FUR ELISE
Storyline by Lachaille (@khyunaa_92)
Cast(s) : Naeun, Chanyeol|| Genre : Sad Romance ||
Lenght : Vignette
Summary :
Cinta tidak pernah menuntut, cinta selalu memberi
Cinta selalu menderita, tanpa pernah menatap, tanpa pernah mendendam
P
Alunan piano yang menggema di penjuru ruangan latihan terdengar begitu merdu. Jemarinya yang begitu lincah menari-nari diatas tuts piano. Kepalanya tanpa sadar bergerak mengikuti setiap alunan nada dari tuts piano.
Aku. Aku hanya bisa menatapanya dari jauh. Seperti biasanya hanya bisa menontonnya dari kursi penonton. Menggagumi setiap permainan indahnya.
Dia. Pria yang diam-siam kusuka sejak dua tahun yang lalu karena sebuah pertemuan yang konyol menatapku dan menyungingkan senyuman tipisnya padaku setelah mendengar suara tepuk tanganku karena permainan pianonya.
“Kau tetap menggangumkan,” pujiku sambil berjalan menaiki tangga panggung yang akan dia gunakan untuk konser pianonya.
Dia tersenyum. Senyuman yang selalu membuat hatiku menghangat. “Terimakasih. Apa yang kau lakukan disini?”
“Hanya mampir kemari. Aku ingat jika kau ada latihan hari ini,” jawabku yang duduk di samping kursinya saat dia menggeser sedikit untukku.
Dia hanya tertawa mendengar jawabanku. “Jangan berbohong!”
“Tidak,” sergahku cepat sambil menatapnya. Ya Tuhan! Apa dia tahu jika aku sengaja datang kemari?
“Baiklah,” ujarnya sambil menekan tuts pianonya dengan jari telunjuk kanannya. “Lagu apa yang ingin kau dengar?”
“Lagu?” ulangku tak menggerti. Kenapa dia menanyakan itu? Dia tak bisanya bertanya seperti itu padaku.
“Lagu. Aku sering memutar lagu Fur Elise,” jawabku yang kemudian menatapnya yang berhenti bermain tuts piano. “Kau baik-baik saja?”
“Ya,” jawabnya sambil memberikan senyuman itu. Senyuman palsunya yang selalu berhasil membuatku sakit. “Aku akan memainkannya untukmu,”
“Kau sudah selesai latihan?”
“Tenang saja,” jawabnya renyah yang kemudian mulai menarikan jemari lincahnya diatas tuts piano.
Aku hanya bisa diam menikmati –lagi permainan pianonya. Oh Tuhan, aku bisa-bisa semakin jatuh cinta padanya hanya karena permainan pianonya. Tanpa sadar aku memjamkan mata menikamti setiap tekanan tuts piano itu.
“Kau menikmatinya,” ujarnya yang menyadarkanku. Kutatap dia dengan malu. Oh, apa aku terlihat memalukan?
“Ah, ya. Seperti kataku tadi, ‘permaianmu selalu menggagumkan’,” sanggahku yang tak berani menatapnya karena malu. Aku hanya menunduk menatap jemariku yang saling bertautan di atas pangkuanku.
“Kau tahu kisah dari balik lagu Fur Elise?” tanyanya. Aku menatapnya, nada suaranya berubah. Menyedihkan.
“Tidak banyak. Lagu ini tentang sebuah patah hati,” jawabku yang terus menagamati setiap perubahan ekspresi wajahnya.
Chanyeol tertawa mendengar jawabanku. Dia berdeham sebentar sebelum berbicara, “Ehem, Ya. Inti dari lagunya adalah seperti itu. Tapi, kisah sebenarnya bukan sesederhana itu,” ujarnya.
“Mau menceritakannya padaku?” pintaku dengan nada bercanda untuknya.
Dia tertawa mendengar permintaanku, “Tentu saja,” jawabnya renyah. Dia menggeser tubuhnya dan menghadapku. Menatapku. “Judul asli lagu Fur Elise adalah Bagatelle in A minor woO 95. Jika kau tak percaya kau bisa melihatnya di partitur aslinya,”
“Oh, kau tahu bukan, aku tidak minat tentang musik. Aku hanya penikmat lagu saja,” komentarku dan dibalas dengan suara tawa gelinya padaku.
“Ya, aku tahu itu. Dan sebenarnya namanya bukan Fur Elise tapi Fur Therese. Karena tulisan Beethoven yang buruk, orang-orang membacanya Fur Elise. Itu menurut para ilmuwan yang menelitinya,” ujar Chanyeol yang kemudian memainkan kembali lagu Fur Elise.
“Lalu?” tanyaku yang mulai tertarik. Kubenahkan tempatku untuk menghadapnya,
“Fur Therese diciptakan Beeethoven karena Therese –wanita yang dicintainya, menikah dengan pria lain sebelum dia sempat menyatakan cintanya,” cerita Chanyeol.
“Siapa Therese?”
“Therese Malfatti von Rohrenbach zu Dezza seoarng putri dari saudagar dari Wina,” jawab Chanyeol.
“Apa yang terjadi pada Beethoven setelah Therese menikah dengan pria lain?”
“Well, dia membuat lagu cinta untuk Therese dan dia tidak pernah menikah dengan pria lain hingga dia meninggal,”
“Beruntung sekali cinta untuk Therese,” komentarku. “Aku iri dengan cinta yang diberikan Beethoven untuk Therese,”
“Benarkah?”
“Ya,”
“Kau tahu? Melodi pembuka Fur Elise yang terkenal menjadi petunjuk inisial wanita yang dicintai Beethoven. Melodinya dimulai dengan nada E – D# - E, atau enharmoninya E – E v – E, dibaca E – Es –E, huruf yang menjadi nada lagu dari nama ThErESE atau bahkan EliSE,” cerita Chanyeol panjang lebar.
Aku hanya tertawa kecil dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Oh, aku benci jika berbicara tentang nada lagu atau apapun itu namanya. Aku tidak mengerti. Tolong garis bawahi jika aku benci berbicara tentang nada dan semacamnya itu.
“Tak perlu menggerti,” ucap Chanyeol yang menggerti arti dari tindakanku.
“Lagu Fur Elise dimulai dengan nada-nada yang lembut, mengalun, melenakan di bagian pertama kemudian terpecah menjadi progresi yang mengejutkan dan tak terduga di bagian kedua dan ketiga,” ujar Chanyeol.
“Sama seperti seperti cinta, bukan?” tanyaku lirih. Kutekan tuts piano itu satu persatu dengan jari telunjukku. “Lembut. Mengalun indah. Melenakan. Dan pada akhirnya menggejutkan kita dan tak terduga hingga membuatku kita kebingungan,” lanjutku seperti sebuah bisikan pada diirku sendiri.
“Ya. Kau benar. Perasaan cinta Beethoven yang sepertinya mewakili perasaan cinta semua orang,” ujar Chanyeol yang menyetujui perkataanku.
“Apa kau pernah merasakan itu?” tanyaku penasaran. Kutatap wajahnya. Dia diam saja, tak menjawab pertanyaanku itu. Apa itu sangat privasi untukmu?
“Tentu saja. Semua orang pasti pernah merasakan itu,” jawabnya setelah cukup lama terdiam. Dia menatapku dan tersenyum. Senyuman palsu itu –lagi. Aku semakin membenci senyuman jika dia melakukan itu berulang kali kepadaku.
“Menyakitkan?”
“Tentu saja,”
“Aku tidak siap jika harus merasakan itu,” ucapku lirih.
“Apa kau sedang menyukai seseorang?” tanyanya yang kujawab dengan anggukan kecil. Aku tak berani membalas tatapannya padaku. Aku juga tak berniat menceritakan cintaku padanya jika orang yang kusukai adalah dia. Pria yang duduk disampingku. Pria yang sedang menatapku sekarang.
“Mau bercerita tentang orang yang kau sukai?”
“Dia... dia misterius, selalu membuatku tertarik untuk lebih dan lebih mengenalnya. Dia selalu tersenyum padaku tapi aku muak dengan senyumannya karena senyumannya itu adalah senyuman palsu yang membuat hatiku sakit. Dia baik hingga membuatku terlena dan semakin mencintainya. Apa aku terlihat bodoh?” tanyaku yang pada akhirnya kuberanikan untuk menatapnya lagi.
Dia tersenyum lag padaku, “Pria itu beruntung,” komentarnya singkat.
“Begitu beruntung?”
“Ya,” jawabnya yang kemudian membenarkan tubuhnya untuk menghadap pianonya. meluruskan kaki panjangnya dan mulai memainkan lagu lain –bukan Fur Elise lagi.
“Bachianas Brasileiras No. 5,” ujarnya saat melihatnya yang tak menggenal lagu yang dia alunkan.
“Aku pernah mencintai seorang gadis, sangat mencintainya,” ucapnya yang terus memainkan lagunya. Aku hanya bisa diam mendengarkan alunan lagunya dan sebuah cerita tentangnya. Tentang kisah cintanya pada seorang gadis beruntung itu.
“Dia sangat cantik. Dia juga suka bermain piano tapi dia lebih menyukai bermain gitar. Dia selalu tersenyum pada orang-orang. Semua yang ada didekatnya selalu merasa nyaman dengannya. Begitu juga denganku. Orang yang kaku dan dingin, dia mampun mencairkannya. Gadis satu-satunya yang mampu mencairkanku. Menggapaiku,” lanjutnya.
Aku menatap jemarinya yang berhenti bermain dia atas tuts piano sebelum mendengar ceritanya lagi.
“Kami menjalin hubungan hampir dua tahun tapi, kebodohanku membuatnya hancur...” dia memejamkan matanya sejenak. Ada rasa sakit pada setiap ekspressinya. Rasa bersalah. Rasa penyesalan. Semua berkumpul menjadi sebuah air tetesan air mata. “Kami. Malam itu. Kami bertengkar di dalam mobil. Pertengkaran itu membuat kami mengalami kecelakaan. Karena diriku, dia mengalami koma selama enam bulan. Aku menghancurkan masa depannya,” ujarnya dengan tetesan air mata pilu.
“Chanyeol-ssi...”
“Dia terbangun sebentar. Tersenyum padaku untuk terakhir kali sebelum dia pergi meninggalkanku... selamanya...” suara Chanyeol tercekat saat mengatakan ‘selamanya’ ada nada tidak rela untuk kepergian gadis yang dia cintai.
Kutarik tubuhnya mendekat padaku. Memeluknya dalam pelukanku. Menggelus lembut punggung bidangnya. Punggung selalu kutatap dari belakang saat dia tengah asik dalam dunia musiknya.
“Tidak apa-apa. Dia bahagia disana,” ucapku menenangkannya. “Kau tahu, kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan adalah kepastian bahwa kau dicintai apa adanya. Dia sudah bahagia saat bersama dengan semua mencintaimu apa adanya saat itu dan aku yakin kau juga sama seperti dia, bukan,” ujarku. Rasanya pahit. Sakit. Aku juga sakit saat mengatakan ini. Aku juga mencintainya apa adanya tapi dia tak pernah melihat cintaku.
“Ya, kau benar,”
“Sekarang, carilah kebahagiaanmu. Kau tak boleh melihat masa lalu sebagai penyesalan dan melihat masa depan penuh ketakutan. Tapi lihat sekitarmu, ada banyak hal-hal yang bisa membuatmu bahagia,” ujarku padanya sembari menggurai pelukanku padanya. menatapnya lembut dengan memberinya senyuman. Berharap senyumanku menjadi sebuah kekuatan untuknya.
“Terimakasih,” ujarnya lembut. Aku hanya menggangguk lembut.
Kusentuh lembut pipinya. Merasakan pipi kokohnya. Alisnya yang tebal. Sorot matanya yang tajam. Lesung pipinya yang pipit. Bibir tipisnya yang selalu tersenyum padaku. Rahangnya yang kokoh. Oh Tuhan, ciptaan Tuhan yang begitu menakjubkan di mataku. Menggagumkan.
“Aku mencintaimu. Lihatlah aku sekali saja,” gumamku lirih.
“Naeun-ssi...” panggil Chanyeol terkejut.
“Maafkanku, Chanyeol-ssi. Kau tak perlu membalasnya atau menggatakan apapun padaku untuk ini. Aku ... aku hanya ingin kau tahu. Aku tidak bisa menyimpan ini lebih lama lagi. Maaf,” ujarku yang terisak. Dadaku terasa sesak saat Chanyeol perlahan menjauhkan diri pada sentuhanku. Oh Tuhan, menyakitkan.
“Nauen-ssi...”
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,” jawabku cepat yang bangkit dari dudukku dan berlari meninggalkannya. Aku belum menyiapkan hatiku menerima reaksi dia yang seperti itu padaku. Kenapa begitu menyakitkan seperti ini?
Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan gedung musik itu. Aku tak bisa mendengar suara orang-orang di sekitarku. Aku merasa seperti di sebuah tempat sunyi dan sendirian. Hanya jalanan dan air hujan yang mulai membasahi bumi.
Langkahku berubah menjadi langkah pelan. Aku menghentikan langkah kaki. Berdiri diam dan mendongakkan kepalaku ke atas untuk merasakan tetesan air hujan membasahi tubuhku.
Aku berharap air hujan bisa membuatku melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Menyembuhkan luka sakit hati karena reaksi dia padaku. Air mataku luruh menjadi satu dengan air hujan. Tangisanku semakin menjadi-jadi saat merasakan hatiku terasa semakin sakit.
“Pada setiap keindahan ada sepasang mata yang melihatnya, pada setiap kebenaran ada telinga yang mendengarkannya dan pada setiap cinta ada hati yang menerimanya,” ucap Chanyeol lirih sambil memeluk erat tubuhku dari belakang. Kapan? Kapan dia menggejarku? Aku tak menyadarinya.
“Chanyeol-ssi...”
“Aku akan mencoba menerimanya. Menerima cintamu. Bukankah kau bilang kebahagiaan ada disekitarmu? Aku akan mencoba menerima cintamu dna mungkin saja cintamu adalah kebahagianku,” ujar Chanyeol lirih dan memepererat pelukannya pada tubuhku.
Aku tak bisa menjawab apapun lagi. Aku hanya bisa menangis terisak mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulut Chanyeol.
“Aku tak ingin memiliki kisah cinta yang menyakitkan seperti Beethoven tapi aku ingin menjadi seperti Beethoven yang hanya mencintai satu wanita,” lanjut Chanyeol. “Mungkin kau bukan yang pertama tapi, mungkin kau adalah yang terakhir untukku,”
Aku hanya mengganggukkan kepala mengiyakan perkataannya. Aku berharap, cintakulah yang terakhir untuknya. Cintakulah yang dapat mengapai hatinya. Cintakulah yang menghangatkan hati dinginnya. Cintakulah yang membuatnya tersenyum.
Chanyeol menguraikan pelukannya. Memutar tubuhku pelan menghadap padanya. kudongakkan kepala sedikit ke atas. Menatap wajahnya. Kuulurkan tanganku untuk menyentuh wajahnya lagi. Dia tak menghindari sentuhanku. Kuusap lembut rahangnya yang kokoh. “Ijinkan aku masuk ke dalam hatimu. Berikan aku kesempatan untuk menghangatkan hatimu,” pintaku serak karena habis menangis.
Chanyeol tersenyum mendengar permintaanku dan mengganggukkan kepala pelan. Aku merasakan tangannya menarik pinggangku mendekat ke arahnya. Tangan kokohnya merengkuh lembut tubuhku. Aku kembali terisak didalam rengkuhan hangatnya dan menenangkan jiwaku.
P
Sebagian orang hadir dalam hidup kita lalu cepat-cepat pergi
Sebagian orang membuat jiwa kita menari
Mereka membuat kita terjaga pada pemahaman baru sembari menerima bisikan-bisikan kearifannya
Sebagian orang menjadikan langit lebih indah untuk di pandang
Mereka hadir dalam hidup kita sesaat, meninggalkan jejak cinta di hati, dan kita tidak akan pernah menjadi orang yang sama
-Flavia Weed-