibawah Chanyeol. Bukan karena takut. Tetapi karena ia sudah terlanjur terbakar gairah, akibat sentuhan yang Chanyeol berikan. Chanyeol menarik kaki Minah hingga membuka lebar. Ia masuk diantara kaki yang terbuka lebar itu. Kedua lengan kekar Chanyeol mengurung Minah.
“aku ingin mendengar setiap desahan nafasmu...”. Chanyeol menyingkirkan anak rambut di pelipis Minah. “setiap desahan dan erangan. Aku tidak akan berhenti hingga kau meneriakan namaku”.
Minah mengerang frustasi. Namun suara erangannya tertelan oleh ciuman.
“aku belum pernah melakukan ini sebelumnya”.
Chanyeol tersenyum tenang. “aku akan melakukannya dengan pelan”. Chanyeol mengecup pelipis Minah. Diselah-selah ia berusaha menyatukan tubuh mereka. Minah mengerutkan keningnya. Menggenggam erat lengan berotot Chanyeol. Aku tidak ingin menyakitimu. “Ohh... Minah...”. erang Chanyeol.
Tak ingin melihat Minah kesakitan. Chanyeol melumat bibir Minah. Seolah bisa meredam sakit yang Minah rasakan ditubuh bagian bawahnya.
Ini semua bukan hanya tentang seks. Bagi mereka – ini adalah tanda dari penyerahan diri.
Setiap desah nafas dari bibir Minah dan Chanyeol saat setiap gesekan itu terjadi. Chanyeol bergerak dengan erotis diatas Minah.
Minah tidak pernah membayangkan hal ini. Bercinta dengan orang yang telah membunuh ayah dan saudara-saudaranya. Tapi Minah tidak bisa menghentikan ini. Minah memejamkan matanya.
“Chan –“.
“ya, Minah, keluarkan kenikmatan yang kau tahan”. Bisik Chanyeol lalu mengecup leher Minah pelan. Minah mengerang tenggelam dalam gumpalan kenikmatan yang tak bisa ia jelaskan.
Minah sampai.
Mendesah dan meneriakan nama Chanyeol.
“aku mencintaimu. Selama aku hidup, aku akan menjadi bagian dari dirimu – aku tidak akan menyerah”. Chanyeol mengeluh pelan mendapatkan klimaksnya.
“aku mencintaimu, Chan – kau tidak boleh menyerah”. Minah memeluk erat tubuh Chanyeol.
-
-
Gemercik api dari perapian menimbulkan letupan kecil. Menemani kebersamaan mereka malam ini. Saling memeluk bertukar kehangatan tubuh dibawah selimut tebal. Minah enggan untuk melepaskan pelukkannya.
“ceritakan padaku, alasan mengapa kau menyelamatkanku?”.
Chanyeol mengusap lengan Minah. Lagi – gadis itu menanyakan hal yang sama. Ia sadar jika ia memang belum menjawab pertanyaan itu. “sebenarnya aku ingin memenggal kepalamu saat itu. Tapi – melihatmu meluap karena emosi dan kesedihan yang mendalam, entah mengapa aku jadi kehilangan fokus. Matamu –“.
Chanyeol menggantung kalimatnya. Mengingat kembali mata Minah yang menyiratkan duka, saat Chanyeol dengan keji membunuh ayah Minah dihadapan gadis itu.
“kenapa?”. Minah mendongak, menatap Chanyeol. Tatapan mereka bertemu.
“matamu menceritakan sesuatu padaku. Cerita yang pernah kualami. Aku tersedot dalam sorot matamu”. Lanjut Chanyeol. Ia menghela napas, tatapannya menerawang jauh. “saat aku berusia 8 tahun. Aku juga menyaksikan kedua orang tuaku terbunuh dihadapanku, mereka menyerang desaku, membunuh semua orang tua dan menculik anak-anak. Laki-laki akan mereka jadikan seperti mereka. Dan akulah hasil pelatihan mereka”.
Minah mengusap bekas luka ditubuh Chanyeol. “kau pasti menderita sepanjang hidupmu. Biarkan aku menyembuhkan lukamu”.
“tidak, Minah. Jangan lakukan itu, aku tidak ingin memanfaatkan kemampuanmu”. Cegah Chanyeol.
“tapi –“.
“aku akan mengakhiri ini semua. Aku ingin bersamamu”. Chanyeol mengeratkan pelukannya. Menggenggam erat tangan Minah didadanya. Matanya terpejam mengakhiri ceritanya. Seorang monster pembunuh yang haus akan kenyamanan.
-
-
Semburat merah menyongsong. Sang surya naik ketempatnya.
Saat itu Minah tengah sibuk dengan gaunnya, tiba-tiba Chanyeol muncul dibelakangnya. Menodongkan belatinya ke leher Minah.
“sekarang apa lagi, Chanyeol?”.
Chanyeol terkekeh. “ini – simpan ini bersamamu”. Chanyeol menarik tangan Minah, meletakkan belati itu ditelapak tangan Minah. “aku membuat sendiri belati itu. Jangan hilang ya”.
“kenapa kau memberiku ini?”.
“aku tidak punya perhiasan sebagai mas kawin”. Minah berbalik. Menyipitkan matanya dengan bibir mengerucut. “tidak suka? Kembalikan”. Chanyeol hendak merebut belati itu sebelum Minah menyembunyikannya dibalik tubuhnya.
“mana bisa mas kawin diambil kembali”.
Chanyeol berdecak. Disentilnya pelan jidat Minah. Ia menarik Minah kedalam pelukannya “aku akan menemukan tempat yang aman. Bersabarlah”. Ucap Chanyeol. Minah mengangguk dalam dekapan hangat Chanyeol.
-
-
Dibawah salju yang perlahan kembali turun. Minah menunggu kedatangan Chanyeol. Dibahunya menggantung sebuah gulungan kain berisi pakaian. Chanyeol menyuruhnya menunggu disini. Mereka akan pergi seperti yang Chanyeol katakan padanya pekan lalu.
Sosok itu muncul dengan motornya dari ujung jalan. Minah tersenyum lebar. Melambaikan tangannya kearah Chanyeol.
“ayo kita pergi”. Ajak Chanyeol sesaat setelah menghentikan laju motornya didepan Minah.
Minah meneliti, ada yang kurang dari Chanyeol. Ah, pedangnya. Biasanya pedang itu menggantung dipunggung Chanyeol, bahkan Minah ingat jika pria itu membawa pedangnya saat pergi ke markas Moroi tadi.
“kita akan kemana?”. Minah menanya saat ia duduk dibelakang Chanyeol. Memeluk tubuh Chanyeol. Motor itu kembali melaju, meninggalkan jejak garis dijalanan bersalju. “ketempat yang aman”.
Minah percaya dan menyerahkan segalanya pada Chanyeol. Ia diam. Tak ingin menanya lagi kemana Chanyeol akan membawanya.
Salju sudah berhenti turun dari langit. Chanyeol menghentikan motornya dipinggiran hutan. Mereka pun turun dari motor itu. Minah hanya melongo heran, apa ini tempat yang aman seperti yang Chanyeol katakan?
“ayo”. Tangan Chanyeol terulur. Minah menyambut tangan itu.
Langkah Chanyeol berjalan kedalam hutan itu, dengan Minah dibelakangnya tanpa melepas tautan tangan mereka. Dari sini Minah dapat mendengar aliran air. Sungai? Sepertinya. Akhirnya Chanyeol menghentikan langkahnya ditepian sungai yang saljunya baru saja mencair.
“kau lihat itu adalah perahu, yang akan membawamu ketempat yang lebih aman”. Ujar Chanyeol sambil menunjuk perahu yang mengapung disungai.
“baiklah, ayo kita naik”. Minah melangkah namun Chanyeol melepaskan genggaman tangannya. “Chan –“.
“kau pergilah. Aku akan menghalau mereka agar tidak mengejarmu”. Suruh Chanyeol. Minah tertegun. Mereka menoleh bersamaan saat mendengar derap langkah mendekat ke arah mereka saat ini. “pergilah!”.
“tidak! Aku tidak akan pergi tanpamu”.
Chanyeol menarik tangan Minah. Membawa gadis itu keperahu. Mendorong kuat tubuh Minah hingga terhuyung dan terjatuh di atas perahu. “perahu ini akan berlayar hingga sungai tenang. Dan disana kau akan aman. Sembunyikan identitas mu”. Oceh Chanyeol. Dengan cepat ia membuka ikatan tali dari perahu dan akar pohon yang menahan agar perahu tidak hanyut.
“Chan – tidak mau! Tidak seperti ini caranya. Kumohon naiklah”. Teriak Minah. Tangannya mengulur menahan tangan Chanyeol yang masih menggenggam tali tersebut.
“sial!”. Chanyeol mengumpat. Matanya berair. Ia tak ingin Minah terluka apalagi sampai terbunuh. “Minah, aku mencintaimu. Selama aku tidak menyerah, aku adalah bagian dari dirimu. Aku sudah berjanji akan melindungimu”.
“lalu pergilah bersamaku! Jika tidak biarkan aku mati bersamamu!”. Pekik Minah dengan isakan yang memilukan.
Sreet.
Chanyeol melepas tali perahu itu. “sungai ini sangat deras, jangan bodoh dan terjun ke dalam sungai”. Teriak Chanyeol. Aliran sungai yang deras membuat perahu itu dengan cepat hanyut. Membawa Minah diatasnya.
“Chan!”.
Minah terisak diujung perahu. Ia dapat melihat prajurit Moroi tiba. Chanyeol berbalik dan menghadapi prajurit itu dengan tangan kosong. “Chan”. Suara Minah melemah. Perahu berbelok dan semakin jauh.
Aliran sungai yang memisahkan bunga dan monster.
Chanyeol harus merelakan bunga berharganya pergi bersama perahu yang ia buat sendiri. Menelusuri sungai semakin menjauh.
-
-
Winter, 2193
Hahoe City, Andong, Gyeongsangbuk-do, South Korean
Aku telah memimpikan ini berulangkali. Saat-saat yang kita habiskan bersama, telah berlalu dan pergi jauh.
Akankah ada akhir untuk semua ini?Dapatkah seseorang mengatakan padaku, apa yang harus ku lakukan?
Terkadang aku bertanya-tanya, kemana kau pergi? Aku tak berhasil menemukanmu lagi.
Chanyeol berdiri gagah ditengah hiruk pikuk peperangan yang kembali terjadi. Suasana semakin sepi. Suara derak-derak dari api yang belum padam membakar bangunan.
Tiga tahun telah bertlalu begitu saja. Terasa seperti baru kemarin ia berpisah dengan Minah. Hari itu, ia datang ke markas Moroi. Mengakui semuanya dan berniat untuk menyerahkan diri. Tuan Seunghyun menyuruhnya untuk pergi dengan syarat.
Jika prajurit Moroi berhasil menemukan dirinya dan Minah. Maka mereka akan mati. Karena itulah Chanyeol melepaskan Minah sendirian. Berbahaya jika Minah bersamanya, karena Moroi akan dengan mudah melacak keberadaan Chanyeol.
Tuan Seunghyun membiarkan Chanyeol tetap hidup.
Aku bisa saja menemukan gadis itu dengan mudah. Aku membiarkanmu tetap hidup dan tidak akan mencari gadis itu. Tetapi kau berjanjilah untuk tidak berusaha menemukannya lagi. Ucapan itu selalu diingat oleh Chanyeol.
Ia memejamkan matanya. Ia telah berjanji untuk tidak menemui Minah lagi. Meskipun kerinduannya meletup-letup didalam hati nya.
Matahari telah pergi
Tak ada lagi bayangan
Aku tidak boleh menyerah. Selama aku hidup, kau akan menjadi bagian dari diriku
Aku akan kuat. Aku akan kuat. Sampai aku melihat akhir.
Minah, aku bukan monster.
-
-
END
*Elysian : beatiful, inspired, peaceful and perfect. Elysian = Minah.
Author : Arni Kyo ( @redribbonnnn )
Main cast :
- Bang Minah Girls’ Day
- Park Chanyeol EXO
- Find by yourself
Rating : NC
Length : Oneshoot
~~~
Banyak hal mengerikan yang tak pernah terbayangkan dari dahsyatnya perang nuklir. Suara jeritan, dentingan pedang yang beradu, dan suara mengerikan lainnya berbaur. Hanya demi kemenangan, kekuasaan atas wilayah dan demi kehidupan yang terasa sangat mahal pada masa itu. Mereka ingin menjadi dewa. Menguasai dan memerintah diatas segala yang ada dibumi.
Didalam dunia yang hancur, bahkan tak ada manusia tidak bersikap seperti layaknya manusia lagi. Mereka mengambil pedang dan mencoba untuk menguasai satu sama lain, mulai membantai satu sama lain. Memperebutkan wilayah untuk mereka tinggali.
-
Winter, 2190
Hahoe City, Andong, Gyeongsangbuk-do, South Korean
Sore itu. Kala salju mulai berguguran dari langit gelap. Namun belum sempat menyentuh tanah, butiran salju tersebut sudah mencair terkena panasnya api yang membakar wilayah itu. Pasukan Moroi berhasil meluluh-lantahkan wilayah Hahoe.
“bawa pemimpinnya kemari, dan biarkan aku sendiri yang memenggal kepalanya”. Titah Wu Yifan, pemimpin pasukan Moroi.
Di hadapannya, berlutut beberapa puluh orang yang terbilang kuat di Hahoe, karena berhasil bertahan sampai mereka benar-benar kehabisan tenaga dan takluk saat ini.
Dengan gelagat sombong dan berkuasanya, ia berdiri ditengah ratusan mayat yang bergelimpangan ditanah Hahoe. Tanah Hahoe adalah salah satu wilayah yang diperebutkan karena disini terbilang aman dari serangan nuklir.
Tak menunggu lama, pimpinan Hahoe diseret oleh dua orang prajurit dari dalam barisan. Lalu dilemparkan hingga berlutut dihadapan Wu Yifan.
“kalian sudah kalah. Jadi wilayah ini milik kami sekarang”.
“walaupun kami semua mati, tapi kami tidak akan pernah sudi membiarkan makhluk laknat seperti kalian menempati tanah kami”. Jawab pimpinan Hahoe, Tuan Bang Mingjae.
Sliiing...
Bilah pedang terdengar lalu mengayun mengarah pada tengkuk Tuan Bang. Siap memenggal. Wu Yifan mengangkat tangannya, menginterupsi agar prajuritnya tidak bertindak buru-buru.
“kau ini keras kepala sekali. Kenapa sangat ingin bertahan disini sementara wargamu sudah 80% mati?”. Ujar Wu Yifan yang terdengar meremehkan, diiringi oleh seringaian khasnya.
Disaat yang bersamaan, seorang gadis cantik dengan gaun dan jubah berwarna merah maroon, berjalan keluar dari arah hutan. Tangannya menjinjing seekor kelinci hasil buruannya. Kelinci itu terlepas dari tangannya, jatuh dan berlari kembali kedalam hutan saat Minah menyadari pemandangan didepannya.
“jadi kau memilih mati daripada kami mengirimmu ke pulau Jeju?”. Suara lantang itu seolah mengancam.
“kami akan tetap berada disini!”. jawab Tuan Bang mantap.
“ayah...”. lirih Minah –gadis cantik itu. Kakinya seperti dirantai dengan bola besi menggantung disana. “ayah... AYAH!!!”. Jeritnya tiba-tiba. Dengan bersusah payah ia berlari mendekati kerumunan orang yang tengah menghakimi ayahnya.
Semua orang yang berada disana menoleh kearah Minah, dengan wajah heran dan bertanya-tanya.
“Minah! Lari, nak! Lari sejauh mungkin! Jangan mendekat kemari”. Pekik Tuan Bang. Tak diindahkan oleh Minah yang semakin berlari mendekat.
“tangkap gadis itu!”. Titah Wu Yifan. Prajurit yang berada tak jauh dari sana pun berlari kearah Minah untuk melakukan perintah Wu Yifan. “cih. Ternyata kau masih punya anak”.
Tuan Bang berdiri, hendak menyerang Wu Yifan. Percuma. Belum sempat melangkah, beberapa pedang tajam mengarah padanya. “jangan menyakitinya!”.
Sementara Minah sudah ditangkap dan dibawa mendekat pada Wu Yifan. Ia tidak tahu jika Hahoe akan diserang oleh kelompok Moroi. Maka siang tadi ia bermain di hutan dan berburu hewan untuk makan malam.
Brukk.
Minah dijatuhkan tersungkur begitu saja didepan kaki Wu Yifan. “Ayah”. Panggil Minah. Wu Yifan mengangkat dagu Minah dengan ujung pedang miliknya.
“dia cantik. Beruntung sekali karena dia sendiri yang menyerahkan diri”.
“kirim kami ke Jeju dan ambilah tanah ini”. Ujar Tuan Bang akhirnya.
Wu Yifan tertawa nista. Ia menggerakkan jari telunjuknya atas ke bawah. “berlututlah”. Suruhnya.
Minah menatap ayahnya. Sungguh! Miris sekali. Ayahnya adalah pria yang kuat. Pria yang bijaksana hingga ia dipilih menjadi pimpinan kota kecil ini. Lalu – sekarang yang Minah lihat hanyalah wajah menyerah ayahnya.
Tuan Bang berlutut kembali. Tak ada hal lain yang mereka inginkan sekarang. Hanyalah kebebasan. Mengalah demi tetap bertahan hidup. “bersujud”. Titah Wu Yifan lagi. Tuan Bang menatap dengan kilatan marah. “tunggu apa lagi? Ayo bersujud!”.
“ayah”. Lirih Minah. Tangannya mengepal. Tak terima ayahnya diperlakukan seperti ini.
Tapi – tak ada penolakan. Tuan Bang bersujud. Berhasil mengundang tawa kemenangan dari Wu Yifan. “baiklah, kuberi waktu untuk pergi ke Jeju”. Wu Yifan berbalik, memberi tanda pada prajuritnya agar mengikutinya.
Beberapa langkah Wu Yifan pergi. Minah merayap menghampiri ayahnya. Memeluk tubuh ringkih itu sejenak. “ayah, kenapa – kenapa ini bisa terjadi?”. Tanyanya tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.
“mereka tiba-tiba saja datang dan menyerang. Banyak warga yang tidak siap untuk melawan mereka. Maafkan ayah Minah”.
“tidak pergi meminta maaf. Aku bersyukur ayah masih hidup”. Minah menunduk, enggan menunjukkan tangisannya dihadapan sang ayah.
Sliing sliing.. slaatt!
“aakkh!”. Ringisan itu terdengar memilukan. Takut-takut Minah mengangkat kepalanya. Tubuh ayahnya terhuyung kedepan. Minah segera menangkap tubuh itu. “Min-ah... maafkan... ayah”.
“tidak... tidak!!!”. Minah memekik histeris. Ayahnya tewas. Mendapat serangan dari belakang oleh pria bertubuh tinggi, sorot mata yang tajam dan sebuah tatto Phoenix dileher kirinya. Minah menatap mata itu berlama-lama.
Tampan. Baiklah – lupakan, Minah. Dia adalah orang yang membunuh ayahmu.
Tak lama setelah itu, warga Hahoe yang tersisa juga ikut dihabisi nyawanya oleh prajurit Moroi. Minah gemetar. Literan darah segar mengalir ketanah.
“bajingan!”. Desis Minah. Ia mendongak, menatap sosok tinggi yang telah menghabisi nyawa ayahnya. “kalian monster, biadab!”. Pekik Minah lantas berdiri seraya menarik pedang milik ayahnya.
Minah melayangkan pedang tersebut pada Chanyeol. Ya, prajurit Moroi yang menghabisi nyawa ayahnya itu. Chanyeol hanya diam. Kehilangan fokusnya melihat emosi Minah yang memuncak.
Sliiing.
“bodoh”. Sebuah pedang menangkis serangan Minah sebelum membelah kepala Chanyeol. Orang itu adalah Wu Yifan. Minah terhuyung kebelakang. Jika saja ia tidak dalam keadaan kalap dan trauma, ia bisa saja bertahan dan tidak terlihat lemah seperti ini.
“hyahh!”. Minah kembali melayangkankan pedangnya. Kali ini kedua bilah pedang beradu. Chanyeol, pria itu hanya melongo melihat pertarungan Wu Yifan dan Minah. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Bruukk. Minah tersungkur terkena serangan Wu Yifan. Tangan kasar pria itu mencengkram rahang Minah.
“sebenarnya aku sangat berminat padamu. Tetapi kau terlalu garang”. Desis Wu Yifan. Dengan kasar ia menghempaskan tubuh lemah Minah. “kau – besok malam temui aku”. Wu Yifan menunjuk Chanyeol.
Chanyeol mengangguk mengiyakan.
Wu Yifan kembali berjalan. Kali ini ia benar-benar menaiki mobil untuk membawanya pergi. Chanyeol mengalihkan pandangannya pada seonggok daging yang ia harap masih bernyawa itu –Minah.
Minah sudah kelihangan separuh kesadarannya. Tubuhnya mati rasa karena dingin yang begitu menusuk tulang. Nyeri dibeberapa bagian tubuh akibat luka dari goresan pedang Wu Yifan tadi.
Butiran salju turun semakin banyak. Jatuh mengenai wajah putihnya yang sudah sangat pucat.
~oOo~
Tatto Phoenix itu terukir dibagian leher kiri pria tinggi bernama Chanyeol itu. Diruangan ini, ia duduk di depan perapian, sambil memainkan sebuah pisau belati kecil dengan ukiran pada sarung belati tersebut. Terbaring tak jauh darinya, tubuh Minah yang ia beberapa hari yang lalu.
Minah tersadar. Perlahan ia membuka matanya. Kepalanya pening dan kakinya nyeri sekali. Tetapi, hey, apa ini? Sebuah selimut tebal menyelimuti dirinya? Dimana ia saat ini?
“uh –“. Minah bangkit, duduk.
Chanyeol menoleh. “kau sudah bangun?”. Ujar Chanyeol lalu berjalan mendekati Minah.
“ja-jangan mendekat”. Seru Minah dengan sorot mata ketakutan. Chanyeol berjalan menuju sebuah meja kecil. Menuang air ke dalam gelas almunium. “minum ini”.
“aku tidak butuh”. Tolak Minah acuh, mengalihkan pandangannya dengan guratan takut itu.
Chanyeol menarik kasar tangan Minah, meletakkan air minum itu ketangan Minah. “aku berbaik hati membawamu kesini, merawat dan menjaga mu. Tidak tahu terima kasih!”. Bentak Chanyeol.
Praang...
Minah melempar gelas berisi air tersebut. “aku tidak sudi meminum ataupun memakan apapun yang kau berikan. Pembunuh!”. Minah balas berteriak.
“sialan!”.
Plakk!
Chanyeol melayangkan sebuah tamparan pada Minah. Cukup – ah, tidak, tapi sangat keras. Hingga tubuh Minah terhempas kesamping dan bibirnya membentur sandaran shofa tempatnya terbaring.
Lalu, detik berikutnya...
Chanyeol duduk disebelah tubuh Minah. Menarik lengan gadis itu. Memastikan Minah baik-baik saja setelah tamparan sadis yang ia lakukan. Bibir Minah terluka dan berdarah. “aku – tidak ingin kau terluka”.
Ucapan dari mulut Chanyeol yang berhasil membuat Minah mematung. Tak mengerti apa yang sebenarnya pria ini pikirkan. Chanyeol mendekatkan tubuhnya. Mengecup bibir Minah. Tangannya merambat mengusap paha Minah. Kemudian menghisap pelan darah yang keluar dari luka dibibir mungil Minah.
Rasanya sama saja seperti darah manusia lainnya. Tapi, Chanyeol merasakan sensasi yang berbeda saat mengesap sedikit darah dari Minah. Luka. Ya, Chanyeol menemukan luka dari setitik darah itu.
“aku akan keluar untuk mencari makan malam”. Ujar Chanyeol sesaat setelah melepas kecupannya. Minah tetap acuh padanya. Chanyeol berdiri, mengambil jubah dan tak lupa menenteng belati yang ia pegang tadi. “kau – keluarlah dari tempat ini jika ingin kepala dan tubuhmu terpisah”. Peringat Chanyeol sebelum benar-benar pergi.
Brakk!
Suara pintu tertutup menandakan Chanyeol sudah keluar dari tempat ini. Minah menyingkap selimutnya. Bagus sekali, pakaiannya telah berganti dengan pakaian yang ia yakin bukan miliknya. Minah menghela napas berat. Jadi monster itu sudah melihat tubuhku? Sialan. Minah mengumpat dalam hati nya.
Setelah berhasil meredakan nyeri hebat pada kakinya yang terluka, Minah berlari tertatih kearah pintu. Mengabaikan ucapan Chanyeol tentang pisahnya kepala dan tubuhnya jika ia keluar dari sini. Persetan dengan ucapan pembunuh itu.
ceklek... ceklekk...
“uh? Terkunci? Sialan!”. Minah berbalik membelakangi pintu. Dipikirnya jika pintu itu tidak terkunci makanya Chanyeol berkata seperti tadi. Kini bahunya terasa sangat berat. Ia kelaparan.
Bruukk..
Minah terjatuh tepat didepan jendela yang gordennya terbuka sedikit. Putih. Salju turun sangat lebat diluar sana. Perlahan mata Minah mengecil. Tak kuat menahan ngilu di perutnya yang sudah meradang minta diberi makanan.
Dibadai salju yang selebat ini – mungkinkah monster itu bisa mendapat makanan? Bagaimana jika ia tidak kembali? Lalu aku akan mati karena kelaparan ditempat ini? Ayah – Minah pingsan.
-
-
Chanyeol – salah satu dari monster pembunuh yang merebut kota ini dengan cara yang keji. Mereka manusia, tapi tidak pernah bersikap seperti manusia. Sedari kecil mereka dilatih untuk menjadi monster kejam – mesin pembunuh. Namun – sepertinya sekarang Chanyeol telah berubah. Menaruh belas kasihan pada gadis bernama Minah.
Chanyeol sangat jarang berbicara. Hari ini, adalah hari ke 20 Minah tinggal bersamanya. Didalam bangunan yang sepertinya adalah perpustakaan dari rumah mewah dikota ini. Terdapat rak buku yang tersusun deretan buku-buku tebal. Tepat didepan rak tersebut ada 2 jendela yang selalu tertutup gorden.
Sebuah shofa santai yang menjadi tempat tidur Minah. Sementara itu Chanyeol tidur dishofa untuk membaca buku yang terletak didekat rak buku. Lalu, meja kecil yang diatasnya terdapat 2 buah piring, gelas almunium dan termos air berukuran sedang. Disebelah meja itu adalah kamar mandi kecil.
Malam itu – Chanyeol dan Minah tengah menikmati hasil buruan Chanyeol. Mereka berdua duduk diatas ambal tebal didepan perapian. Makan dengan hikmat dan hening tanpa mengobrol – ya, seperti biasanya.
“apa yang kau lihat?”. Tanya Chanyeol tanpa menoleh pada Minah, menyadari jika gadis itu menatapnya sedari tadi.
Minah telah menyelesaikan acara makan malam nya lebih dulu. “kau makan dengan baik, jadi kau benar-benar manusia?”. Ujar Minah blak-blakan.
Pluk.
Chanyeol melempar daging kelinci panggang yang ia pegang tadi. Mengelap tangannya dengan kain kecil yang ia sediakan. Lalu menatap Minah tajam. Manik matanya terpantul oleh cahaya api dari perapian.
“jadi menurutmu aku ini apa? Robot? Siluman?”.
“uh? Bisa saja kau ini vampire. Seperti cerita lama itu”.
Sreet.
Dengan gerakan cepat, Chanyeol mendekatkan tubuhnya kearah Minah. Minah yang tidak siap dengan gerakan mendadak itu, lantas berbarik kelantai karena terkejut. Mereka berada dijarak yang sangat sempit.
Mendapatkan ciuman dari Chanyeol bukan hal yang asing bagi Minah. Pria itu selalu memberikan ciuman dikening dan bibir Minah, saat ia akan pergi keluar ataupun pulang. Minah tidak protes. Ia sudah terlanjur keranjingan dengan ciuman pria itu.
“biar kutunjukkan padamu, seperti apa vampire yang kau katakan itu”.
Chanyeol mengecup bibir Minah sekilas. Lalu beralih pada leher gadis itu. Mengecup dan menggigit kecil leher Minah. “uhh..”. lenguhan itu lolos begitu saja dari mulut Minah.
Minah tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Ia hanya merasa jika ia harus menikmati perlakuan Chanyeol padanya. Ciuman pada leher? Oh Tuhan! Minah belum pernah melakukan itu. Bahkan ciuman pertamanya pun ia lakukan dengan sahabatnya, Yoo Kihyun.
Chanyeol semakin penasaran untuk menelusuri lekuk leher Minah dengan bibirnya. Ciuman itu mulai bergerak kesetiap sudut yang ia lewati. Hingga bibirnya tiba dibagian empuk nan putih. Dada Minah. Chanyeol menghisap bagian itu dengan kuat.
“aakh”.
“apa ini sakit?”. Chanyeol mendongak saat mendengar Minah menjerit pelan.
Minah segera menggeleng. Ia juga tidak mengerti bagaimana ia bisa mengeluarkan suara seperti itu. “Chan –“.
“tidurlah”. Suruh Chanyeol lantas bangkit dari atas tubuh Minah. Ia pun melanjutkan memakan daging panggang yang tersisa. Sedikit makanan sangat berharga, apalagi dimusim dingin seperti ini. Susah untuk berburu.
Malam saat Minah pingsan karena kelaparan. Membuat Chanyeol panik bukan kepalang. Sejak saat itu ia berusaha keras agar selalu mendapatkan hewan buruan untuk dibawa pulang. Chanyeol mungkin bisa bertahan 3 hari tanpa makan dan hanya minum air salju. Tapi – tidak untuk Minah.
“tidurlah bersamaku”. Takut-takut Minah memegang lengan Chanyeol.
“kau tidak takut aku membunuhmu?”. Tanya Chanyeol. Tentu Chanyeol ingat saat ia menemukan Minah terjaga sepanjang malam karena takut dibunuh saat sedang tertidur.
“kau – menyelamatkan aku, tidak mungkin kau akan membunuhku begitu saja. Benar kan?”.
“seharusnya, hari itu aku meninggalkanmu diantara tumpukan mayat yang akan dibakar. Bodohnya, aku malah berbalik dan mencari tubuhmu diantara mayat-mayat itu. Entah mengapa, aku merasa sangat senang saat menemukanmu. Masih bernapas dan belum terbakar”. Jelas Chanyeol sembari membereskan bekas makan mereka.
“kau manusia. Sama sepertiku. Aku yakin kau orang yang baik”. Minah menatap Chanyeol. Tersenyum simpul pada pria itu. Demi apapun, Chanyeol membalas senyuman itu. “ini pertama kalinya aku mendengarmu berbicara panjang lebar dan – melihatmu tersenyum”.
-
-
Markas Moroi.
Chanyeol berjalan gagah melewati barisan obor dilorong panjang ini. Malam ini, mereka akan mengadakan pertemuan dengan Tuan mereka. Tuan Seunghyun. Chanyeol yakin ia sudah terlambat datang. Karena ia harus mengurus Minah terlebih dahulu baru bisa pergi keluar dengan perasaan tenang.
Pintu besar itu terbuka. Semua yang hadir menoleh pada sosok yang baru saja tiba. Dengan santai, Chanyeol memasuki ruangan dengan meja besar yang dipinggirannya duduk dengan rapi prajurit andalan Moroi.
“semuanya sudah hadir disini”. ujar Tuan Seunghyun sambil memakan hidangan makan malamnya. “apakah diantara kalian tidak menemukan gadis itu?”.
Para prajurit saling menoleh mendengar pertanyaan tersebut. Tidak terkecuali Chanyeol. “dikota Hahoe ini terdapat banyak gadis, gadis mana yang anda maksud Tuan?”. Tanya Wu Yifan.
Tuan Seunghyung mengesap wine nya. Rasa asam wine itu meresap disekujur mulutnya. “gadis itu – gadis dengan tatto Unicorn dipunggung sebelah kanannya”.
Chanyeol mengerutkan keningnya. Tatto itu? Minah? Sebisa mungkin Chanyeol menjaga sikapnya. Jangan sampai gelagat mencurigakannya tercium oleh Tuan Seunghyun yang sangat peka itu.
“siapa sebenarnya gadis dengan tatto itu?”. Hyungwoon menanya.
Tuan Seunghyun berdiri. Berjalan kearah jendela besar dibelakang tempat duduknya. Lalu membuka jubah bulu yang ia kenakan. Memamerkan luka yang cukup parah dibagian punggungnya.
“aku mendapatkan luka ini saat berperang untuk merebut wilayah Daegu. Hingga sekarang – setiap malam saat aku berbaring akan tidur, aku tetap merasakan sakit”. Tuan Seunghyun menoleh. “karena itu aku menyerahkan kekuasaanku pada Wu Yifan”.
“lalu, apa yang bisa gadis bertatto Unicorn itu lakukan untukmu, Tuan?”. Tanya Wu Yifan penasaran.
“menurut rumor yang beredar. Gadis itu memiliki kekuatan menyembuhkan. Banyak kelompok yang mengincarnya hingga ia dan keluarganya berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari kelompok pemberontak”. Jelas Tuan Seunghyun.
“jadi, kita bisa memanfaatkannya untuk menyembuhkan siapapun yang terluka?”. Celetuk Baekhyun yang mulai tertarik untuk berburu menemukan gadis itu.
Tuan Seunghyun menyeringai. “lihatlah betapa menguntungkannya jika kita mendapatkan gadis itu. Dan lagi, ia sangat cantik. Tidak rugi menghabiskan malam bercinta dengannya”.
Chanyeol menggenggam erat pedang miliknya. Telinganya panas mendengar ucapan fulgas dari Tuannya ini. Tapi ia berusaha untuk tetap tenang.
“jika kalian berhasil mendapatkannya dan membawanya kehadapanku dalam keadaan hidup, maka aku akan memberikan imbalan pada kalian. Tentu saja imbalan yang tidak murah”.
Para prajurit mulai berisik saling bertukar informasi tentang gadis yang dimaksud. Barangkali mereka melihat sosok yang dimaksud. Tuan Seunghyun kembali memakai jubahnya dan pergi meninggalkan ruangan itu.
“apa kalian tidak merasa telah membunuh gadis yang dimaksud oleh Tuan Seunghyun?”. Tanya Wu Yifan dengan suara lantang.
“sepertinya tidak”. Jawab Baekhyun. Ya, seingatnya ia hanya membunuh prajurit Hahoe yang berusaha melawannya.
Selagi mereka saling berbincang, Chanyeol memikirkan hal lain. Minah dirumah sendirian. Bagaimana jika prajurit khusus Tuan Seunghyun mengetahui keberadaan Minah? Chanyeol hanya berdoa agar Minah tidak menyalakan api dan membuka gorden.
“Chanyeol, bagaimana denganmu? Apa kau ingat telah membunuh gadis itu?”. Tanya Wu Yifan kemudian. Ia tidak heran jika Chanyeol hanya diam, karena pria itu memang jarang berbicara.
“tidak. Aku hanya membunuh orang yang kau suruh saja”. Jawab Chanyeol tenang.
“baiklah, sebaiknya kita pulang saja dulu. Besok siang kita akan melakukan penelusuran untuk mencari keberadaan gadis itu”. Wu Yifan berdiri hendak pergi.
-
-
Minah mengintip dari celah gorden yang terbuka sedikit. Chanyeol melarangnya untuk menyalakan api ataupun membuka gorden, saat Chanyeol tidak berada dirumah. Karena itu akan mengundang kecurigaan bagi prajurit Moroi.
Minah tersenyum lega saat melihat Chanyeol tiba dihalaman rumah itu. Memarkirkan motornya. Mata tajam Chanyeol menengok kearah Minah. “mungkinkah dia? jika benar, apa aku harus membawanya pada Tuan Seunghyun?”. Gumam Chanyeol. Hatinya merasa bimbang.
Dengan langkah besar, Chanyeol berjalan kearah pintu. Membuka pintu dan segera masuk. “bagaimana pertemuan kalian? Apa kalian akan melakukan penyerangan ke wilayah lain? Jika ya, apa aku akan ikut?”. Minah langsung menghujani Chanyeol dengan pertanyaan sembari mengekor dibelakang Chanyeol.
“tidak”. Jawab Chanyeol singkat.
“hmm... baiklah, kau pasti lelah, bagaimana kalau –“. Ucapan Minah terpotong saat Chanyeol mendadak menoleh padanya. Menatapnya tajam. Tangan Chanyeol mencengkram leher Minah kuat. Hingga gadis itu hampir kehabisan napasnya. “Chan... uukkh”.
Entah apa yang merasukinya, Chanyeol tidak mempedulikan Minah yang kesusahan dicekik olehnya. Tangan mungil Minah menggenggam pergelangan tangan Chanyeol. Berusaha melepaskan cekikan Chanyeol dari lehernya.
“aku – aku tidak bisa membunuhmu”. Perlahan cekikan itu mengendur. Minah menstabilkan napasnya. Chanyeol melangkah mundur. Tubuhnya terduduk diatas shofa yang sudah beberapa hari ini menjadi tempat tidur mereka berdua.
“kau kenapa?”.
“pergilah. Aku tidak ingin menyakitimu”.
“katakan padaku, kau kenapa?”.
Minah duduk disebelah Chanyeol. Hendak membaca pikiran pria itu. Chanyeol menunduk. Sebulir air mata mengalir dari pelupuk matanya. Seorang monster pembunuh menangis.
“berbaliklah dan buka bajumu”.
“apa?”.
“lakukan saja!”.
Bentakan itu membuat Minah terkejut. Dengan perasaan was-was, ia berbalik, menurunkan retsleting gaunnya perlahan. Lalu menurunkan gaunnya. Jantungnya berdegup kencang. Sangat takut.
Chanyeol diam saja saat melihat punggung putih mulus milik Minah terpampang jelas dihadapannya kini. Dan – ya, tatto Unicorn itu terukir dipunggung kanan Minah. Chanyeol frustasi. Jadi benar, Minah adalah gadis yang dicari oleh Tuan Seunghyun.
Ujung jemari Chanyeol mengusap tatto itu.
“siapa kau sebenarnya?”.
“kumohon – kita jangan berpisah. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini”. Minah menyuarakan isi hatinya dengan isakan kecil.
Greebb.
Tangan kekar Chanyeol memeluk tubuh Minah. Hangat. Ia meletakkan dagunya dibahu Minah. “Mereka mencarimu – aku tidak bisa menyerahkanmu pada mereka”.
Chanyeol melepas pelukannya. Membalikan tubuh Minah. Tangan gadis itu menahan gaun bagian depannya agar tidak turun. Ibu jari Chanyeol mengusap airmata Minah. Ia menarik dagu gadis itu. Membenamkan bibirnya dengan bibir Minah. Menghisap keras bibir Minah. Tidak seperti ciuman mereka sebelumnya. Kali ini Chanyeol melakukannya dengan penuh gairah. Ciuman Chanyeol semakin menuntut. Kasar namun memabukkan.
Bahkan, Minah tidak sadar jika ia telah melepaskan genggamannya pada gaunnya. Ia malah mencengkram erat bahu Chanyeol. Seolah meminta agar Chanyeol tidak mengakhiri cumbuannya. Chanyeol merebahkan tubuh Minah dengan tubuhnya berada disisi Minah.
“aku tidak akan rela jika harus kehilanganmu”. Bisik Chanyol sebelum kembali meraup bibir Minah. Tangannya mengusap lekuk tubuh Minah. Meloloskan gaun milik Minah dan melempar gaun itu kelantai.
Chanyeol sendiri membuka pakaiannya. Memamerkan tubuh berototnya yang dihiasi beberapa luka memar. Minah mengusap perut pria itu, merambat hingga ke dada dan bahu. Bekas luka ditubuh seksi ini, adalah bukti lain Chanyeol adalah manusia. Mereka kembali berciuman. Minah mengerang tertahan saat Chanyeol membelai pelan perut hingga payudaranya.
Gairah membakar, indah terpancar dari mata keduanya. Minah bergetar dibawah Chanyeol. Bukan karena takut. Tetapi karena ia sudah terlanjur terbakar gairah, akibat sentuhan yang Chanyeol berikan. Chanyeol menarik kaki Minah hingga membuka lebar. Ia masuk diantara kaki yang terbuka lebar itu. Kedua lengan kekar Chanyeol mengurung Minah.
“aku ingin mendengar setiap desahan nafasmu...”. Chanyeol menyingkirkan anak rambut di pelipis Minah. “setiap desahan dan erangan. Aku tidak akan berhenti hingga kau meneriakan namaku”.
Minah mengerang frustasi. Namun suara erangannya tertelan oleh ciuman.
“aku belum pernah melakukan ini sebelumnya”.
Chanyeol tersenyum tenang. “aku akan melakukannya dengan pelan”. Chanyeol mengecup pelipis Minah. Diselah-selah ia berusaha menyatukan tubuh mereka. Minah mengerutkan keningnya. Menggenggam erat lengan berotot Chanyeol. Aku tidak ingin menyakitimu. “Ohh... Minah...”. erang Chanyeol.
Tak ingin melihat Minah kesakitan. Chanyeol melumat bibir Minah. Seolah bisa meredam sakit yang Minah rasakan ditubuh bagian bawahnya.
Ini semua bukan hanya tentang seks. Bagi mereka – ini adalah tanda dari penyerahan diri.
Setiap desah nafas dari bibir Minah dan Chanyeol saat setiap gesekan itu terjadi. Chanyeol bergerak dengan erotis diatas Minah.
Minah tidak pernah membayangkan hal ini. Bercinta dengan orang yang telah membunuh ayah dan saudara-saudaranya. Tapi Minah tidak bisa menghentikan ini. Minah memejamkan matanya.
“Chan –“.
“ya, Minah, keluarkan kenikmatan yang kau tahan”. Bisik Chanyeol lalu mengecup leher Minah pelan. Minah mengerang tenggelam dalam gumpalan kenikmatan yang tak bisa ia jelaskan.
Minah sampai.
Mendesah dan meneriakan nama Chanyeol.
“aku mencintaimu. Selama aku hidup, aku akan menjadi bagian dari dirimu – aku tidak akan menyerah”. Chanyeol mengeluh pelan mendapatkan klimaksnya.
“aku mencintaimu, Chan – kau tidak boleh menyerah”. Minah memeluk erat tubuh Chanyeol.
-
-
Gemercik api dari perapian menimbulkan letupan kecil. Menemani kebersamaan mereka malam ini. Saling memeluk bertukar kehangatan tubuh dibawah selimut tebal. Minah enggan untuk melepaskan pelukkannya.
“ceritakan padaku, alasan mengapa kau menyelamatkanku?”.
Chanyeol mengusap lengan Minah. Lagi – gadis itu menanyakan hal yang sama. Ia sadar jika ia memang belum menjawab pertanyaan itu. “sebenarnya aku ingin memenggal kepalamu saat itu. Tapi – melihatmu meluap karena emosi dan kesedihan yang mendalam, entah mengapa aku jadi kehilangan fokus. Matamu –“.
Chanyeol menggantung kalimatnya. Mengingat kembali mata Minah yang menyiratkan duka, saat Chanyeol dengan keji membunuh ayah Minah dihadapan gadis itu.
“kenapa?”. Minah mendongak, menatap Chanyeol. Tatapan mereka bertemu.
“matamu menceritakan sesuatu padaku. Cerita yang pernah kualami. Aku tersedot dalam sorot matamu”. Lanjut Chanyeol. Ia menghela napas, tatapannya menerawang jauh. “saat aku berusia 8 tahun. Aku juga menyaksikan kedua orang tuaku terbunuh dihadapanku, mereka menyerang desaku, membunuh semua orang tua dan menculik anak-anak. Laki-laki akan mereka jadikan seperti mereka. Dan akulah hasil pelatihan mereka”.
Minah mengusap bekas luka ditubuh Chanyeol. “kau pasti menderita sepanjang hidupmu. Biarkan aku menyembuhkan lukamu”.
“tidak, Minah. Jangan lakukan itu, aku tidak ingin memanfaatkan kemampuanmu”. Cegah Chanyeol.
“tapi –“.
“aku akan mengakhiri ini semua. Aku ingin bersamamu”. Chanyeol mengeratkan pelukannya. Menggenggam erat tangan Minah didadanya. Matanya terpejam mengakhiri ceritanya. Seorang monster pembunuh yang haus akan kenyamanan.
-
-
Semburat merah menyongsong. Sang surya naik ketempatnya.
Saat itu Minah tengah sibuk dengan gaunnya, tiba-tiba Chanyeol muncul dibelakangnya. Menodongkan belatinya ke leher Minah.
“sekarang apa lagi, Chanyeol?”.
Chanyeol terkekeh. “ini – simpan ini bersamamu”. Chanyeol menarik tangan Minah, meletakkan belati itu ditelapak tangan Minah. “aku membuat sendiri belati itu. Jangan hilang ya”.
“kenapa kau memberiku ini?”.
“aku tidak punya perhiasan sebagai mas kawin”. Minah berbalik. Menyipitkan matanya dengan bibir mengerucut. “tidak suka? Kembalikan”. Chanyeol hendak merebut belati itu sebelum Minah menyembunyikannya dibalik tubuhnya.
“mana bisa mas kawin diambil kembali”.
Chanyeol berdecak. Disentilnya pelan jidat Minah. Ia menarik Minah kedalam pelukannya “aku akan menemukan tempat yang aman. Bersabarlah”. Ucap Chanyeol. Minah mengangguk dalam dekapan hangat Chanyeol.
-
-
Dibawah salju yang perlahan kembali turun. Minah menunggu kedatangan Chanyeol. Dibahunya menggantung sebuah gulungan kain berisi pakaian. Chanyeol menyuruhnya menunggu disini. Mereka akan pergi seperti yang Chanyeol katakan padanya pekan lalu.
Sosok itu muncul dengan motornya dari ujung jalan. Minah tersenyum lebar. Melambaikan tangannya kearah Chanyeol.
“ayo kita pergi”. Ajak Chanyeol sesaat setelah menghentikan laju motornya didepan Minah.
Minah meneliti, ada yang kurang dari Chanyeol. Ah, pedangnya. Biasanya pedang itu menggantung dipunggung Chanyeol, bahkan Minah ingat jika pria itu membawa pedangnya saat pergi ke markas Moroi tadi.
“kita akan kemana?”. Minah menanya saat ia duduk dibelakang Chanyeol. Memeluk tubuh Chanyeol. Motor itu kembali melaju, meninggalkan jejak garis dijalanan bersalju. “ketempat yang aman”.
Minah percaya dan menyerahkan segalanya pada Chanyeol. Ia diam. Tak ingin menanya lagi kemana Chanyeol akan membawanya.
Salju sudah berhenti turun dari langit. Chanyeol menghentikan motornya dipinggiran hutan. Mereka pun turun dari motor itu. Minah hanya melongo heran, apa ini tempat yang aman seperti yang Chanyeol katakan?
“ayo”. Tangan Chanyeol terulur. Minah menyambut tangan itu.
Langkah Chanyeol berjalan kedalam hutan itu, dengan Minah dibelakangnya tanpa melepas tautan tangan mereka. Dari sini Minah dapat mendengar aliran air. Sungai? Sepertinya. Akhirnya Chanyeol menghentikan langkahnya ditepian sungai yang saljunya baru saja mencair.
“kau lihat itu adalah perahu, yang akan membawamu ketempat yang lebih aman”. Ujar Chanyeol sambil menunjuk perahu yang mengapung disungai.
“baiklah, ayo kita naik”. Minah melangkah namun Chanyeol melepaskan genggaman tangannya. “Chan –“.
“kau pergilah. Aku akan menghalau mereka agar tidak mengejarmu”. Suruh Chanyeol. Minah tertegun. Mereka menoleh bersamaan saat mendengar derap langkah mendekat ke arah mereka saat ini. “pergilah!”.
“tidak! Aku tidak akan pergi tanpamu”.
Chanyeol menarik tangan Minah. Membawa gadis itu keperahu. Mendorong kuat tubuh Minah hingga terhuyung dan terjatuh di atas perahu. “perahu ini akan berlayar hingga sungai tenang. Dan disana kau akan aman. Sembunyikan identitas mu”. Oceh Chanyeol. Dengan cepat ia membuka ikatan tali dari perahu dan akar pohon yang menahan agar perahu tidak hanyut.
“Chan – tidak mau! Tidak seperti ini caranya. Kumohon naiklah”. Teriak Minah. Tangannya mengulur menahan tangan Chanyeol yang masih menggenggam tali tersebut.
“sial!”. Chanyeol mengumpat. Matanya berair. Ia tak ingin Minah terluka apalagi sampai terbunuh. “Minah, aku mencintaimu. Selama aku tidak menyerah, aku adalah bagian dari dirimu. Aku sudah berjanji akan melindungimu”.
“lalu pergilah bersamaku! Jika tidak biarkan aku mati bersamamu!”. Pekik Minah dengan isakan yang memilukan.
Sreet.
Chanyeol melepas tali perahu itu. “sungai ini sangat deras, jangan bodoh dan terjun ke dalam sungai”. Teriak Chanyeol. Aliran sungai yang deras membuat perahu itu dengan cepat hanyut. Membawa Minah diatasnya.
“Chan!”.
Minah terisak diujung perahu. Ia dapat melihat prajurit Moroi tiba. Chanyeol berbalik dan menghadapi prajurit itu dengan tangan kosong. “Chan”. Suara Minah melemah. Perahu berbelok dan semakin jauh.
Aliran sungai yang memisahkan bunga dan monster.
Chanyeol harus merelakan bunga berharganya pergi bersama perahu yang ia buat sendiri. Menelusuri sungai semakin menjauh.
-
-
Winter, 2193
Hahoe City, Andong, Gyeongsangbuk-do, South Korean
Aku telah memimpikan ini berulangkali. Saat-saat yang kita habiskan bersama, telah berlalu dan pergi jauh.
Akankah ada akhir untuk semua ini?Dapatkah seseorang mengatakan padaku, apa yang harus ku lakukan?
Terkadang aku bertanya-tanya, kemana kau pergi? Aku tak berhasil menemukanmu lagi.
Chanyeol berdiri gagah ditengah hiruk pikuk peperangan yang kembali terjadi. Suasana semakin sepi. Suara derak-derak dari api yang belum padam membakar bangunan.
Tiga tahun telah bertlalu begitu saja. Terasa seperti baru kemarin ia berpisah dengan Minah. Hari itu, ia datang ke markas Moroi. Mengakui semuanya dan berniat untuk menyerahkan diri. Tuan Seunghyun menyuruhnya untuk pergi dengan syarat.
Jika prajurit Moroi berhasil menemukan dirinya dan Minah. Maka mereka akan mati. Karena itulah Chanyeol melepaskan Minah sendirian. Berbahaya jika Minah bersamanya, karena Moroi akan dengan mudah melacak keberadaan Chanyeol.
Tuan Seunghyun membiarkan Chanyeol tetap hidup.
Aku bisa saja menemukan gadis itu dengan mudah. Aku membiarkanmu tetap hidup dan tidak akan mencari gadis itu. Tetapi kau berjanjilah untuk tidak berusaha menemukannya lagi. Ucapan itu selalu diingat oleh Chanyeol.
Ia memejamkan matanya. Ia telah berjanji untuk tidak menemui Minah lagi. Meskipun kerinduannya meletup-letup didalam hati nya.
Matahari telah pergi
Tak ada lagi bayangan
Aku tidak boleh menyerah. Selama aku hidup, kau akan menjadi bagian dari diriku
Aku akan kuat. Aku akan kuat. Sampai aku melihat akhir.
Minah, aku bukan monster.
-
-
END
*Elysian : beatiful, inspired, peaceful and perfect. Elysian = Minah.