LIED
Title : LIED
Author : Chasey (@bbhynx)
Cast : Park Chanyeol, Son Naeun, dan Wu Yifan
Genre : School life, Drama, Sad, Romance
Length : Oneshoot
Rating : T
Summary : “As cold as ice cream, but still as sweet.”
Letter (Surat)
Aku menaiki anak tangga satu demi satu agar mencapai lantai ketiga di sekolah ku ini. Teman-teman ku seperti biasa selalu datang lebih pagi dariku. Entah mengerjakan tugas rumah, atau sarapan di kantin, ada pula yang bermain alat music dan bernyanyi bersama di depan kelas.
Aku masuk ke dalam kelas dan akan duduk di bangku ku sebelum aku menemukan sepucuk amplop berwarna rainbow di atas mejaku. Aku melihat ke arah sekelilingku. Mungkin ini punya temanku yang sengaja ia letakkan di atas mejaku.
“Hey, ini punya kalian?” aku berteriak kepada seluruh isi kelas. Semua menengok ke arah ku.
“Park Chanyeol. Dari kelas seberang yang menitipkannya padaku. Dia bilang, tolong berikan surat ini di atas mejamu,” ketua kelasku −Choi Seunghyun− berdiri dari bangkunya dan menjawab pertanyaanku.
Aku mengangguk pelan padanya sambil masih menatap ke arah amplop yang sekarang sedang kugenggam. “baiklah, terimakasih Seunghyun-ssi,” ucapku pada ketua kelasku sambil tersenyum.
Perlahan, aku membuka lipatan amplop tersebut. Terdapat tulisan “Dear, Son Naeun.” dengan tinta bolpoin berwarna biru.
Aku hendak mengambil kertas dalam amplop pelangi itu jika saja guru Biologi ku tidak datang. Aku pun menutup kembali amplopnya, dan duduk berdampingan dengan teman sebangku ku –Byun Baekhyun− untuk mendengarkan pelajaran Biologi hari ini.
Beberapa kali aku sempat melirik ke arah luar kelas. Tak sekali pula Park Chanyeol melewati depan ruang kelasku sembari melirikku. Jujur, itu benar-benar mengangguku.
“Sir, I’m sorry. Bolehkah aku izin untuk ke kamar kecil?” aku berdiri dan mengacungkan tanganku untuk meminta izin pada guru mata pelajaran Biologi ku.
“Baiklah. Maksimal 10 menit, ya,” jawab guru Biologi ku. Aku menganggukkan kepala padanya sambil berjalan ke luar kelas.
Aku akan menuruni tangga sebelum aku bertatapan dengan Park Chanyeol. Mantan kekasihku yang paling brengsek. Aku membuang muka. Berusaha untuk tidak menatapnya dan berjalan sedikit lebih cepat. Tapi ia memegang tanganku.
“Lepaskan,” ucapku sinis sambil menepis tangannya.
“Jangan lupa baca suratnya,” ia melepaskan tangannya dan aku pun langsung meninggalkannya untuk menuju kamar kecil.
Aku menutup pintu kamar kecil dengan terburu-buru. Bukan. Tidak. Aku tidak izin untuk buang air kecil. Aku hanya bosan dengan pelajaran Biologi dan merasa terganggu dengan lirikan Park Chanyeol setiap ia melewati kelasku.
Ed Sheeran – Photograph
“Puisi untuk Naeun.
Kerikil.”
Begitu tulisan yang tertera di awal surat yang kubaca.
Menelusuri derasnya aliran sungai.
Sesekali, melempari batu kerikil kepadanya.
Batu kerikil yang akan tenggelam tanpa bantuan.
Kerikil yang tak bisa hanyut.
Bekerja keras untuk menerjang derasnya air.
Bertahan sekuat tenaga akan tinjuan derasnya aliran.
Yang tak akan pernah berhenti bertahan melawan kerasnya arus.
Kerikil..
Hanyalah batuan kecil yang selalu ditendangi oleh seorang anak.
Hanyalah batuan kecil yang selalu membuat orang-orang tersandung.
Dan hanyalah batuan kecil yang tak pernah berguna bagi siapapun.
Aku menutup kembali kertas tersebut ketika puisi yang Chanyeol kirimkan padaku telah selesai kubaca. Aku membuka pintu kamar kecil. Dan berjalan kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran.
Aku duduk di bangku ku dan mulai melamun. Aku tak mengerti apa yang Chanyeol maksud dalam surat. Apakah ia merasa ia menjadi kerikil untuk sungai sepertiku? Tapi, kurasa itu tidak mungkin. Ia yang mencampakkan ku dulu.
FLASHBACK ON
Plak.
Suara tamparan itu masih terngiang jelas pada ingatanku. Pipiku memerah disertai air mata yang mengalir membanjiri dari sudut mata. Ya. Aku menangis. Bukan karena rasa sakit yang menimpa pipiku. Tetapi, ternyata ada lelaki setega itu pada wanita lemah seperti ku.
Baekhyun yang saat itu sedang bersama ku langsung mendekap dan memelukku. Aku tahu, ia pasti sama shock dan kagetnya seperti aku. Aku pun dengan sekuat tenagaku mulai berbicara. Berteriak tepat di depan wajahnya. Dengan air mata yang masih terus menerus mengalir. “KAU LELAKI BAJINGAN. LELAKI BRENGSEK. LELAKI BEJAT. TAMPAR AKU SEKALI LAGI JIKA KAU BERANI.”
Chanyeol mengangkat tangannya. Akan menamparku untuk kedua kalinya. Namun, sebelum lelaki lain memegang erat tangannya. Aku mendongakkan kepala melihat siapa lelaki itu. Ternyata, ia kakak kelasku. Wu Yifan.
“Baekhyun-ssi, antarkan perempuan itu pulang. Biarkan bajingan ini berdua bersama ku,” ucapnya tegas pada Baekhyun. Aku pun menurut dan Baekhyun mengantarkan ku pulang.
FLASHBACK OFF
I (Aku)
FLASHBACK ON
“Apa yang ini kau tonton?” tanya Chanyeol padaku ketika kita berdua sedang berada di sebuah bioskop.
“Bagaimana jika Hotel Transylvania 2?” jawab ku dan dibalas dengan anggukan dari Chanyeol sebagai balasan setuju.
“Ah, maaf, Tuan. Tapi tiket kami untuk film tersebut sudah sold out sejak satu jam yang lalu. Bersedia untuk menonton film lainnya?” itu jawaban dari penjaga kasir ketika Chanyeol memesan dua tiket untuk film Hotel Transylvania 2. Yah. Aku menghembuskan nafasku.
“Bagaimana jika Paranormal Activity?” tanya Chanyeol padaku ketika ia melihat ekspresi kecewa ku karena tiket film favorite ku telah sold out. Dan sedetik setelahnya, aku memukul lengannya sambil berseru, “jangan aneh-aneh. Kau tahu, aku penakut.”
Tetapi Chanyeol tak menggubrisku dan tetap memesan dua tiket untuk film Paranormal Activity. “Baiklah. Dua tiket untuk Paranormal Activity, ya, Nona.”
Aku mendekap pada Chanyeol. Menutup erat-erat mataku dengan kedua tanganku. Chanyeol tertawa geli melihatku. Aku memukul sekali lengannya.
“Maafkan aku, aku tidak tahu kau akan setakut ini,” Chanyeol merangkul ku dan membawa kepala ku pada dadanya. Aku mengangguk.
“Jangan tinggalkan aku sendirian, aku takut sendirian disini,” ucap ku polos ketika adegan menyeramkan memulai film tersebut.
“Tidak akan. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian dimanapun dan sampai kapanpun,” jawabnya sambil mencium pucuk kepala ku yang sedang ia dekap.
“Aku mencintaimu, Son Naeun,” lanjutnya. Aku pun membalasnya, “Aku juga mencintaimu, Park Chanyeol.”
FLASHBACK OFF
Aku menghembuskan nafas panjang ku ketika baru saja selesai mengingat semua yang kulakukan dengan Park Chanyeol.Aku Son Naeun. Sang pemilik cinta paling miris yang pernah kuketahui. Sedangkan Park Chanyeol, adalah mantan terbrengsek yang pernah aku kenal. Ia meninggalkan ku sehari setelah ia mengucapkan janji bahwa ia tak akan pernah meninggalkan ku. Ugh, sungguh menggelikan. Aku pun tak mengerti alasan ku mengapa aku tergila-gila padanya dahulu.
“Hello~” Baekhyun menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah tepat di depan wajahku setelah ia melihat ku melamun di ruang kantin.
“Eh? Maafkan aku. Ada apa?” tanya ku padanya.
“JADI SEJAK DARITADI AKU BERCERITA PADAMU TENTANG BANG MINAH KAKAK KELAS KITA, KAU TIDAK MENDENGARKAN KU, EOH?” teriakan Baekhyun menggema di seluruh ruangan. Siswa lainnya menengok ke arah kami berdua. Baekhyun yang sadar telah ditonton oleh semua siswa, akhirnya menahan malu.
“Jadi sejak daritadi aku bercerita, kau tak mendengarkan ku? Apa yang sedang kau fikirkan?” bisiknya padaku.
Aku melahap suapan terakhir makananku lalu menjawab, “maafkan aku. Park Chanyeol mengirimkan aku surat. Tadi pagi Choi Seunghyun menaruhnya di atas meja ku. Aku tak tahu apa inisiatif dirinya mengirimkan ku surat itu?”
“Surat? Apa isinya?” jawab Baekhyun sambil tergesa-gesa.
“Puisi,” aku mengambil amplop pelangi yang aku simpan di saku rok ku dan memberikannya pada Baekhyun. Ia membukanya dan membacanya.
Aku dan Baekhyun akan berjalan menaiki tangga menuju kelas sebelum Chanyeol bertatapan kembali padaku untuk kedua kalinya. Kali ini dia membuka suara.
“Tinggalkan aku dan Naeun disini berdua,” ucapnya jutek pada Baekhyun.
“Tetap disini, Baekhyun,” jawabku tak kalah jutek dengannya.
Chanyeol melirik Baekhyun sejenak. Ia melihat amplop yang harusnya ia berikan padaku sedang dibawa Baekhyun. Chanyeol merebut paksa amplop tersebut dan menarik tangan ku untuk mengikutinya turun ke bawah.
“Lepaskan aku,” aku menepis kuat tangannya tetapi ia malah semakin keras menahan tanganku.
Chanyeol membawa ku taman sekolah dan mendudukkan ku di bangku dekat air mancur.
“Ada perlu apa kau membawa ku kesini? Cepat katakan, aku muak melihatmu,” jawabku sinis sambil membuang muka.
“Kau sudah membaca surat itu, kan, sayang?” ia mencolek daguku.
“Hih. Tak punya harga diri,” aku berdiri dan meninggalkannya sendirian disana. Ia memanggilku berkali-kali. Aku tetap tak menggubrisnya.
Bruk.
Aku tak sengaja menabrak seseorang ketika berjalan di lobby untuk menghindar dari Chanyeol.
“Maaf, aku tak melihat jalan,” ucapku padanya sambil menundukkan kepala.
“Cepat kembali ke kelas dan hampiri teman mu, Baekhyun. Park Chanyeol di belakangmu,” ujarnya cuek. Aku kaget. Bagaimana ia mengerti jika aku sedang menghindar dari Chanyeol? Aku mendongakkan kepala. Itu Wu Yifan. Kakak kelas yang waktu itu menolongku.
Ah, aku tidak punya banyak waktu untuk mengenalkan siapa Wu Yifan padamu. Aku harus pergi sekarang.
“Ah, baiklah. Terimakasih telah memberitahu. Pulang sekolah tunggu aku di depan gerbang, akan kutraktir kau di kedai ice cream depan sekolah sebagai tanda permintaan maaf ku telah menabrakmu,” ucapku cepat sambil berlari pelan meninggalkan Yifan yang hanya tersenyum tak jelas padaku.
“Aku pesan satu porsi ice cream gelato dan satu porsi ice cream frozen yoghurt,” ujarku pada pelayan ketika aku dan Yifan sampai kedai ice cream depan sekolah sesuai janjiku tadi siang. Yifan yang kurasa memang terkenal cuek di sekolah hanya menunggu pesanan sampai sambil membaca buku. Aku duduk di hadapannya sambil membawa struk pembayaran.
“Tidak jadi membaca? Apa aku menggangumu?” ucapku ketika ia tiba-tiba menutup buku bacaannya.
“Ah, tidak juga. Jika bertemu denganmu, aku selalu teringat paska kau ditampar Park Chanyeol dahulu,” ia memajukan kursinya. “Ah, terimakasih,” lanjutnya ketika pesanan ice cream kami datang.
“Sudahlah, aku muak mengingatnya. Tapi, apakah waktu ketika aku diantar pulang oleh Baekhyun, kau menghajarnya?” aku menyendok ice cream pertamaku.
“Tidak. Aku bukan lelaki yang hobi dengan kekerasan. Aku hanya mengatakan padanya bahwa ia pecundang. Yang hanya berani menyakiti wanita. Apa bedanya ia dengan banci di luar sana?” aku memakan wafer di atas gelato ku sambil mendengarkannya berbicara.
“Terimakasih. Kau selalu ada di setiap aku butuh bantuan,” aku menatap matanya. Berharap ia juga. Tetapi, ia orang yang cuek. Tak suka berhadapan dengan wanita sepertiku.
“Sama-sama. Terimakasih telah mentraktirku ice cream ini. Sejujurnya aku tidak pernah tahu ada kedai ice cream di depan sekolah kita,” ia tertawa renyah. Hingga ice cream di mulutnya sedikit berceceran di ujung bibir.
Dan aku bukanlah wanita seromantis sinetron-sinetron di televisi yang akan menghapus bercak ice cream nya dengan tissue. Bukan. Itu bukan alasannya. Alasannya adalah, aku tak berani untuk berbuat semenantang itu.
Akhirnya pun aku hanya dapat berkata, “erm- maaf, tapi di sudut bibirmu ada ice cream.”
Ia menghapus bercak ice cream tersebut dengan ibu jarinya. “kau tidak berniat menghapusnya?” itu jawabnya. Aku yang tadinya sedang mengambil ice cream gelato terakhirku tiba-tiba menatapnya dengan membulatkan mataku. “Tidak. Aku hanya bercanda,” lanjutnya.
Fvck. Tidakkah ia mengerti bahwa jantung ku hampir saja meloncat keluar? Calm down, Naeun. Hatiku mulai berbicara. Aku menghela nafas dan kembali memakan ice cream gelato terakhirku.
Ya. Aku Son Naeun. Yang mulai perlahan-lahan jatuh cinta pada kakak kelas yang cuek, dingin, dan jutek. Wu Yifan. Dan ia bagaikan ice cream favorite ku. As cold as ice cream, but still as sweet. Wu Yifan adalah ice cream favorite ku.
End (Akhir)
FLASHBACK ON
“Ada pertandingan basket bulan depan, aku ingin kau melihat dan mendukungku,” Chanyeol membuka suara setelah sekitar 10 menit keheningan terjadi di antara kami di dalam mobil. Aku yang sedang melihat jalanan melalui jendela seketika menghadap ke arahnya.
“Pertandingan basket?” aku memincingkan mataku. Ia mengangguk.
“Aku tidak tertarik melihat pertandingan semacam itu. Tapi, akan kuusahakan demi untukmu,” lanjutku. Ia tersenyum manis padaku sambil memegang erat tanganku.
“Aku akan berusaha untuk mendapatkan three point shoot, dan mendapatkannya hanya untukmu,” aku mengangguk mengerti. Lalu menggeser duduk ku berdekatan dengannya dan menyandarkan kepalaku pada bahunya.
FLASHBACK OFF
Sekarang aku ada disini. Di gedung pertandingan basket untuk menempati janjiku untuk melihatnya. Tetapi, hanya melihatnya. Bukan untuk mendukungnya. Sayangnya kali ini aku mendukung jagoanku. Ice cream favorite ku. Walaupun Chanyeol dan Yifan sama-sama berusaha untuk kemenangan sekolahanku, tapi aku tidak berharap Chanyeol mendapatkan three point shoot untukku.
“Chanyeol Park! Three point!” ucap sang wasit ketika Chanyeol memasukkan bola basket ke dalam ring dari jarak tiga pt. Teriakan dan sorakan dari penggemar wanita-wanitanya terdengar bising.
Geez.
Tuhan tidak mengabulkan doaku. Chanyeol dan tim nya terlihat saling berpelukan melihat Chanyeol mendapatkan three point shoot yang dapat membuat tim nya aman dan memiliki banyak peluang untuk menang. Tak lupa pula Yifan. Ia turut bahagia atas three point shoot yang ditembakkan oleh Chanyeol.
Chanyeol menengadahkan kepala menatap ke arah ku sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum. Bukan tersenyum padanya. Tetapi, pada lelaki jangkung di belakangnya. Wu Yifan.
FLASHBACK ON
“Apa nanti pulang sekolah kau ada acara?” Yifan mengangetkan ku ketika aku dan Baekhyun sedang berjalan menuju kantin.
“Apa nanti kita pulang sekolah ada kerja kelompok?” tanyaku pada Baekhyun. Dan ia menggelengkan kepalanya.
“Ah, tidak. Ada apa?” aku menjawab pertanyaan dari Yifan untukku.
“Bisakah kau menemaniku mengunjungi kedai ice cream yang saat itu kau mengajakku untuk makan disana?”
“Kedai ice cream depan sekolah?” aku memincingkan mataku. Yifan mengangguk.
“Baiklah. Nanti kau pulang sekolah dengan Minah saja, ya, Baek,” ujarku pada Baekhyun yang kurasa sudah kelaparan dan ingin segera mengunjungi kantin.
“Aye, Captain!” jawabnya sambil menaruh kelima jarinya di alis sebagai tanda hormat. Kami pun pergi melanjutkan perjalanan kami menuju kantin setelah Yifan pamit untuk pergi masuk ke kelasnya.
Ariana Grande ft. Nathan Sykes – Almost Is Never Enough
“Kau mau pesan apa? Gelato lagi?” tanya Yifan ketika kami sampai di kedai ice cream. Aku menggelengkan kepala.
“Pesankan aku sama denganmu saja,” jawabku. Yifan mengangguk sambil menatap ke arah ku dengan tatapan -baiklah-.
Ia kembali ke tempat duduk setelah membayar ice cream. Ia menaruh gadget ku ketika aku sedang sibuk bermain gadget. Aku menatapnya dengan kebingungan, “ada apa, hm? Itu handphone ku.”
“Sekarang aku sedang serius. Tolong dengarkan aku,” ucapnya.
“Baiklah,” jawabku.
“Aku ingin kau menjadi kekasihku,” sedetik setelahnya aku membelalakkan mata. Apakah ia sedang bercanda? Tuhan, tolong aku. Normalkan lah detak jantungku.
“Terimakasih,” ia mengucapkan terimakasih kepada pelayan ketika pesanan ice cream kami datang. Dan aku, masih dengan muka idiot ku kebingungan dengan pertanyaannya.
“Ini ice cream mu,” ia menggeser ice cream ku tepat di depan ku. “Ambilah sesendok,” aku pun menurut. “Suapi aku jika kau menerimaku. Namun, kembalikan ice cream itu padaku jika kau menolakku,” lanjutnya.
Deg.
Deg.
Deg.
Oh, my God.
Perlahan, aku mengangkat gelas ice cream ku. Mencoba untuk angkat bicara. Dan dengan gugupnya, aku berkata, “aku menerima mu,” dan menyuapinya dengan sesendok ice cream ku.
Ia tersenyum, dan membuka mulutnya untuk menerima sesuap ice cream dari sendok yang kubawa.
“Terimakasih. Aku mencintaimu, Son Naeun.”
“Aku mencintaimu lebih, Wu Yifan.”
FLASBACK OFF
Ya. Begitulah akhir cerita cintaku. Aku yang mencintai Wu Yifan. Dan Wu Yifan yang juga mencintaiku. Sedangkan Park Chanyeol yang masih tetap mengejarku, memintaku untuk menjadi kekasihnya kembali.
Diary
Dear Diary,
Aku Son Naeun.
Si wanita lemah yang mencintai seorang lelaki dingin.
Si wanita cengeng yang memiliki kisah cinta menyedihkan.
Dan aku menyukai ice cream. Sangat menyukai ice cream.
Ice cream gelato.
Ice cream sorbet.
Ice cream sherbet.
Ice cream frozen yoghurt.
Ice cream sandwich.
Ice cream matcha.
Ice cream mochi.
Ice cream kulfi.
Dan masih banyak ice cream lagi yang aku sukai.
Tetapi, aku memiliki ice cream favorite ku sendiri.
Wu Yifan.
Sifatnya yang dingin, kadang membuatku kesal.
Tetapi, sifat lembutnya, sering membuatku luluh.
Wajahnya yang manis pula yang membuatku memberikan julukan ice cream pada dirinya.
Seandainya, siapapun menemukan diary ini,
Aku hanya ingin bercerita,
Tentang siapa Wu Yifan.
Bukan tentang siapa Park Chanyeol.
Wu Yifan.
Kakak kelas yang menolongku ketika Park Chanyeol menamparku.
Kakak kelas yang menabrakku ketika aku dikejar-kejar oleh Park Chanyeol.
Dan kakak kelas yang membuat ku tersenyum di pertandingan basket ketika Park Chanyeol tersenyum padaku.
Terimakasih atas segalanya, Wu Yifan.
Aku mencintaimu.
Sangat mencintaimu.
Sejak kemarin.
Hingga sekarang.
Dan sampai selamanya.
Son Naeun.
Author : Chasey (@bbhynx)
Cast : Park Chanyeol, Son Naeun, dan Wu Yifan
Genre : School life, Drama, Sad, Romance
Length : Oneshoot
Rating : T
Summary : “As cold as ice cream, but still as sweet.”
Letter (Surat)
Aku menaiki anak tangga satu demi satu agar mencapai lantai ketiga di sekolah ku ini. Teman-teman ku seperti biasa selalu datang lebih pagi dariku. Entah mengerjakan tugas rumah, atau sarapan di kantin, ada pula yang bermain alat music dan bernyanyi bersama di depan kelas.
Aku masuk ke dalam kelas dan akan duduk di bangku ku sebelum aku menemukan sepucuk amplop berwarna rainbow di atas mejaku. Aku melihat ke arah sekelilingku. Mungkin ini punya temanku yang sengaja ia letakkan di atas mejaku.
“Hey, ini punya kalian?” aku berteriak kepada seluruh isi kelas. Semua menengok ke arah ku.
“Park Chanyeol. Dari kelas seberang yang menitipkannya padaku. Dia bilang, tolong berikan surat ini di atas mejamu,” ketua kelasku −Choi Seunghyun− berdiri dari bangkunya dan menjawab pertanyaanku.
Aku mengangguk pelan padanya sambil masih menatap ke arah amplop yang sekarang sedang kugenggam. “baiklah, terimakasih Seunghyun-ssi,” ucapku pada ketua kelasku sambil tersenyum.
Perlahan, aku membuka lipatan amplop tersebut. Terdapat tulisan “Dear, Son Naeun.” dengan tinta bolpoin berwarna biru.
Aku hendak mengambil kertas dalam amplop pelangi itu jika saja guru Biologi ku tidak datang. Aku pun menutup kembali amplopnya, dan duduk berdampingan dengan teman sebangku ku –Byun Baekhyun− untuk mendengarkan pelajaran Biologi hari ini.
Beberapa kali aku sempat melirik ke arah luar kelas. Tak sekali pula Park Chanyeol melewati depan ruang kelasku sembari melirikku. Jujur, itu benar-benar mengangguku.
“Sir, I’m sorry. Bolehkah aku izin untuk ke kamar kecil?” aku berdiri dan mengacungkan tanganku untuk meminta izin pada guru mata pelajaran Biologi ku.
“Baiklah. Maksimal 10 menit, ya,” jawab guru Biologi ku. Aku menganggukkan kepala padanya sambil berjalan ke luar kelas.
Aku akan menuruni tangga sebelum aku bertatapan dengan Park Chanyeol. Mantan kekasihku yang paling brengsek. Aku membuang muka. Berusaha untuk tidak menatapnya dan berjalan sedikit lebih cepat. Tapi ia memegang tanganku.
“Lepaskan,” ucapku sinis sambil menepis tangannya.
“Jangan lupa baca suratnya,” ia melepaskan tangannya dan aku pun langsung meninggalkannya untuk menuju kamar kecil.
Aku menutup pintu kamar kecil dengan terburu-buru. Bukan. Tidak. Aku tidak izin untuk buang air kecil. Aku hanya bosan dengan pelajaran Biologi dan merasa terganggu dengan lirikan Park Chanyeol setiap ia melewati kelasku.
Ed Sheeran – Photograph
“Puisi untuk Naeun.
Kerikil.”
Begitu tulisan yang tertera di awal surat yang kubaca.
Menelusuri derasnya aliran sungai.
Sesekali, melempari batu kerikil kepadanya.
Batu kerikil yang akan tenggelam tanpa bantuan.
Kerikil yang tak bisa hanyut.
Bekerja keras untuk menerjang derasnya air.
Bertahan sekuat tenaga akan tinjuan derasnya aliran.
Yang tak akan pernah berhenti bertahan melawan kerasnya arus.
Kerikil..
Hanyalah batuan kecil yang selalu ditendangi oleh seorang anak.
Hanyalah batuan kecil yang selalu membuat orang-orang tersandung.
Dan hanyalah batuan kecil yang tak pernah berguna bagi siapapun.
Aku menutup kembali kertas tersebut ketika puisi yang Chanyeol kirimkan padaku telah selesai kubaca. Aku membuka pintu kamar kecil. Dan berjalan kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran.
Aku duduk di bangku ku dan mulai melamun. Aku tak mengerti apa yang Chanyeol maksud dalam surat. Apakah ia merasa ia menjadi kerikil untuk sungai sepertiku? Tapi, kurasa itu tidak mungkin. Ia yang mencampakkan ku dulu.
FLASHBACK ON
Plak.
Suara tamparan itu masih terngiang jelas pada ingatanku. Pipiku memerah disertai air mata yang mengalir membanjiri dari sudut mata. Ya. Aku menangis. Bukan karena rasa sakit yang menimpa pipiku. Tetapi, ternyata ada lelaki setega itu pada wanita lemah seperti ku.
Baekhyun yang saat itu sedang bersama ku langsung mendekap dan memelukku. Aku tahu, ia pasti sama shock dan kagetnya seperti aku. Aku pun dengan sekuat tenagaku mulai berbicara. Berteriak tepat di depan wajahnya. Dengan air mata yang masih terus menerus mengalir. “KAU LELAKI BAJINGAN. LELAKI BRENGSEK. LELAKI BEJAT. TAMPAR AKU SEKALI LAGI JIKA KAU BERANI.”
Chanyeol mengangkat tangannya. Akan menamparku untuk kedua kalinya. Namun, sebelum lelaki lain memegang erat tangannya. Aku mendongakkan kepala melihat siapa lelaki itu. Ternyata, ia kakak kelasku. Wu Yifan.
“Baekhyun-ssi, antarkan perempuan itu pulang. Biarkan bajingan ini berdua bersama ku,” ucapnya tegas pada Baekhyun. Aku pun menurut dan Baekhyun mengantarkan ku pulang.
FLASHBACK OFF
I (Aku)
FLASHBACK ON
“Apa yang ini kau tonton?” tanya Chanyeol padaku ketika kita berdua sedang berada di sebuah bioskop.
“Bagaimana jika Hotel Transylvania 2?” jawab ku dan dibalas dengan anggukan dari Chanyeol sebagai balasan setuju.
“Ah, maaf, Tuan. Tapi tiket kami untuk film tersebut sudah sold out sejak satu jam yang lalu. Bersedia untuk menonton film lainnya?” itu jawaban dari penjaga kasir ketika Chanyeol memesan dua tiket untuk film Hotel Transylvania 2. Yah. Aku menghembuskan nafasku.
“Bagaimana jika Paranormal Activity?” tanya Chanyeol padaku ketika ia melihat ekspresi kecewa ku karena tiket film favorite ku telah sold out. Dan sedetik setelahnya, aku memukul lengannya sambil berseru, “jangan aneh-aneh. Kau tahu, aku penakut.”
Tetapi Chanyeol tak menggubrisku dan tetap memesan dua tiket untuk film Paranormal Activity. “Baiklah. Dua tiket untuk Paranormal Activity, ya, Nona.”
Aku mendekap pada Chanyeol. Menutup erat-erat mataku dengan kedua tanganku. Chanyeol tertawa geli melihatku. Aku memukul sekali lengannya.
“Maafkan aku, aku tidak tahu kau akan setakut ini,” Chanyeol merangkul ku dan membawa kepala ku pada dadanya. Aku mengangguk.
“Jangan tinggalkan aku sendirian, aku takut sendirian disini,” ucap ku polos ketika adegan menyeramkan memulai film tersebut.
“Tidak akan. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian dimanapun dan sampai kapanpun,” jawabnya sambil mencium pucuk kepala ku yang sedang ia dekap.
“Aku mencintaimu, Son Naeun,” lanjutnya. Aku pun membalasnya, “Aku juga mencintaimu, Park Chanyeol.”
FLASHBACK OFF
Aku menghembuskan nafas panjang ku ketika baru saja selesai mengingat semua yang kulakukan dengan Park Chanyeol.Aku Son Naeun. Sang pemilik cinta paling miris yang pernah kuketahui. Sedangkan Park Chanyeol, adalah mantan terbrengsek yang pernah aku kenal. Ia meninggalkan ku sehari setelah ia mengucapkan janji bahwa ia tak akan pernah meninggalkan ku. Ugh, sungguh menggelikan. Aku pun tak mengerti alasan ku mengapa aku tergila-gila padanya dahulu.
“Hello~” Baekhyun menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah tepat di depan wajahku setelah ia melihat ku melamun di ruang kantin.
“Eh? Maafkan aku. Ada apa?” tanya ku padanya.
“JADI SEJAK DARITADI AKU BERCERITA PADAMU TENTANG BANG MINAH KAKAK KELAS KITA, KAU TIDAK MENDENGARKAN KU, EOH?” teriakan Baekhyun menggema di seluruh ruangan. Siswa lainnya menengok ke arah kami berdua. Baekhyun yang sadar telah ditonton oleh semua siswa, akhirnya menahan malu.
“Jadi sejak daritadi aku bercerita, kau tak mendengarkan ku? Apa yang sedang kau fikirkan?” bisiknya padaku.
Aku melahap suapan terakhir makananku lalu menjawab, “maafkan aku. Park Chanyeol mengirimkan aku surat. Tadi pagi Choi Seunghyun menaruhnya di atas meja ku. Aku tak tahu apa inisiatif dirinya mengirimkan ku surat itu?”
“Surat? Apa isinya?” jawab Baekhyun sambil tergesa-gesa.
“Puisi,” aku mengambil amplop pelangi yang aku simpan di saku rok ku dan memberikannya pada Baekhyun. Ia membukanya dan membacanya.
Aku dan Baekhyun akan berjalan menaiki tangga menuju kelas sebelum Chanyeol bertatapan kembali padaku untuk kedua kalinya. Kali ini dia membuka suara.
“Tinggalkan aku dan Naeun disini berdua,” ucapnya jutek pada Baekhyun.
“Tetap disini, Baekhyun,” jawabku tak kalah jutek dengannya.
Chanyeol melirik Baekhyun sejenak. Ia melihat amplop yang harusnya ia berikan padaku sedang dibawa Baekhyun. Chanyeol merebut paksa amplop tersebut dan menarik tangan ku untuk mengikutinya turun ke bawah.
“Lepaskan aku,” aku menepis kuat tangannya tetapi ia malah semakin keras menahan tanganku.
Chanyeol membawa ku taman sekolah dan mendudukkan ku di bangku dekat air mancur.
“Ada perlu apa kau membawa ku kesini? Cepat katakan, aku muak melihatmu,” jawabku sinis sambil membuang muka.
“Kau sudah membaca surat itu, kan, sayang?” ia mencolek daguku.
“Hih. Tak punya harga diri,” aku berdiri dan meninggalkannya sendirian disana. Ia memanggilku berkali-kali. Aku tetap tak menggubrisnya.
Bruk.
Aku tak sengaja menabrak seseorang ketika berjalan di lobby untuk menghindar dari Chanyeol.
“Maaf, aku tak melihat jalan,” ucapku padanya sambil menundukkan kepala.
“Cepat kembali ke kelas dan hampiri teman mu, Baekhyun. Park Chanyeol di belakangmu,” ujarnya cuek. Aku kaget. Bagaimana ia mengerti jika aku sedang menghindar dari Chanyeol? Aku mendongakkan kepala. Itu Wu Yifan. Kakak kelas yang waktu itu menolongku.
Ah, aku tidak punya banyak waktu untuk mengenalkan siapa Wu Yifan padamu. Aku harus pergi sekarang.
“Ah, baiklah. Terimakasih telah memberitahu. Pulang sekolah tunggu aku di depan gerbang, akan kutraktir kau di kedai ice cream depan sekolah sebagai tanda permintaan maaf ku telah menabrakmu,” ucapku cepat sambil berlari pelan meninggalkan Yifan yang hanya tersenyum tak jelas padaku.
“Aku pesan satu porsi ice cream gelato dan satu porsi ice cream frozen yoghurt,” ujarku pada pelayan ketika aku dan Yifan sampai kedai ice cream depan sekolah sesuai janjiku tadi siang. Yifan yang kurasa memang terkenal cuek di sekolah hanya menunggu pesanan sampai sambil membaca buku. Aku duduk di hadapannya sambil membawa struk pembayaran.
“Tidak jadi membaca? Apa aku menggangumu?” ucapku ketika ia tiba-tiba menutup buku bacaannya.
“Ah, tidak juga. Jika bertemu denganmu, aku selalu teringat paska kau ditampar Park Chanyeol dahulu,” ia memajukan kursinya. “Ah, terimakasih,” lanjutnya ketika pesanan ice cream kami datang.
“Sudahlah, aku muak mengingatnya. Tapi, apakah waktu ketika aku diantar pulang oleh Baekhyun, kau menghajarnya?” aku menyendok ice cream pertamaku.
“Tidak. Aku bukan lelaki yang hobi dengan kekerasan. Aku hanya mengatakan padanya bahwa ia pecundang. Yang hanya berani menyakiti wanita. Apa bedanya ia dengan banci di luar sana?” aku memakan wafer di atas gelato ku sambil mendengarkannya berbicara.
“Terimakasih. Kau selalu ada di setiap aku butuh bantuan,” aku menatap matanya. Berharap ia juga. Tetapi, ia orang yang cuek. Tak suka berhadapan dengan wanita sepertiku.
“Sama-sama. Terimakasih telah mentraktirku ice cream ini. Sejujurnya aku tidak pernah tahu ada kedai ice cream di depan sekolah kita,” ia tertawa renyah. Hingga ice cream di mulutnya sedikit berceceran di ujung bibir.
Dan aku bukanlah wanita seromantis sinetron-sinetron di televisi yang akan menghapus bercak ice cream nya dengan tissue. Bukan. Itu bukan alasannya. Alasannya adalah, aku tak berani untuk berbuat semenantang itu.
Akhirnya pun aku hanya dapat berkata, “erm- maaf, tapi di sudut bibirmu ada ice cream.”
Ia menghapus bercak ice cream tersebut dengan ibu jarinya. “kau tidak berniat menghapusnya?” itu jawabnya. Aku yang tadinya sedang mengambil ice cream gelato terakhirku tiba-tiba menatapnya dengan membulatkan mataku. “Tidak. Aku hanya bercanda,” lanjutnya.
Fvck. Tidakkah ia mengerti bahwa jantung ku hampir saja meloncat keluar? Calm down, Naeun. Hatiku mulai berbicara. Aku menghela nafas dan kembali memakan ice cream gelato terakhirku.
Ya. Aku Son Naeun. Yang mulai perlahan-lahan jatuh cinta pada kakak kelas yang cuek, dingin, dan jutek. Wu Yifan. Dan ia bagaikan ice cream favorite ku. As cold as ice cream, but still as sweet. Wu Yifan adalah ice cream favorite ku.
End (Akhir)
FLASHBACK ON
“Ada pertandingan basket bulan depan, aku ingin kau melihat dan mendukungku,” Chanyeol membuka suara setelah sekitar 10 menit keheningan terjadi di antara kami di dalam mobil. Aku yang sedang melihat jalanan melalui jendela seketika menghadap ke arahnya.
“Pertandingan basket?” aku memincingkan mataku. Ia mengangguk.
“Aku tidak tertarik melihat pertandingan semacam itu. Tapi, akan kuusahakan demi untukmu,” lanjutku. Ia tersenyum manis padaku sambil memegang erat tanganku.
“Aku akan berusaha untuk mendapatkan three point shoot, dan mendapatkannya hanya untukmu,” aku mengangguk mengerti. Lalu menggeser duduk ku berdekatan dengannya dan menyandarkan kepalaku pada bahunya.
FLASHBACK OFF
Sekarang aku ada disini. Di gedung pertandingan basket untuk menempati janjiku untuk melihatnya. Tetapi, hanya melihatnya. Bukan untuk mendukungnya. Sayangnya kali ini aku mendukung jagoanku. Ice cream favorite ku. Walaupun Chanyeol dan Yifan sama-sama berusaha untuk kemenangan sekolahanku, tapi aku tidak berharap Chanyeol mendapatkan three point shoot untukku.
“Chanyeol Park! Three point!” ucap sang wasit ketika Chanyeol memasukkan bola basket ke dalam ring dari jarak tiga pt. Teriakan dan sorakan dari penggemar wanita-wanitanya terdengar bising.
Geez.
Tuhan tidak mengabulkan doaku. Chanyeol dan tim nya terlihat saling berpelukan melihat Chanyeol mendapatkan three point shoot yang dapat membuat tim nya aman dan memiliki banyak peluang untuk menang. Tak lupa pula Yifan. Ia turut bahagia atas three point shoot yang ditembakkan oleh Chanyeol.
Chanyeol menengadahkan kepala menatap ke arah ku sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum. Bukan tersenyum padanya. Tetapi, pada lelaki jangkung di belakangnya. Wu Yifan.
FLASHBACK ON
“Apa nanti pulang sekolah kau ada acara?” Yifan mengangetkan ku ketika aku dan Baekhyun sedang berjalan menuju kantin.
“Apa nanti kita pulang sekolah ada kerja kelompok?” tanyaku pada Baekhyun. Dan ia menggelengkan kepalanya.
“Ah, tidak. Ada apa?” aku menjawab pertanyaan dari Yifan untukku.
“Bisakah kau menemaniku mengunjungi kedai ice cream yang saat itu kau mengajakku untuk makan disana?”
“Kedai ice cream depan sekolah?” aku memincingkan mataku. Yifan mengangguk.
“Baiklah. Nanti kau pulang sekolah dengan Minah saja, ya, Baek,” ujarku pada Baekhyun yang kurasa sudah kelaparan dan ingin segera mengunjungi kantin.
“Aye, Captain!” jawabnya sambil menaruh kelima jarinya di alis sebagai tanda hormat. Kami pun pergi melanjutkan perjalanan kami menuju kantin setelah Yifan pamit untuk pergi masuk ke kelasnya.
Ariana Grande ft. Nathan Sykes – Almost Is Never Enough
“Kau mau pesan apa? Gelato lagi?” tanya Yifan ketika kami sampai di kedai ice cream. Aku menggelengkan kepala.
“Pesankan aku sama denganmu saja,” jawabku. Yifan mengangguk sambil menatap ke arah ku dengan tatapan -baiklah-.
Ia kembali ke tempat duduk setelah membayar ice cream. Ia menaruh gadget ku ketika aku sedang sibuk bermain gadget. Aku menatapnya dengan kebingungan, “ada apa, hm? Itu handphone ku.”
“Sekarang aku sedang serius. Tolong dengarkan aku,” ucapnya.
“Baiklah,” jawabku.
“Aku ingin kau menjadi kekasihku,” sedetik setelahnya aku membelalakkan mata. Apakah ia sedang bercanda? Tuhan, tolong aku. Normalkan lah detak jantungku.
“Terimakasih,” ia mengucapkan terimakasih kepada pelayan ketika pesanan ice cream kami datang. Dan aku, masih dengan muka idiot ku kebingungan dengan pertanyaannya.
“Ini ice cream mu,” ia menggeser ice cream ku tepat di depan ku. “Ambilah sesendok,” aku pun menurut. “Suapi aku jika kau menerimaku. Namun, kembalikan ice cream itu padaku jika kau menolakku,” lanjutnya.
Deg.
Deg.
Deg.
Oh, my God.
Perlahan, aku mengangkat gelas ice cream ku. Mencoba untuk angkat bicara. Dan dengan gugupnya, aku berkata, “aku menerima mu,” dan menyuapinya dengan sesendok ice cream ku.
Ia tersenyum, dan membuka mulutnya untuk menerima sesuap ice cream dari sendok yang kubawa.
“Terimakasih. Aku mencintaimu, Son Naeun.”
“Aku mencintaimu lebih, Wu Yifan.”
FLASBACK OFF
Ya. Begitulah akhir cerita cintaku. Aku yang mencintai Wu Yifan. Dan Wu Yifan yang juga mencintaiku. Sedangkan Park Chanyeol yang masih tetap mengejarku, memintaku untuk menjadi kekasihnya kembali.
Diary
Dear Diary,
Aku Son Naeun.
Si wanita lemah yang mencintai seorang lelaki dingin.
Si wanita cengeng yang memiliki kisah cinta menyedihkan.
Dan aku menyukai ice cream. Sangat menyukai ice cream.
Ice cream gelato.
Ice cream sorbet.
Ice cream sherbet.
Ice cream frozen yoghurt.
Ice cream sandwich.
Ice cream matcha.
Ice cream mochi.
Ice cream kulfi.
Dan masih banyak ice cream lagi yang aku sukai.
Tetapi, aku memiliki ice cream favorite ku sendiri.
Wu Yifan.
Sifatnya yang dingin, kadang membuatku kesal.
Tetapi, sifat lembutnya, sering membuatku luluh.
Wajahnya yang manis pula yang membuatku memberikan julukan ice cream pada dirinya.
Seandainya, siapapun menemukan diary ini,
Aku hanya ingin bercerita,
Tentang siapa Wu Yifan.
Bukan tentang siapa Park Chanyeol.
Wu Yifan.
Kakak kelas yang menolongku ketika Park Chanyeol menamparku.
Kakak kelas yang menabrakku ketika aku dikejar-kejar oleh Park Chanyeol.
Dan kakak kelas yang membuat ku tersenyum di pertandingan basket ketika Park Chanyeol tersenyum padaku.
Terimakasih atas segalanya, Wu Yifan.
Aku mencintaimu.
Sangat mencintaimu.
Sejak kemarin.
Hingga sekarang.
Dan sampai selamanya.
Son Naeun.