Sing For You
Tittle : Sing For You
Author : @oohseehun
Main Cast : Park Chanyeol, Byun Baekhyun
Othe Cast : Wu Yi Fan, Kim Taehyung, Jeon Jungkook
Genre : Bromance
Rating : G
Length : Oneshoot
Disclaimer : Was written for @HiDesignRP’s event
PARK CHANYEOL
14 Desember 2013
Malam
Aku menyusuri jalan setapak itu dengan langkah perlahan namun sedikit dipercepat, mencoba menghindari rintik-rintikan hujan yang mungkin saja akan menjadi lebih deras jika terlalu banyak waktu yang kuhabiskan hanya untuk perjalanan ini. Jalanan serta dinding-dinding rumah penduduk lembab, didukung dengan udara malam yang seolah sangat berjaya pada malam ini. Di sepanjang perjalanan, orang-orang terlihat kedinginan dan mereka bersikap seolah ingin sampai ke rumah saat itu juga dan mengutuk dinginnya malam ini. Tapi tidak untukku. Aku malah menikmatinya. Bertahun-tahun tinggal di Korea dan aku tahu bagaimana tidak bersahabatnya udara malam di bulan Desember. Aku tahu seharusnya saat ini aku bertingkah seperti orang-orang kebanyakan—berjalan cepat, kedinginan—namun, tidak. Aku bahkan tidak merasa kedinginan. Aku menikmati langkah demi langkah yang kuciptakan melewati gang-gang kecil di sudut kota Seoul, menghindari genangan-genangan air, membayangkan apa yang akan terjadi ketika aku sampai di tempat tujuanku nanti.
Aku memasuki area Pusat Kesenian Seoul, mengedarkan pandangan ke sekeliling selagi berjalan perlahan melintasi pekarangannya. Bukan sedang melihat-lihat, aku sedang mencari seseorang—yang mungkin saja sudah menungguku saat ini.
Tidak banyak orang yang akan memilih pekarangan Pusat Kesenian Seoul sebagai destinasi untuk bersantai atau sekedar bertemu di malam hari. Mungkin mereka lebih memilih tepian Sungai Han, Lotte World, Sungai Cheonggyecheon, atau hanya makan ramyun di kedai. Alasan inilah yang membuat aku lebih menyukai tempat ini pada malam hari, karena kesepiannya. Dan kau juga tidak akan kesulitan untuk menemukan orang yang kau cari di sini. Karena aku baru saja mendapatkan seseorang itu—yang sedang duduk di tangga, menggunakan jaket tebal dan kupluk merah kesayangannya. Aku menghampirinya dengan setengah berlari. Tubuhku bergetar dan rasanya menjadi panas. Ia sedang duduk dengan posisi mendekap tubuhnya sendiri, matanya hanya tertuju lurus ke depan bahkan ketika aku sudah berdiri hanya beberapa sentimeter darinya. Aku bisa mendengar jika ia mengucapkan sesuatu dengan setengah berbisik.
“Kenapa lama sekali..”
“Sampai kapan aku harus menunggu?”
“Maaf, maaf Chanyeol-ah.”
“Aku... aku putus asa.”
Aku masih berdiri di posisi sebelumnya, membisu, tubuhku kaku seolah beku oleh kedinginan namun yang kurasakan hanyalah rasa panas yang naik dari perut hingga ke dada.
“Maafkan aku, Chanyeol-ah.”
“Aku harus pergi.”
Kemudian ia bangkit dari posisi duduknya dan ia pergi, yah, dia pergi. Tubuh mungil di balik jaket tebal itu seolah tak bisa kucapai meskipun dalam jarak terdekat. Bahkan sekarang ia menjauh, dan semakin menjauh, hingga tubuh itu hilang dari pandanganku. Aku bahkan tidak melakukan apa-apa, dan tidak ada satu kata pun yang meluncur dari mulutku. Namun aku merasa lelah, aku merasa seperti baru saja berlari mengelilingi Seoul dan tulangku remuk.
Baekhyun-ah, kenapa kau harus meminta maaf?
Semua ini adalah kesalahanku.
Tapi aku mohon jangan acuhkan aku.
Aku merindukanmu.
Kini rasa panas itu terus naik menuju bagian kepala. Telingaku panas dan pandanganku buyar oleh air mata.
BYUN BAEKHYUN
15 November 2013
Pagi
Buk!
Aku menjatuhkan tas punggungku ke atas meja kantin, tepat di depan wajah Taehyung hingga laki-laki itu melonjak dan hampir saja melempar buku yang tengah dibacanya.
“Apa-apaan hyung! Kau bisa membuatku terkena serangan jantung mendadak.” Ia beram.
Aku terkekeh. “Maaf, habisnya aku sedang bingung.”
“Aku tidak peduli,” jawabnya.
“Taehyung-ah, kau harus membantuku.”
“Tidak.”
“Taehyung-ah...” pintaku dengan nada lebih memelas. Yang kemudian dapat membuatnya luluh juga.
“Aish, baik, baik! Apa yang kau butuhkan?”
“Aku hanya butuh saran,” jawabku.
“Saran untuk apa?”
“Untuk musim dingin ini. Apa yang sekiranya dapat kuberikan untuk Chanyeol di musim dingin ini?”
Wajah Taehyung yang pada awalnya menunjukkan ekspresi jengkel, kini berubah menjadi datar. Terkadang aku heran bagaimana caranya membuat laki-laki itu menjadi tertarik dengan pembicaraanku. Sepertinya definisi ‘menarik’ bagi Taehyung seluruhnya hanya ada pada Jungkook—juniorku di kelas menyanyi—yang sampai saat ini masih menjalin hubungan spesial dengan Taehyung. Terkadang aku menyesal sudah mempertemukan kedua insan itu.
“Hei, aku tahu kau tidak tertarik dengan pembicaraan ini, tapi setidaknya kau menghargai aku sebagai orang meminta bantuan padamu,” kataku.
Ia menghela napas, “bukannya tidak tertarik, hyung, tapi pertanyaanmu itu sungguh tidak penting. Ada baiknya jika kau yang memiliki inisiatif sendiri.”
Aku mengernyit. “Astaga, aku hanya ingin mempersiapkan sesuatu dengan lebih matang. Asal kau tahu saja, di musim dingin tahun lalu aku hanya bisa memberikan Chanyeol sebuah ramyun karena daging panggang yang kubuatkan untuknya gosong total. Jadi, kami melakukan candle light dinner dengan ramyun dan wine. Kau bisa bayangkan itu? Lilin merah romantis, wine, dan ramyun? Itu adalah perpaduan terkacau yang pernah aku lihat seumur hidup. Aku tidak ingin kejadian seperti itu terulang lagi.”
Taehyung hanya tertawa mendengarnya. Kemudian ia terlihat seperti tengah mencoba berpikir, bola matanya berputar ke segala arah, tangan kirinya memegang buku sementara tangan kanannya bebas di atas meja dengan jari telunjuk yang diketuk-ketukkan secara teratur—ia mungkin akan memberiku saran setelah ini. Maka aku menunggu. Menciptakan ruang kosong di antara kami.
“Berikan dia kado saja. Kau tahu kan, topi, jaket, atau mungkin kacamata.” Akhirnya Taehyung buka suara.
“Aku tahu, tapi ini adalah kado untuk musim dingin, bukan kado ulang tahun. Aku ingin memberikan sesuatu yang tidak sama seperti kado-kado ulang tahun. Apalagi untuk topi, jaket, dan kacamata, kalian sudah pernah memberikan barang-barang itu di ulang tahunnya kan.”
Taehyung kembali memutar bola matanya, namun kali ini dengan sedikit mendesah. Akhirnya kami sama-sama meletakkan kepala di meja untuk berpikir hingga sebuah kaki dengan sepatu Jordan putih mendarat di atas meja; tepat di tengah-tengah wajahku dan wajah Taehyung yang saat itu sedang saling berhadapan. Sepatu Jordan putih yang sangat-sangat aku kenali.
“Astaga, hyung. Bisakah kau menyapa kami dengan cara yang jauh lebih normal?” ucap Taehyung yang kembali jengkel. Mungkin bisa dibilang kali ini kejengkelannya menjadi dua kali lipat daripada sebelumnya.
Chanyeol tergelak seolah senang dengan kejengkelan Taehyung sementara ada Yifan hyung di belakangnya yang melambaikan tangan pada kami—dengan normal. Syukurlah kali ini Yifan hyung bersikap wajar. Jika ia juga memperlihatkan sikap ‘tidak biasa’nya, maka rasanya aku ingin kembali ke rahim ibuku saja.
“Syukurlah ada Yifan hyung. Aku tidak bisa membayangkan jika aku harus terjebak dengan mereka berdua,” ucap Taehyung seraya melirik ke arahku dan Chanyeol. Yifan hyung mengambil posisi duduk di sebelah Taehyung sementara Chanyeol di sebelahku.
“Kau selalu memanfaatkan kakimu yang panjang, huh?” kataku pada Chanyeol, membahas kembali tentang dirinya yang mendaratkan kaki di atas meja tadi. Chanyeol hanya mengangguk sambil tersenyum dengan sangat lebar, menatapku dengan matanya yang atraktif seperti seorang anak kecil.
Sangat tidak biasa melihat Yifan hyung bergabung dengan kami seperti ini, biasanya ia lebih sering di ruang menyanyi atau bergabung dengan teman-teman seangkatannya—sesama senior—yang biasanya berkumpul di aula. Dan, ada dua kemungkinan mengapa ia bisa berada di sini. Pertama, ia ingin membicarakan sesuatu yang penting. Dan yang kedua, ia sedang mencari Jungkook. Sudah tidak terhitung berapa kali Yifan hyung mencari-cari Jungkook di kampus karena anak itu sering menyembunyikan barang-barang milik Yifan hyung mulai dari sepatu, tas, hingga seragam; saat itu Yifan hyung tengah berganti baju di ruang ganti dan Jungkook mengambil seragam miliknya yang sedang digantung lalu menyembunyikannya.
“Ngomong-ngomong, tumben kau ada di sini? Apa kau sedang mencari Jungkook?” tanya Taehyung pada Yifan hyung, seolah-olah sedang mengucapkan apa yang tengah aku pikirkan.
“Tidak, kali ini Jungkook tidak melakukan apapun,” ia tertawa kecil. “Aku kesini karena ada hal penting yang harus kubicarakan dengan kalian.”
Baiklah, coret kemungkinan kedua tentang mencari Jungkook. Ternyata kemungkinan pertama-lah yang lebih akurat.
Tanpa menunggu reaksi dari kami, Yifan hyung langsung melanjutkan omongannya. “Kalian tahu kan, sebentar lagi angkatanku akan menyelesaikan masa kuliah, jadi kami akan membuat acara pementasan.”
“Drama musikal?” sela Chanyeol.
“Ya, semacam itu. Tapi tidak hanya drama, melainkan pementasan musik. Pasti kalian tahu kan, mengapa aku menganggap hal ini sebagai hal penting yang harus kuberitahukan pada kalian?”
“Kau ingin kami ikut serta dalam pementasan itu,” jawab Taehyung, yang langsung diiyakan dengan semangat oleh Yifan hyung.
“Memangnya kapan acara itu digelar, hyung?” tanya Chanyeol. Aku meliriknya lewat ujung mata, dapat kusaksikan jika terlihat ada sedikit keantusiasan dalam wajahnya. Mungkinkah dia tertarik? Tapi selama ini Chanyeol tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada panggung teater, dia hanya suka bermain musik. Oh, ya, drama musikal, pementasan musik. Aku mengerti.
“Rencananya acaranya akan digelar pada malam natal, tapi belum bisa dipastikan juga. Mungkin akan ada sedikit perubahan pada tanggalnya, tapi untuk bulannya sudah pasti bulan Desember,” jelas Yifan hyung.
Sudah pasti bulan Desember. Aku kembali melirik ke arah Chanyeol untuk memastikan ekspresi macam apa yang akan ia berikan, mungkinkah ia benar-benar tertarik dengan pementasan itu atau hanya sekedar bertanya? Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala selagi Yifan hyung menjelaskan tentang pementasan, mengulum bibir bawahnya dengan mata yang menatap Yifan hyung serius. Aish, aku sangat buruk dalam menilai ekspresi seseorang. Aku tidak tahu wajah itu mewakilkan pemikiran macam apa, ia hanya menjadi Chanyeol yang seperti biasa.
Aku tidak mempermasalahkan jika ia tertarik untuk bergabung, tapi, acara itu sudah pasti akan digelar pada bulan Desember. Aku merasa berat untuk menerimanya. Apalagi dengan tanggal yang belum bisa dipastikan. Aku tahu jika acara seperti itu akan menyita banyak waktu, dan aku akan dengan senang hati jika Chanyeol mendedikasikan waktu-waktu tertentu untuk kegiatan yang lain. Tapi aku tidak akan pernah rela jika ia harus memberikan bulan Desembernya untuk hal lain. Bulan Desember milik Chanyeol hanya untukku.
***
15 November 2013
Malam
Aku membanting pintu kamar dengan keras, melempar tas ke sembarang tempat, kemudian menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Jam kuliah hari ini tidak terlalu padat namun berhasil membuat otakku tegang dan tubuhku terasa seperti mayat hidup.
Sensasi yang sangat luar biasa ketika tulang punggungku bersatu dengan ranjang yang empuk dan aku memejamkan mata. Aku tidak pernah merasa selelah ini. Hingga ketika aku hampir saja mencapai alam bawah sadar, aku bisa mendengar ponselku mengeluarkan bunyi yang berhasil membuatku tersadar sepenuhnya. Bunyi pesan kakaotalk.
Park Chanyeol
Baekhyun-aah^ㅂ^
Dengan segera aku mengetikkan balasan untuk pesan tersebut.
Byun Baekhyun
Hei...
Byun Baekhyun
Kuliah hari ini sangat melelahkanㅠㅠ
Park Chanyeol
ㅋㅋ
Park Chanyeol
Sedang apa?
Byun Baekhyun
Berbaring..
Byun Baekhyun
Hei, aku ingin menanyakan sesuatu.
Park Chanyeol
Tanyakan saja
Byun Baekhyun
Apa kau akan bergabung dalam pementasan?
Park Chanyeol
Hmm
Park Chanyeol
Aku belum yakin. Kenapa?
Byun Baekhyun
Tidak apa-apa...
Byun Baekhyun
Hanya ingin mengingatkanmu saja kalau acara itu pada bulan Desember.
Park Chanyeol
ㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋ
Park Chanyeol
Empat belas Desember kali ini di Pusat Kesenian Seoul, oke?
Byun Baekhyun
Kenapa harus di sana? Bukankah ada tempat lain yang lebih romantis?ㅠㅠ
Park Chanyeol
Jangan protesㅋㅋㅋ
Park Chanyeol
Pergilah tidur!
Park Chanyeol
Aku tahu kau lelah.
Byun Baekhyun
ㅠㅠ
Byun Baekhyun
Aku mencintaimu!
Byun Baekhyun
Selamat malam~~~♡
Park Chanyeol
Aku juga mencintaimu!
Park Chanyeol
Selamat malam nyonya Park♡
***
1 Desember 2013
Siang
Aku tengah berbaring di paha Taehyung dengan earphone terpasang di kedua telinga ketika Chanyeol masuk ke dalam ruang musik—sejujurnya aku tidak menyadari kedatangannya karena volume earphone yang kupasang cukup keras. Satu-satunya yang membuatku sadar akan kehadiran laki-laki tinggi itu hanyalah ketika ia menaruh tangannya di bawah leher dan kakiku lalu mengangkat tubuhku dengan gaya bridal. Mengingat tubuhku yang jauh lebih mungil darinya, tentu saja itu bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Aku melepas earphone dan memintanya untuk menurunkan tubuhku, ia menurut.
“Kenapa tiba-tiba langsung menggendong seperti itu? Baru mendapat ide untuk melakukan sesuatu yang romantis?” tanyaku pada Chanyeol dengan sedikit menggodanya.
“Tidak. Aku hanya tidak suka melihatmu berbaring di paha orang lain,” jawabnya. Taehyung terkekeh diikuti dengan Jungkook yang sedari tadi berada di sebelahnya, yah, Jungkook bersama kami juga.
“Ngomong-ngomong, apa yang kalian bertiga lakukan di sini? Threesome?” tanya Chanyeol lagi, yang kemudian kujawab pertanyaannya dengan melempar blazer milikku ke arahnya.
Pada akhirnya hanya kami berempat lah yang mengisi ruang musik tersebut, berbincang-bincang tanpa arah pembicaraan yang jelas dan terkadang tawa riuh mendominasi seisi ruangan. Menit demi menit berlalu tapi sepertinya belum ada tanda-tanda dari mereka untuk menyudahi pertemuan tanpa tujuan ini, sementara aku sudah sedikit mengantuk dan ingin pulang—setelah ini tidak ada kelas lagi. Aku tengah mendengarkan musik lewat earphone selagi Chanyeol, Taehyung, dan Jungkook bermain kartu. Hingga tidak kusangka aku hampir saja terlelap, kepalaku terjatuh tepat pada pundak Chanyeol yang membuat laki-laki itu menyadari ketidakmampuanku untuk menahan rasa kantuk. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya setelah itu, yang dapat kuingat hanyalah ketika ia mencoba mengangkat tubuhku untuk berdiri. Mungkin aku sudah terlihat seperti orang mabuk, aku tidak ingin ada staff pengajar yang melihatku dalam keadaan seperti ini atau dia akan berspekulasi jika aku berada dalam pengaruh alkohol.
“Aish, tidur jam berapa kau tadi malam?” Chanyeol mendekatkan wajahnya pada wajahku, mungkin hanya menyisakan tiga sentimeter ruang kosong di antara hidung kami.
“Banyak...banyak tugas,” jawabku dalam keadaan setengah sadar.
“Bukankah sudah kubilang untuk tidak mengerjakan tugas saat telah dekat dengan deadline?” ia mengoceh, kemudian Jungkook menyela, “sudahlah hyung, sepertinya bidadari kecilmu sudah ingin pulang”.
Meskipun kesadaranku berada dalam titik terendah, aku dapat mendengar dengan jelas bagaimana Jungkook mengatakan, maksudku, mengejekku dengan kalimat “bidadari kecil” yang sungguh sangat sangat menjijikan. Aku membuka kelopak mata dengan lebar dan memandangi Jungkook nanar. Laki-laki itu mundur selangkah dan bersembunyi di balik tubuh Taehyung.
Seolah peka dengan keadaan, Chanyeol akhirnya menarik tanganku dan berpamitan dengan Taehyung dan Jungkook. Kami keluar dari ruang musik dengan aku yang berjalan seperti zombie.
“Apa kau tidak mau menggendongku?” ucapku malas.
“Bukan begitu. Aku tidak mungkin melakukan itu di sini.”
“Kau tidak perlu tempat-tempat tertentu untuk menggendongku.”
“Tidak di sini, Baekhyun-ah. Ini masih lingkungan kampus.”
“Tapi aku membutuhkanmu setiap saat dan di manapun.” Aku memelas. Entah dia merasa luluh atau jengkel atau pasrah, dilepaskan genggaman tangannya dari tanganku hanya untuk berjongkok di hadapanku, memberikan punggungnya untuk aku naiki seperti biasanya jika aku mengantuk. Tanpa basa-basi aku naik ke punggung itu, memeluk lehernya dengan erat dan membiarkan tubuhnya mengangkat tubuhku, kemudian berjalan perlahan tanpa memperdulikan tatapan di sekitar. Aku tidak tahu Chanyeol membawa langkahnya kemana, mataku tertutup di sepanjang perjalanan, namun aku sadar sepenuhnya bahkan terasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Saat aku membuka mata, area parkiran mobil lah yang menyambut pandangan.
“Kau bisa membawaku ke terminal, mungkin masih ada bus yang akan singgah,” ucapku.
“Kau akan pulang bersamaku.”
“Bukankah kau ada kelas setelah ini?”
Ia menggumam, “tidak jika bidadari kecilku sedang dalam keadaan seperti ini.”
Aku mencubit pipinya pelan, diantara rasa malu dan jengkel karena sepertinya Chanyeol telah merasa nyaman dengan panggilan yang pada awalnya diberikan oleh Jungkook itu. Entahlah, aku tidak menyukainya. Aku tidak suka dipanggil kecil oleh orang-orang kecuali Chanyeol. Kecuali Chanyeol.
Ia membawaku masuk ke dalam mobil, memastikanku duduk dengan baik di kursi penumpang dan memasangkan sabuk pengaman padaku, kemudian menutup pintunya dan ia beralih ke kursi supir. Mesin dihidupkan dan mobil pun melaju keluar dari parkiran. Sebenarnya rasa kantukku sudah hilang, namun aku masih bersikap layaknya seorang bayi yang hanya bisa tidur dan makan. Tubuhku kusenderkan di pintu, sambil mendengarkan alunan suara radio yang tengah diputar oleh Chanyeol. Kami berdua memang lebih suka mendengarkan radio jika di mobil ketimbang memutar musik yang ada di music player milik Chanyeol.
Chanyeol terus berusaha mencari siaran radio terbaik, hingga kemudian tangannya berhenti di sebuah siaran yang biasa kami dengarkan. Saat itu seorang laki-laki tengah menyampaikan pesan untuk kekasihnya. Pesan lewat radio, hal yang manis, menurutku.
“Kuharap kau merindukanku seperti aku merindukanmu. Maka akan kunyanyikan sebuah lagu pengantar rasa rinduku.”
Pria itu kemudian bernyanyi. Suaranya standar, tidak ada yang spesial, tapi setidaknya cukup layak untuk didengar di sepanjang perjalanan. Di tengah nyanyian pria tersebut, aku memulai pembicaraan dengan Chanyeol, yang saat itu kusadari jika kami belum ada berbicara selama di mobil.
“Bukankah itu hal yang manis?” kataku seraya menoleh padanya yang sedang fokus menyetir.
“Mengirim pesan lewat radio? Kau sudah membicarakan tentang itu berkali-kali,” jawabnya.
“Bukan. Maksudku, menyanyi. Kau tidak pernah menyanyi untukku.”
“Aku? Menyanyi?.” Nada bicaranya terdengar tidak yakin.
“Iya, Chanyeol-ah. Kau. Menyanyi. Untukku.”
“Tapi aku bukan penyanyi yang baik.”
“Kau hanya akan menyanyi untukku, bukan untuk publik. Aku tidak akan menuntut suaramu harus sebagus Sung Si Kyung.”
“Hm, entahlah.” Ia berhenti sejenak, menggantungkan kalimatnya. Hanya membiarkan deru mesin mobil yang mendominasi suasana. “Aku tidak pernah percaya diri dalam menyanyi,” sambungnya.
Aku mencoba mendorong semangatnya. “Maka dari itu kau harus mencobanya.” Ia menoleh padaku sejenak, yang tidak kubalas dengan tolehan balik namun hanya sekedar melirik lewat ujung mata. Dapat kulihat jika ia sedang berpikir, maka aku memberinya waktu. Ketika ia sudah mendapatkan waktu itu, aku merasa ratusan kupu-kupu terbang keluar dari perutku.
“Aku akan menyanyi untukmu pada empat belas Desember tahun ini, Baekhyun-ah.”
***
11 DESEMBER 2013
Siang
“Sampai kapan kau mau melihat-lihat jaket itu? Jika aku adalah penjual yang memiliki pelanggan sepertimu, mungkin kau akan kutendang keluar dari toko,” omel Taehyung untuk yang kesekian kalinya. Namun aku tidak peduli, aku terus beralih dari rak satu ke rak lain untuk melihat berbagai macam jaket, pakaian, dan topi yang sekiranya pantas untuk kuberikan pada Chanyeol. Pada awalnya aku tidak ingin memberikan barang-barang seperti ini, tapi akhirnya aku menyerah, aku tidak baik dalam urusan hadiah.
“Hyung, ini sudah hampir satu jam dan kau hanya bolak-balik di tempat dan barang yang sama,” lanjut Taehyung.
“Aku belum bisa menentukan yang terbaik.”
“Kalau begitu ambil saja yang itu, bagus.” Taehyung menunjuk ke arah jaket yang tergantung di rak bagian sudut toko, namun aku menggeleng.
“Dia sudah punya yang seperti itu,” jawabku.
“Bagaimana dengan yang itu?” ia menunjuk skinny jeans yang tengah kupegang. Dan aku kembali menggeleng.
“Ini terlihat tidak nyaman.”
Taehyung menggeram, ia kemudian melangkah menjauh dari posisiku berada untuk duduk di salah satu bangku yang disediakan. Ini sudah yang kesekian kalinya ia kembali duduk di bangku tersebut setelah sebelumnya ia duduk-berdiri-duduk-berdiri. Ia terlihat gelisah seperti seorah ayah yang tengah menunggu kelahiran anak pertamanya di rumah sakit.
Aku menghampiri Taehyung dengan tangan kosong, duduk di sampingnya serta memandangi wajah lelahnya.
“Kau terlihat gelisah, ada apa?” tanyaku.
“Tidak apa-apa, hyung. Maaf. Hanya akhir-akhir ini aku sering ribut dengan Jungkook, maaf jika aku menjadi sedikit sensitif. Padahal biasanya aku bisa menghabiskan berjam-jam waktuku di mall ini bersamamu, tapi untuk sekarang rasanya aku sulit merasa tenang. Aku selalu memikirkannya.”
“Memangnya apa yang membuat kalian sering ribut?”
“Yah, aku tahu aku yang bodoh. Aku lebih sering bersenang-senang dengan yang lain sementara Jungkook terabaikan. Aku hanya ingin merasakan sesuatu yang baru, aku tahu jika itu menyakitkan bagi Jungkook tapi anehnya aku bisa tidak peduli akan hal itu. Hingga ketika dia marah, aku menyesal, sangat menyesal. Hal ini terjadi hampir berulang-ulang dan aku takut jika Jungkook mencapai puncak kesabarannya, aku takut dia lelah menghadapi tingkahku. Karena jika dia lelah, maka dia akan pergi. Aku takut dia pergi.”
Aku memukul pelan pundak Taehyung, “aku tahu, kau melakukan hal-hal menjengkelkan itu hanya karena kau ingin mendapatkan perhatian lebih darinya, kan? Tapi setidaknya kau harus berhenti melihat sebuah kejadian dari sisimu, cobalah melihat semuanya dari sisi Jungkook. Kau benar, ketika dia lelah maka dia akan pergi, itu bisa saja terjadi. Pertahankanlah hubungan kalian dengan baik. Jangan pernah melakukan hal yang bodoh meskipun godaan itu terus mengganggumu.”
“Aku pernah merasakan hal itu, aku pernah menyia-nyiakan Chanyeol dan saat itu dia pergi. Pada awalnya aku merasa lega karena semuanya berakhir, tapi ternyata tidak semua hal yang berakhir itu akan menjadi penghujung ceritanya, bisa jadi semuanya akan berlanjut menjadi cerita yang baru. Aku merindukan Chanyeol yang saat itu sudah meninggalkanku. Asal kau tahu saja, ketika kau merindukan seseorang yang sudah meninggalkanmu, rasanya seperti ingin mati,” lanjutku.
“Seburuk itukah, hyung?” tanya Taehyung.
“Ya. Bahkan aku tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Hatimu bergelora dan panas tapi tidak ada yang bisa kau lakukan. Rasa panas itu membakar tubuhmu sedikit demi sedikit. Jadi, jangan pernah sia-siakan seseorang itu. Jangan.”
Aku merangkul Taehyung kemudian ia mengangguk kecil dengan pandangan matanya yang lurus kedepan, terlihat seolah sedang menerawang sesuatu yang akan dilakukannya nanti. Untuk beberapa detik setelah itu kami hanya saling berdiam diri, hingga kemudian Taehyung bertanya tentang sesuatu yang menjadi alasan kami berada di sini.
“Hyung, apa kau sudah mendapatkan kado yang cocok?”
Aku melihat sekeliling, terutama ke tempat-tempat yang tadinya aku singgahi untuk melihat barang-barang yang sekiranya dapat kuberikan pada Chanyeol di malam spesial kami yang tinggal menghitung hari. Banyak barang yang menarik hatiku, tapi kurasa tidak cocok sebagai kadoku tahun ini.
Aku menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Taehyung. “Tidak ada. Tidak ada yang cocok.”
“Bagaimana jika kita mencari di mall lain?” Taehyung menawarkan, tapi aku menggelengkan kepala. Kukatakan padanya jika perburuan kado hari ini cukup sampai di sini saja. Setidaknya masih ada dua hari sebelum hari H, aku akan memikirkan hal lain untuk diberikan, yang pada kemudian kami pulang dengan mobilku dan aku mengantar Taehyung tepat di depan rumahnya. Namun sebelum lelaki itu keluar dari mobil, aku menahannya.
“Jangan lupa hubungi dia, perbaiki tingkahmu, dan perbaiki hubungan kalian,” kataku. Taehyung mengangguk dengan senyum terlebarnya, diikuti dengan jari jempol kanannya yang mengangkat tinggi ke atas selagi ia berjalan memasuki pekarangan rumahnya.
Aku kembali melaju, namun tidak menuju rumah, kubawa mobil sedanku berputar-putar mengelilingi pusat kota. Pergi dan kembali ke jalan yang sama. Setelah merasa cukup, aku berhenti dan memarkirkan mobil di parkiran umum, mengambil ponsel dan menekan panggilan cepat nomor 3. Namun panggilanku dialihkan ke pesan suara. Akhirnya aku hanya meninggalkan pesan.
“Selamat H-3, Chanyeol. Aku mencintaimu”
***
13 DESEMBER 2013
Pagi
Aku tidak bisa fokus sama sekali. Sedari tadi Taehyung mengajakku berbicara, aku hanya meresponnya dengan jawaban yang tidak ada hubungannya dengan pembicaraan hingga akhirnya laki-laki itu menyerah. Ia membawaku menuju kantin dan duduk di hadapanku, dengan tegang, dan serius.
“Ada apa denganmu, hyung? Kau seperti tidak menganggapku ada,” ungkap Taehyung.
Aku mengacak-acak rambut, lalu menangkupkan wajah dengan kedua telapak tangan yang diletakkan di atas meja kantin.
“Aku belum membeli apapun untuk Chanyeol, apa yang harus aku lakukan,” kataku.
“Astaga, hanya karena itu?”
Aku mendongakkan kepala untuk menatap Taehyung. “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku harus panik karena besok adalah hari dimana aku harus memberikannya sesuatu.”
“Kenapa harus memberikannya sesuatu?”
“Karena seperti itulah setiap tahunnya.”
“Maka kau harus lakukan yang berbeda untuk tahun ini, aish.”
Tunggu, sepertinya omongan Taehyung ada benarnya. Maksudku, lakukan yang berbeda. Jika pada tahun-tahun sebelumnya aku memberikan Chanyeol hadiah dalam bentuk barang, untuk tahun ini aku bisa memberikan sesuatu yang tidak berwujud, mungkin? Tapi, apa?
“Dia bilang dia akan menyanyi untukku besok,” kataku pelan.
“Benarkah? Nah, mungkin kau bisa membawanya ke suatu tempat yang belum pernah kalian kunjungi, tempat yang indah. Kemudian dia akan bernyanyi di sana.”
Aku benci untuk mengatakan ini, tapi omongan Taehyung benar-benar tidak bisa diremehkan begitu saja. Sepertinya itu adalah cara yang bagus. Dan sepertinya aku harus bergerak cepat karena semuanya hanya tinggal menghitung jam. Aku mengucapkan terimakasih tersingkat pada Taehyung seraya bangkit dari kursi, keluar dari kantin dan kampus dengan cepat. Syukurlah setelah ini tidak ada kelas lagi, setidaknya aku bisa mendedikasikan jam-jam terakhir ini untuk mempersiapkan persembahanku pada Chanyeol besok.
Aku menyusuri trotoar dengan cepat sambil berselancar di internet lewat ponsel pintar milikku, mencoba mencari inspirasi-inspirasi yang bertumpah ruah di sana. Namun pergerakan jempol tangan kananku di layar ponsel terhenti ketika ada sebuah panggilan yang masuk, menampilkan nama Chanyeol di sana sebagai penelepon. Aku mengangkatnya.
“Halo?”
“Baekhyun-ah...” jawabnya dengan suara yang begitu pelan.
“Kenapa?”
“Aku... Aku ingin memberitahumu sesuatu.”
Aku menahan napas untuk sejenak. Entah sesuatu yang baik atau malah sebaliknya yang akan diberitahukan Chanyeol padaku, tapi sekujur tubuhku rasanya bergetar hebat.
“Y-ya, kau bisa membicarakannya.”
“Baekhyun-ah, maaf, besok aku harus menghadiri pementasan. Aku—“
“Pementasan?” aku memotong omongannya.
“Pementasan angkatan Yifan hyung, kau ingat? Acaranya besok malam. Yifan hyung memintaku untuk mengisi acara di sana. Aku... aku tidak bisa menolaknya. Maafkan aku.”
Kini kakiku terasa lemas. Pohon-pohon yang ada di hadapanku seolah tumbang, dan bangunan-bangunan di sekitarku seperti roboh, menimpaku, membunuhku pada saat itu juga. Badai besar menghantam seisi tubuhku.
“Tapi aku janji, aku akan tetap bertemu denganmu besok malam, aku akan mengusahakannya sebaik mungkin. Dimana? Dimana kau mau kita bertemu? Oh ya, kau akan datang ke pementasannya, kan? Bagaimana jika kita bertemu di sana saja?”
Aku tidak mengeluarkan kalimat apapun. Hanya diam, mendengarkannya suaranya yang bergetar di telepon. Bahkan dari suaranya pun ia benar-benar seperti orang yang kebingungan. Orang yang kebingungan karena masalah yang dia buat sendiri.
“Baekhyun-ah?”
“Kau masih di sana, kan?”
Ya, aku masih di sini. Tapi rasanya tubuhku kosong, seisinya tertarik entah kemana.
Dan aku diam.
“Baekhyun-ah?”
Aku hanya diam.
“Sayang, kau di sana?”
Aku masih diam. Namun untuk kali ini kujauhkan ponsel dari telinga dan jari tanganku menutup panggilan tersebut. Aku tidak tahu yang sedang kulakukan dan aku tidak mengerti, tapi aku merasa sakit. Tubuhku terhempas begitu kuat dalam bayang-bayang, namun rasa sakit yang dirasa begitu nyata. Aku merasa jika langkahku yang sudah sampai di sini sia-sia. Aku berbalik dan memutar arah, bukan menuju sekolah, namun rumah. Aku ingin tidur.
Aku ingin tidur sampai besok lusa.
14 DESEMBER 2013
Malam
Semua orang terlihat sibuk sendiri dengan tugas masing-masing yang sudah diemban dan dipertanggungjawabkan. Mulai dari di pekarangan, di bangku penonton, di atas panggung, hingga ke bagian belakang panggung, semuanya ribut. Di salah satu kursi yang disediakan khusus untuk pengisi acara, Chanyeol duduk, memangku gitarnya dan memetik benda tersebut sesekali, menghasilkan suara sayup-sayup yang merdu dan bersatu padu dengan keriuhan dari kesibukan orang-orang di sekitar. Chanyeol memperhatikan sekelilingnya, menoleh ke kanan dan kiri seolah gelisah namun air mukanya sangat tenang. Ia masih memetik gitarnya pelan saat Taehyung datang menghampirinya.
“Bagaimana?” tanya Taehyung seraya menggeser salah satu kursi yang kosong dan ia duduk di hadapan Chanyeol.
Chanyeol hanya menggeleng, matanya tertuju pada gitar yang tengah dimainkannya.
“Kau sudah mengunjungi rumahnya?” tanya Taehyung lagi.
Kini Chanyeol mengangguk, namun anggukan tersebut memberi isyarat keputusasaan. Taehyung menghela napas dan bersandar di kursi yang ia duduki, memijat-mijat keningnya. Ia kembali bertanya, “apa menurutmu dia akan datang?”
Akhirnya Chanyeol buka suara. Ia mengangkat wajahnya dan menghentikan aktivitasnya memetik senar dengan matanya yang memandang ke arah lain. “Aku tidak yakin dia akan datang, dan aku tidak yakin dia membaca pesan suaraku. Tapi, aku akan memberikan penampilan yang terbaik, meskipun dia tidak melihatnya secara langsung.” Kemudian Chanyeol mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan memberikannya pada Taehyung, “jadi, aku minta tolong padamu, rekam aku selama aku tampil, untuk berjaga-jaga jika memang dia tidak datang.”
Taehyung mengambil ponsel milik Chanyeol. “Lalu, kau akan tetap ke Pusat Kesenian jika memang dia tidak datang?”
“Ya,” jawab Chanyeol mantap.
“Tapi kau bahkan belum tahu pasti, apakah dia sudah mendengar pesan suaramu atau belum.”
“Aku tidak perlu tahu apakah dia sudah mendengarnya atau belum. Yang penting aku menepati omonganku. Bahkan kalau bisa aku akan menunggunya di sana sampai pagi.”
Taehyung mengangguk mengiyakan, kemudian menepuk pundak Chanyeol dan pergi yang kini hanya menyisakan laki-laki itu bersama gitarnya lagi. Ia kembali memainkan alunan pelan pada gitarnya untuk beberapa menit, kemudian orang-orang di sana terlihat semakin sibuk dan seseorang yang sepertinya menjadi pemimpin mereka berteriak dari luar panggung.
“Acaranya akan segera dimulai!”
***
Taehyung duduk tepat di sebelah Jungkook, dengan memegang dua ponsel di tangannya. Ponsel di sebelah tangan kirinya menganggur sementara ia memainkan ponsel di tangan kanannya. Ia terus mengirim pesan untuk seseorang sembari melihat-lihat ke seluruh penjuru ruangan, dengan harap akan melihat sosok itu.
“Aku sudah lelah mengiriminya pesan, sepertinya dia tidak akan datang,” ucap Jungkook yang saat itu menangkap kegelisahan pada diri Taehyung.
“Ya, sepertinya begitu. Tapi aku kasihan dengan Chanyeol hyung. Padahal ia sudah berjanji akan memberikan nyanyiannya sebagai hadiah, bahkan lagu itu ia tulis sendiri. Kau bisa bayangkan betapa hancurnya ia di belakang sana.”
“Apa ia terlihat seperti seseorang yang begitu hancur?”
“Ya. Aku bisa melihat itu dari matanya. Ia tidak pernah terlihat sekosong itu. Kau tahu kan, Chanyeol hyung adalah laki-laki yang penuh dengan kebahagiaan. Dan saat aku menemuinya tadi, semua kebahagiaan itu seolah lenyap.”
Perempuan yang tampil dengan piano itu pun menyudahi permainannya, yang kemudian disusul dengan sang MC yang kembali naik ke atas panggung, memberikan sedikit komentar tentang penampilan perempuan piano tadi kemudian memanggil nama peserta selanjutnya.
“Baiklah, setelah ini kita memiliki seorang junior yang akan menunjukkan kemampuan bermain gitar sekaligus menyanyinya! Bahkan katanya ia sendiri lah yang menulis lagu tersebut. Apa kalian penasaran?”
“Mari kita sambut, Park Chanyeol!”
Riuh tepuk tangan dari penonton memenuhi ruangan, bahkan ketika Chanyeol menaiki panggung para gadis meneriaki namanya. Dengan santai, Chanyeol duduk di kursi yang sudah disediakan di tengah panggung, mendekatkan bibirnya pada mikrofon dan membiarkan keadaan ruangan menjadi tenang terlebih dahulu sebelum ia mulai mengalunkan petikan gitarnya.
Ia pun bernyanyi.
Dengan gitar tuaku
Pengakuan yang tidak pernah kunyatakan
Berpura-pura membuat satu lagu, tentang suatu pernyataan
Cukup dengarkan, aku akan bernyanyi untukmu
Aku sangat mencintaimu tapi aku tak bisa melakukan apapun
Ini aneh karena harga diriku tak mengizinkan
Hari ini kukumpulkan keberanian dan memberitahukanmu, tapi
Dengarkan saja, aku akan bernyanyi untukmu
Semua orang terdiam. Beberapa gadis mengangkat ponsel mereka, berusaha mendapatkan angle terbaik untuk merekam ataupun sekedar mengambil gambar Chanyeol, sementara Taehyung adalah satu-satunya laki-laki yang melakukan hal itu.
Caramu menangis, caramu tersenyum
Tahukah kau betapa berharganya dirimu?
Kata-kata yang ingin kuucapkan, kata-kata yang aku lewatkan
Aku akan mengakuinya dan cukup dengarkan saja
Aku akan bernyanyi untukmu, menyanyi untukmu
Cukup dengarkan dan tersenyum
Selama tiga menit lewat lima puluh detik Chanyeol melantunkan lagunya, yang kemudian diakhiri dengan tepuk tangan meriah. Bukan hanya dari bangku penonton, namun dari arah belakang panggung juga memberi reaksi yang sama. Terutama untuk orang-orang yang tahu asal usul mengapa Chanyeol membawakan lagu tersebut—Taehyung dan Jungkook, mereka menepukkan tangan sekuat mungkin.
“Jungkook-ah,” ucap Taehyung pada Jungkook.
“Kenapa hyung?”
“Kau tahu? Aku benar-benar marah pada Baekhyun hyung karena ia tidak datang.”
***
Setelah turun dari panggung, Chanyeol langsung meletakkan gitarnya di tempat ia menunggu sebelumnya, tidak memperdulikan orang-orang di belakang panggung yang ingin memberikan ucapan selamat ataupun sekedar menggoda, ia langsung berlari keluar dari ruangan lewat pintu belakang. Ia sengaja memarkirkan mobilnya tidak jauh dari pintu belakang, hingga ia bisa mengefisienkan waktu untuk sampai di Pusat Kesenian meskipun dirinya belum bisa menggenggam satu kepastian dari Baekhyun.
Taehyung dan Jungkook berlari-larian masuk ke belakang panggung dengan Taehyung yang masih memegang ponsel milik Chanyeol di tangannya. Orang-orang di belakang panggung masih tampak sibuk sendiri, yang mengharuskan mereka bertanya pada salah satu orang di sana yang pasti tahu keberadaan Chanyeol, atau setidaknya, kemana dia pergi.
Laki-laki yang bertugas mengatur tirai itu mengatakan jika Chanyeol terlihat buru-buru dan keluar dari pintu belakang. Taehyung dan Jungkook saling berpandangan untuk beberapa saat, ada kalanya mereka merasakan rasa takut yang sama. Ketika mereka mencapai pintu belakang dan berlari menuju area parkir, rasa takut itu benar-benar menjadi nyata. Chanyeol sudah tidak ada di sana.
“Kau yakin tidak ada mobilnya di sini? Mungkin ia menggunakan mobil lain, hyung. Kita harus memeriksa semua mobil di sini satu per satu,” ujar Jungkook di antara rasa panik dan lelah.
“Tidak, aku sempat bertemu dengannya saat ia datang. Ia menggunakan mobil miliknya yang aku tahu betul model dan nomor platnya. Mobil itu benar-benar tidak ada di sini.”
“Mungkin dia memarkiran mobilnya di parkiran depan? Kita harus ke sana, hyung.” Jungkook berbalik arah, namun Taehyung menahannya.
“Sudahlah, yang penting dia sudah menepati janjinya,” ujar Taehyung.
BYUN BAEKHYUN
14 DESEMBER 2013
Malam
Layar ponselku gelap dan senyap, sama seperti keadaan kamarku saat ini. Aku berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang kuhiasi dengan aksesoris bintang-bintang yang akan menyala dalam gelap. Bintang-bintang ini hanya untuk dalam keadaan jika aku terlalu malas untuk keluar rumah dan melihat bintang di langit. Maka begitulah keadaanku saat ini.
Aku yakin jika Chanyeol akan menghubungi dan mengirim pesan berkali-kali padaku, maka dari itu aku mematikan ponsel. Dia akan dengan mudah menemuiku di kampus, maka dari itu aku absen kuliah untuk seharian ini. Dia akan mengunjungi rumahku, maka dari itu aku meminta ayah dan ibu untuk menolak siapapun yang datang untukku, dengan alibi aku sedang tidak berada di rumah.
Pementasan sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu, sesuai dari info yang kudapatkan dari Taehyung kemarin. Entah bagaimana bisa aku tidak tahu jika pementasan tersebut dilaksanakan hari ini, bahkan aku tidak menyadari jika papan iklan baru yang ada di depan kampus memuat tentang itu—yang pada awalnya bukanlah suatu masalah, jika saja Chanyeol tidak ikut bergabung di sana.
Hingga ketika aku merasa lelah sendiri, dan aku sadar jika tidak akan ada yang berubah jika aku seperti ini. Amarahku sedikit demi sedikit mulai surut dan aku bisa berpikir dengan akal sehat. Chanyeol mengatakan jika ia akan tetap menemuiku. Tepat sebelum aku mematikan ponsel, ia mengirimiku pesan suara dan aku sempat mendengarkannya. Ia berkata jika dirinya ingin aku datang ke pementasan, jikalau aku tidak bisa datang—karena lokasi acara tersebut lumayan jauh—maka ia menyuruhku untuk menunggu di pekarangan Pusat Kesenian Seoul saja pada jam 10 malam.
Aku bangkit dari ranjang dan menyalakan lampu kamar. Sekarang pukul 21:39. Cukup lama waktu yang kubutuhkan untuk memandangi jam dinding, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Kuambil jaket yang tergantung di belakang pintu, namun kemudian terlintas keinginan untuk mengurungkan niat, karena aku tidak mempersiapkan hal apapun untuk diberikan pada Chanyeol. Mungkin saja aku menunggunya di Pusat Kesenian dengan tangan kosong, tapi rasanya agak tidak menyenangkan saja.
Pukul 21:47. Aku semakin gelisah. Memutar-mutar otak tentang apa yang dapat aku berikan pada Chanyeol saat kami bertemu nanti. Namun aku menyerah. Kondisiku sangat tidak mendukung untuk berpikir lebih jauh.
Yah, aku akan memberikan diriku. Mungkin aku tidak bisa datang ke pementasan karena ini sudah cukup larut, namun setidaknya kehadiranku di Pusat Kesenian, menunggunya, dalam keadaan sudah memaafkannya, bisa dianggap sebagai hadiah. Aku akan mengajaknya melakukan hal-hal yang menyenangkan, apapun itu. Aku akan terjaga dengannya sepanjang malam dan bolos kuliah keesokan harinya. Ya, ya, itulah yang akan kuberikan padanya. Aku meraih jaket dan topi kupluk merah—hadiah dari Chanyeol—kesayanganku dan memakainya selagi aku bergegas keluar dari kamar.
Sebenarnya jarak dari rumahku ke Pusat Kesenian Seoul tidak terlalu jauh, aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki namun kurasa tidak ada waktu yang dapat disia-siakan lagi. Aku ingin diriku yang menunggunya di sana, bukan dia yang menungguku. Maka aku memberhentikan taksi, dan berdoa di sepanjang perjalanan agar semuanya dapat berjalan baik-baik saja. Aku harus memperbaiki semua hal yang telah rusak, bukan malah membiarkan hal-hal tersebut pergi begitu saja.
Sesampainya di sana, aku berkeliling di seluruh area pekarangan, dengan harap semoga Chanyeol belum sampai. Dan syukurlah dia memang belum sampai. Hanya ada aku dan beberapa orang di sini, tidak ada tanda-tanda kehadiran Chanyeol. Aku mengambil posisi duduk di tangga, berusaha menahan diri dari dinginnya angin malam. Seoul baru saja diguyur hujan, tidak mengherankan jika udaranya terasa lebih jahat.
Kulirik jam di tangan, sudah pukul 22:42.
22:56
23:10
23:55
Tubuhku terasa beku. Aku mendekap tubuhku sendiri meskipun rasanya tidak memberikan kehangatan apapun. Tidak ada orang lain lagi di sini, hanya ada aku, tanpa Chanyeol. Lima menit lagi maka jam akan menunjukkan pukul 24:00 bahkan aku merasa tidak sanggup bertahan lagi untuk lima menit tersebut. Seharusnya aku marah. Marah karena Chanyeol kembali tidak menepati janjinya. Tapi aku sadar, tidak selamanya seseorang yang marah berada dalam posisi sebagai orang yang benar. Aku egois. Maka aku marah pada diriku sendiri. Kemudian rasa marah itu bercampur dengan putus asa. Aku menyerah.
“Kenapa lama sekali..”
“Sampai kapan aku harus menunggu?”
“Maaf, maaf Chanyeol-ah.”
“Aku... aku putus asa.”
Seperti tidak bisa merasakan kakiku lagi, bahkan untuk bangkit dari posisi dudukku sebelumnya rasanya begitu sulit. Udara malam semakin dingin dan jaket tebal di tubuhku hanya terasa seperti lembaran tisu.
“Maafkan aku, Chanyeol-ah. Aku harus pergi.”
Aku tidak tahu mengapa aku harus mengutarakan kalimat itu. Hanya saja rasanya lebih tenang jika aku mengucapkannya lewat mulut ketimbang kusimpan di dalam hati. Aku melangkahkan kaki perlahan, pergi, menjauh dari asa, menjauh dari kepercayaan diri. Namun entah mengapa, aku merasa jika Chanyeol ada di sana. Kerap kali aku menoleh kebelakang hanya untuk melihat area kosong tersebut, yang masih tetap kosong hingga aku keluar menuju jalanan.
***
Aku tidak tahu apakah masih ada taksi yang akan lewat pada saat ini, namun aku tidak berniat untuk mencari tahu. Segera aku berjalan kaki menyusuri trotoar dalam keheningan, hanya ada beberapa kendaraan dan pejalan kaki yang lewat sesekali. Benar-benar hening, membuatku semakin merasa gila sendiri. Aku bingung dengan apa yang terjadi pada diriku, dan aku bingung apa yang sedang terjadi pada Chanyeol.
Oh, ya, sedari tadi aku terlalu sibuk memikirkan tentang diriku sendiri hingga tidak terpikirkan di kepalaku apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Chanyeol sekarang. Sejalan dengan pertanyaan itu memasuki kepalaku, pikiran-pikiran yang tidak pernah kupikirkan pun kemudian muncul, memproyeksikan bayangan-bayangan bagaimana Chanyeol sedang bersenang-senang di pementasan itu, bersama orang lain, melupakanku.
Akhirnya aku kembali di rumah. Perjalanan tadi tidak memakan waktu yang lama namun rasanya sudah terlalu banyak yang aku lalui. Aku merasa beban di pundak yang kubawa sejak dari Pusat Kesenian Seoul tadi terus bertambah dan bertambah. Dengan lunglai aku memasuki kamar, bersatu dengan ranjang, masih dengan jaket dan topi kupluk. Inginku memejamkan mata dan tidur agar malam ini cepat berakhir, namun aku tidak bisa. Terlintas dipikiranku mungkin dengan membuka sosial media akan membuatku sedikit terhibur, dan pada saat itulah aku teringat jika aku belum menghidupkan ponselku, padahal aku membawanya di saku celana sejak tadi. Aku pun mengeluarkan dan menyalakannya, tidak butuh waktu lama setelah benda tersebut menyala, notifikasi-notifikasi pun bermunculan. Yang paling mendominasi adalah pesan kakaotalk milik Chanyeol pada pertamanya, kemudian pesan-pesan tersebut tidak lagi muncul, digantikan dengan pesan-pesan dari teman-teman yang lain.
Tubuhku tersentak dari ranjang dan aku berdiri, membaca semua pesan-pesan tersebut. Tanganku bergetar hingga tidak kusadari jika ponselku telah terjatuh ke lantai, diikuti dengan tubuhku yang limbung tersungkur ke bawah. Rasanya seperti ada badai hebat di dalam tubuhku, dan aku tidak mampu menahannya. Seiring dengan semua rasa itu, ponselku berbunyi yang menandakan ada sebuah panggilan masuk. Mataku hampir buta oleh air mata, tapi aku bisa membaca tulisan di layar ponsel jika yang menelepon adalah Taehyung. Aku menekan tombol jawab.
“Baekhyun hyung! Ya Tuhan, syukurlah akhirnya kau mengaktifkan ponselmu!”
14 DESEMBER 2013
Malam
Baekhyun berlari menyusuri tepian jalan, namun tanpa jaket dan kupluk merah yang ia gunakan saat keluar sebelumnya. Tangan kanannya masih memegang ponsel, napas dan isak tangisnya beriringan dengan langkah kakinya yang gontai namun begitu cepat. Ia menembus dinginnya udara malam sendirian, melewati jalanan yang sama, dan menuju tempat yang sama.
Pekarangan Pusat Kesenian Seoul masih berada dalam keadaan seperti ia meninggalkannya satu jam yang lalu. Sepi, tidak ada satupun orang di sana. Kini langkahnya memelan, memasuki area tersebut dengan kepala tertunduk, menangis hebat, wajahnya berbanjiran air mata, tidak ada perkataan apapun yang terucap selain suara dari langkah kakinya dan isakan yang menjadi-jadi. Baekhyun duduk di tangga itu, tangga yang sama, mendekap tubuhnya seperti sebelumnya, namun ia tidak hanya menunggu, ia menangis, ia menyesal, tenggorokannya seolah penuh oleh isakan.
Sekitar lima belas menit sudah berlalu. Namun Baekhyun masih berada di sana, memeluk lututnya dengan wajah memerah dan tubuh kaku. Isakan itu masih terdengar, menjadi satu-satunya suara di area tersebut. Kemudian, Baekhyun tidak menjadi satu-satunya populasi manusia di sana, ketika dua orang laki-laki masuk ke area itu dan menghampiri Baekhyun. Salah satu laki-laki itu segera memeluknya, membiarkan Baekhyun menenggelamkan wajahnya pada pelukannya dan kembali menangis.
“Taehyung-ah,” lirih Baekhyun di sela tangisannya.
Taehyung mencoba menahan tangis, begitu pula dengan Jungkook yang saat itu ikut duduk di sebelah Baekhyun dan menepuk pundaknya.
“Saat ia selesai tampil, kami mencoba untuk menemuinya tapi kami terlambat, dia sudah pergi. Maafkan kami, hyung,” ucap Jungkook.
Tak lama setelah itu, beberapa orang-orang—yang merupakan mahasiswa dari kampus yang sama dengan Baekhyun, Taehyung, dan Jungkook—sedikit demi sedikit mulai memenuhi area pekarangan Pusat Kesenian.
PARK CHANYEOL
14 DESEMBER 2013
Malam
Aku melihat itu. Aku melihat semuanya. Mereka mulai mengerumuni Baekhyun dan mencoba berbicara dengannya, mungkin untuk menunjukan rasa simpati. Kini aku duduk di sebelahnya, namun ia tidak menyandarkan kepalanya pada bahuku, padahal ia sedang menangis. Ia tidak memelukku dan menangis di dadaku, padahal sejak ia berlari-larian masuk ke tempat ini sambil menangis, aku membuka pelukanku untuknya berkali-kali. Ia tidak mau menerima jaketku yang kutawarkan untuknya padahal ia kedinginan. Ia tidak mendengarkanku, kenapa? Padahal dia mendengarkan seluruh cerita dari Taehyung dan Jungkook tentangku. Kenapa, Baekhyun-ah?
Aku tidak tahu sekarang sudah pukul berapa, tapi orang-orang mulai berbubaran, begitu pula dengan Baekhyun yang dibantu berdiri oleh Taehyung dan Jungkook. Ia berdiri, tapi aku tetap duduk. Terus kupandangi dirinya yang mulai menuruni tangga satu per satu dengan limbung, namun, tepat sebelum ia menginjak tangga terakhir, ia mengucapkan sesuatu dengan keras dan lirih.
“Chanyeol-ah, aku tahu kau pasti ada di sini karena kau ingin menepati janjimu, kan? Jadi, maafkan aku, aku mohon maafkan aku.”
“Aku mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu dan akulah yang salah, bukan dirimu.”
“Aku yang salah, Chanyeol-ah. Jadi aku minta maaf demi apapun yang ada di dunia ini, aku minta maaf. Kau tidak perlu melakukan apapun lagi, pergilah dengan tenang.”
“Dan, kau harus pergi. Jangan menunggu di sini sampai pagi seperti ucapanmu pada Taehyung saat di belakang panggung. Kau harus pergi, aku mencintaimu.”
Kini aku mengerti. Semuanya telah jelas. Aku berdiri dari tangga dan menuruni tangga-tangga tersebut hingga kini aku berdiri sejajar dengan Baekhyun. Aku menoleh padanya.
“Terimakasih, sayangku. Aku juga mencintaimu.”
BYUN BAEKHYUN
31 DESEMBER 2013
Dini hari
Caramu menangis, caramu tersenyum
Tahukah kau betapa berharganya dirimu?
Kata-kata yang ingin kuucapkan, kata-kata yang aku lewatkan
Aku akan mengakuinya dan cukup dengarkan saja
Aku akan bernyanyi untukmu, menyanyi untukmu
Cukup dengarkan dan tersenyum
“Ya. Aku mendengarkannya. Dan aku tersenyum. Aku selalu tersenyum setiap mendengarkan lagumu, Chanyeol-ah,” kataku.
Kuatur volume earphone sebesar mungkin, hingga tidak ada celah bagi suara apapun untuk masuk ke telingaku selain suara berat Chanyeol dan alunan gitarnya. Sejujurnya, penyesalanku tak berujung mengingat aku tidak pernah mendengarkan lagu ini secara langsung, namun aku tahu waktu berjalan, semua orang datang dan pergi, dan semua orang bisa bangkit, sefatal apapun mereka terjatuh.
Bisa kurasakan kehadiran seseorang, dan saat aku menoleh, kudapatkan Taehyung sudah berdiri di dekatku. Aku pun melepas earphone.
“Hyung, sebentar lagi sudah mau jam dua belas. Kau tidak akan melewatkannya, kan?” tanya Taehyung.
“Ah, ya, tentu saja.” Aku melepas kabel earphone dari ponsel dan berjalan keluar dari kamar bersama Taehyung. Kami menaiki tangga menuju atap hotel dan di sana Jungkook sudah menunggu bersama Yifan hyung.
“Kupikir kau akan melewatkan puncaknya,” sapa Yifan hyung saat aku menghampiri.
“Tidak, aku hanya ingin beristirahat sebentar sebelum pesta yang sebenarnya dimulai,” jawabku.
Hotel ini menyelenggarakan pesta menyambut tahun baru, jadi kami memesan satu kamar—setidaknya kami tidak perlu jauh-jauh pulang kerumah setelah pesta—untuk tidur satu malam saja. Tiga menit lagi sebelum tahun berganti, orang-orang di sekitarku sudah mulai menghitung waktu.
Chanyeol-ah, tahun akan berganti, mungkin semuanya akan berbeda di tahun yang selanjutnya, entah apapun itu, aku akan baik-baik saja.
Aku akan baik-baik saja. Aku sudah melihat rekamanmu saat tampil di pementasan, kau sangat hebat. Aku mendengarkan lagu itu setiap harinya dan tidak pernah bosan. Dimanapun kau berada, aku harap kau bisa tahu jika aku baik-baik saja.
Chanyeol-ah, terimakasih karena sudah berjuang untukku.
“Tiga, dua, satu!”
Kembang api terbesar pun dinyalakan. Semuanya tumpah ruah; manusia, teriakan, kebahagiaan, haru, duka, suka cita begitu terasa selagi kami saling berpelukan dan kemudian mereka bertiga—Taehyung, Jungkook, dan Yifan hyung—memelukku.
“Aku tahu kau kuat,” ucap Yifan hyung.
Aku tersenyum.
Kekasihku meninggal dalam kecelakaan saat melaju menuju tempat dia berjanji untuk bertemu. Kekasihku meninggal saat aku sedang menunggunya dan aku tidak tahu. Kini aku kuat. Aku baik-baik saja. Meskipun tidak ada manusia yang akan benar-benar baik-baik saja dari sisi manapun.
Aku menoleh ke arah barat, dan dia di sana. Di antara kerumunan orang-orang yang bersuka cita dalam tawa, dia berdiri di sana, menoleh padaku dengan senyuman atraktifnya. Mata kami bertemu, entah dalam konteks yang nyata atau hanya sekedar bayang-bayang, tapi aku membalas senyumannya.
Kemudian dia memutar arah, pergi, berjalan di antara kerumunan itu dan menghilang begitu saja. Aku mengambil ponselku dan membuka aplikasi kakaotalk, membuka chatku dengan Chanyeol dan mengirimkannya pesan—secara satu pihak—untuk yang kesekian kali.
Byun Baekhyun
Selamat tahun baru, untuk kekasih terhebat sepanjang masa.
Byun Baekhyun
Park Chanyeol..
Byun Baekhyun
Aku selalu mencintaimu.
~~~END~~~
Author : @oohseehun
Main Cast : Park Chanyeol, Byun Baekhyun
Othe Cast : Wu Yi Fan, Kim Taehyung, Jeon Jungkook
Genre : Bromance
Rating : G
Length : Oneshoot
Disclaimer : Was written for @HiDesignRP’s event
PARK CHANYEOL
14 Desember 2013
Malam
Aku menyusuri jalan setapak itu dengan langkah perlahan namun sedikit dipercepat, mencoba menghindari rintik-rintikan hujan yang mungkin saja akan menjadi lebih deras jika terlalu banyak waktu yang kuhabiskan hanya untuk perjalanan ini. Jalanan serta dinding-dinding rumah penduduk lembab, didukung dengan udara malam yang seolah sangat berjaya pada malam ini. Di sepanjang perjalanan, orang-orang terlihat kedinginan dan mereka bersikap seolah ingin sampai ke rumah saat itu juga dan mengutuk dinginnya malam ini. Tapi tidak untukku. Aku malah menikmatinya. Bertahun-tahun tinggal di Korea dan aku tahu bagaimana tidak bersahabatnya udara malam di bulan Desember. Aku tahu seharusnya saat ini aku bertingkah seperti orang-orang kebanyakan—berjalan cepat, kedinginan—namun, tidak. Aku bahkan tidak merasa kedinginan. Aku menikmati langkah demi langkah yang kuciptakan melewati gang-gang kecil di sudut kota Seoul, menghindari genangan-genangan air, membayangkan apa yang akan terjadi ketika aku sampai di tempat tujuanku nanti.
Aku memasuki area Pusat Kesenian Seoul, mengedarkan pandangan ke sekeliling selagi berjalan perlahan melintasi pekarangannya. Bukan sedang melihat-lihat, aku sedang mencari seseorang—yang mungkin saja sudah menungguku saat ini.
Tidak banyak orang yang akan memilih pekarangan Pusat Kesenian Seoul sebagai destinasi untuk bersantai atau sekedar bertemu di malam hari. Mungkin mereka lebih memilih tepian Sungai Han, Lotte World, Sungai Cheonggyecheon, atau hanya makan ramyun di kedai. Alasan inilah yang membuat aku lebih menyukai tempat ini pada malam hari, karena kesepiannya. Dan kau juga tidak akan kesulitan untuk menemukan orang yang kau cari di sini. Karena aku baru saja mendapatkan seseorang itu—yang sedang duduk di tangga, menggunakan jaket tebal dan kupluk merah kesayangannya. Aku menghampirinya dengan setengah berlari. Tubuhku bergetar dan rasanya menjadi panas. Ia sedang duduk dengan posisi mendekap tubuhnya sendiri, matanya hanya tertuju lurus ke depan bahkan ketika aku sudah berdiri hanya beberapa sentimeter darinya. Aku bisa mendengar jika ia mengucapkan sesuatu dengan setengah berbisik.
“Kenapa lama sekali..”
“Sampai kapan aku harus menunggu?”
“Maaf, maaf Chanyeol-ah.”
“Aku... aku putus asa.”
Aku masih berdiri di posisi sebelumnya, membisu, tubuhku kaku seolah beku oleh kedinginan namun yang kurasakan hanyalah rasa panas yang naik dari perut hingga ke dada.
“Maafkan aku, Chanyeol-ah.”
“Aku harus pergi.”
Kemudian ia bangkit dari posisi duduknya dan ia pergi, yah, dia pergi. Tubuh mungil di balik jaket tebal itu seolah tak bisa kucapai meskipun dalam jarak terdekat. Bahkan sekarang ia menjauh, dan semakin menjauh, hingga tubuh itu hilang dari pandanganku. Aku bahkan tidak melakukan apa-apa, dan tidak ada satu kata pun yang meluncur dari mulutku. Namun aku merasa lelah, aku merasa seperti baru saja berlari mengelilingi Seoul dan tulangku remuk.
Baekhyun-ah, kenapa kau harus meminta maaf?
Semua ini adalah kesalahanku.
Tapi aku mohon jangan acuhkan aku.
Aku merindukanmu.
Kini rasa panas itu terus naik menuju bagian kepala. Telingaku panas dan pandanganku buyar oleh air mata.
BYUN BAEKHYUN
15 November 2013
Pagi
Buk!
Aku menjatuhkan tas punggungku ke atas meja kantin, tepat di depan wajah Taehyung hingga laki-laki itu melonjak dan hampir saja melempar buku yang tengah dibacanya.
“Apa-apaan hyung! Kau bisa membuatku terkena serangan jantung mendadak.” Ia beram.
Aku terkekeh. “Maaf, habisnya aku sedang bingung.”
“Aku tidak peduli,” jawabnya.
“Taehyung-ah, kau harus membantuku.”
“Tidak.”
“Taehyung-ah...” pintaku dengan nada lebih memelas. Yang kemudian dapat membuatnya luluh juga.
“Aish, baik, baik! Apa yang kau butuhkan?”
“Aku hanya butuh saran,” jawabku.
“Saran untuk apa?”
“Untuk musim dingin ini. Apa yang sekiranya dapat kuberikan untuk Chanyeol di musim dingin ini?”
Wajah Taehyung yang pada awalnya menunjukkan ekspresi jengkel, kini berubah menjadi datar. Terkadang aku heran bagaimana caranya membuat laki-laki itu menjadi tertarik dengan pembicaraanku. Sepertinya definisi ‘menarik’ bagi Taehyung seluruhnya hanya ada pada Jungkook—juniorku di kelas menyanyi—yang sampai saat ini masih menjalin hubungan spesial dengan Taehyung. Terkadang aku menyesal sudah mempertemukan kedua insan itu.
“Hei, aku tahu kau tidak tertarik dengan pembicaraan ini, tapi setidaknya kau menghargai aku sebagai orang meminta bantuan padamu,” kataku.
Ia menghela napas, “bukannya tidak tertarik, hyung, tapi pertanyaanmu itu sungguh tidak penting. Ada baiknya jika kau yang memiliki inisiatif sendiri.”
Aku mengernyit. “Astaga, aku hanya ingin mempersiapkan sesuatu dengan lebih matang. Asal kau tahu saja, di musim dingin tahun lalu aku hanya bisa memberikan Chanyeol sebuah ramyun karena daging panggang yang kubuatkan untuknya gosong total. Jadi, kami melakukan candle light dinner dengan ramyun dan wine. Kau bisa bayangkan itu? Lilin merah romantis, wine, dan ramyun? Itu adalah perpaduan terkacau yang pernah aku lihat seumur hidup. Aku tidak ingin kejadian seperti itu terulang lagi.”
Taehyung hanya tertawa mendengarnya. Kemudian ia terlihat seperti tengah mencoba berpikir, bola matanya berputar ke segala arah, tangan kirinya memegang buku sementara tangan kanannya bebas di atas meja dengan jari telunjuk yang diketuk-ketukkan secara teratur—ia mungkin akan memberiku saran setelah ini. Maka aku menunggu. Menciptakan ruang kosong di antara kami.
“Berikan dia kado saja. Kau tahu kan, topi, jaket, atau mungkin kacamata.” Akhirnya Taehyung buka suara.
“Aku tahu, tapi ini adalah kado untuk musim dingin, bukan kado ulang tahun. Aku ingin memberikan sesuatu yang tidak sama seperti kado-kado ulang tahun. Apalagi untuk topi, jaket, dan kacamata, kalian sudah pernah memberikan barang-barang itu di ulang tahunnya kan.”
Taehyung kembali memutar bola matanya, namun kali ini dengan sedikit mendesah. Akhirnya kami sama-sama meletakkan kepala di meja untuk berpikir hingga sebuah kaki dengan sepatu Jordan putih mendarat di atas meja; tepat di tengah-tengah wajahku dan wajah Taehyung yang saat itu sedang saling berhadapan. Sepatu Jordan putih yang sangat-sangat aku kenali.
“Astaga, hyung. Bisakah kau menyapa kami dengan cara yang jauh lebih normal?” ucap Taehyung yang kembali jengkel. Mungkin bisa dibilang kali ini kejengkelannya menjadi dua kali lipat daripada sebelumnya.
Chanyeol tergelak seolah senang dengan kejengkelan Taehyung sementara ada Yifan hyung di belakangnya yang melambaikan tangan pada kami—dengan normal. Syukurlah kali ini Yifan hyung bersikap wajar. Jika ia juga memperlihatkan sikap ‘tidak biasa’nya, maka rasanya aku ingin kembali ke rahim ibuku saja.
“Syukurlah ada Yifan hyung. Aku tidak bisa membayangkan jika aku harus terjebak dengan mereka berdua,” ucap Taehyung seraya melirik ke arahku dan Chanyeol. Yifan hyung mengambil posisi duduk di sebelah Taehyung sementara Chanyeol di sebelahku.
“Kau selalu memanfaatkan kakimu yang panjang, huh?” kataku pada Chanyeol, membahas kembali tentang dirinya yang mendaratkan kaki di atas meja tadi. Chanyeol hanya mengangguk sambil tersenyum dengan sangat lebar, menatapku dengan matanya yang atraktif seperti seorang anak kecil.
Sangat tidak biasa melihat Yifan hyung bergabung dengan kami seperti ini, biasanya ia lebih sering di ruang menyanyi atau bergabung dengan teman-teman seangkatannya—sesama senior—yang biasanya berkumpul di aula. Dan, ada dua kemungkinan mengapa ia bisa berada di sini. Pertama, ia ingin membicarakan sesuatu yang penting. Dan yang kedua, ia sedang mencari Jungkook. Sudah tidak terhitung berapa kali Yifan hyung mencari-cari Jungkook di kampus karena anak itu sering menyembunyikan barang-barang milik Yifan hyung mulai dari sepatu, tas, hingga seragam; saat itu Yifan hyung tengah berganti baju di ruang ganti dan Jungkook mengambil seragam miliknya yang sedang digantung lalu menyembunyikannya.
“Ngomong-ngomong, tumben kau ada di sini? Apa kau sedang mencari Jungkook?” tanya Taehyung pada Yifan hyung, seolah-olah sedang mengucapkan apa yang tengah aku pikirkan.
“Tidak, kali ini Jungkook tidak melakukan apapun,” ia tertawa kecil. “Aku kesini karena ada hal penting yang harus kubicarakan dengan kalian.”
Baiklah, coret kemungkinan kedua tentang mencari Jungkook. Ternyata kemungkinan pertama-lah yang lebih akurat.
Tanpa menunggu reaksi dari kami, Yifan hyung langsung melanjutkan omongannya. “Kalian tahu kan, sebentar lagi angkatanku akan menyelesaikan masa kuliah, jadi kami akan membuat acara pementasan.”
“Drama musikal?” sela Chanyeol.
“Ya, semacam itu. Tapi tidak hanya drama, melainkan pementasan musik. Pasti kalian tahu kan, mengapa aku menganggap hal ini sebagai hal penting yang harus kuberitahukan pada kalian?”
“Kau ingin kami ikut serta dalam pementasan itu,” jawab Taehyung, yang langsung diiyakan dengan semangat oleh Yifan hyung.
“Memangnya kapan acara itu digelar, hyung?” tanya Chanyeol. Aku meliriknya lewat ujung mata, dapat kusaksikan jika terlihat ada sedikit keantusiasan dalam wajahnya. Mungkinkah dia tertarik? Tapi selama ini Chanyeol tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada panggung teater, dia hanya suka bermain musik. Oh, ya, drama musikal, pementasan musik. Aku mengerti.
“Rencananya acaranya akan digelar pada malam natal, tapi belum bisa dipastikan juga. Mungkin akan ada sedikit perubahan pada tanggalnya, tapi untuk bulannya sudah pasti bulan Desember,” jelas Yifan hyung.
Sudah pasti bulan Desember. Aku kembali melirik ke arah Chanyeol untuk memastikan ekspresi macam apa yang akan ia berikan, mungkinkah ia benar-benar tertarik dengan pementasan itu atau hanya sekedar bertanya? Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala selagi Yifan hyung menjelaskan tentang pementasan, mengulum bibir bawahnya dengan mata yang menatap Yifan hyung serius. Aish, aku sangat buruk dalam menilai ekspresi seseorang. Aku tidak tahu wajah itu mewakilkan pemikiran macam apa, ia hanya menjadi Chanyeol yang seperti biasa.
Aku tidak mempermasalahkan jika ia tertarik untuk bergabung, tapi, acara itu sudah pasti akan digelar pada bulan Desember. Aku merasa berat untuk menerimanya. Apalagi dengan tanggal yang belum bisa dipastikan. Aku tahu jika acara seperti itu akan menyita banyak waktu, dan aku akan dengan senang hati jika Chanyeol mendedikasikan waktu-waktu tertentu untuk kegiatan yang lain. Tapi aku tidak akan pernah rela jika ia harus memberikan bulan Desembernya untuk hal lain. Bulan Desember milik Chanyeol hanya untukku.
***
15 November 2013
Malam
Aku membanting pintu kamar dengan keras, melempar tas ke sembarang tempat, kemudian menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Jam kuliah hari ini tidak terlalu padat namun berhasil membuat otakku tegang dan tubuhku terasa seperti mayat hidup.
Sensasi yang sangat luar biasa ketika tulang punggungku bersatu dengan ranjang yang empuk dan aku memejamkan mata. Aku tidak pernah merasa selelah ini. Hingga ketika aku hampir saja mencapai alam bawah sadar, aku bisa mendengar ponselku mengeluarkan bunyi yang berhasil membuatku tersadar sepenuhnya. Bunyi pesan kakaotalk.
Park Chanyeol
Baekhyun-aah^ㅂ^
Dengan segera aku mengetikkan balasan untuk pesan tersebut.
Byun Baekhyun
Hei...
Byun Baekhyun
Kuliah hari ini sangat melelahkanㅠㅠ
Park Chanyeol
ㅋㅋ
Park Chanyeol
Sedang apa?
Byun Baekhyun
Berbaring..
Byun Baekhyun
Hei, aku ingin menanyakan sesuatu.
Park Chanyeol
Tanyakan saja
Byun Baekhyun
Apa kau akan bergabung dalam pementasan?
Park Chanyeol
Hmm
Park Chanyeol
Aku belum yakin. Kenapa?
Byun Baekhyun
Tidak apa-apa...
Byun Baekhyun
Hanya ingin mengingatkanmu saja kalau acara itu pada bulan Desember.
Park Chanyeol
ㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋ
Park Chanyeol
Empat belas Desember kali ini di Pusat Kesenian Seoul, oke?
Byun Baekhyun
Kenapa harus di sana? Bukankah ada tempat lain yang lebih romantis?ㅠㅠ
Park Chanyeol
Jangan protesㅋㅋㅋ
Park Chanyeol
Pergilah tidur!
Park Chanyeol
Aku tahu kau lelah.
Byun Baekhyun
ㅠㅠ
Byun Baekhyun
Aku mencintaimu!
Byun Baekhyun
Selamat malam~~~♡
Park Chanyeol
Aku juga mencintaimu!
Park Chanyeol
Selamat malam nyonya Park♡
***
1 Desember 2013
Siang
Aku tengah berbaring di paha Taehyung dengan earphone terpasang di kedua telinga ketika Chanyeol masuk ke dalam ruang musik—sejujurnya aku tidak menyadari kedatangannya karena volume earphone yang kupasang cukup keras. Satu-satunya yang membuatku sadar akan kehadiran laki-laki tinggi itu hanyalah ketika ia menaruh tangannya di bawah leher dan kakiku lalu mengangkat tubuhku dengan gaya bridal. Mengingat tubuhku yang jauh lebih mungil darinya, tentu saja itu bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Aku melepas earphone dan memintanya untuk menurunkan tubuhku, ia menurut.
“Kenapa tiba-tiba langsung menggendong seperti itu? Baru mendapat ide untuk melakukan sesuatu yang romantis?” tanyaku pada Chanyeol dengan sedikit menggodanya.
“Tidak. Aku hanya tidak suka melihatmu berbaring di paha orang lain,” jawabnya. Taehyung terkekeh diikuti dengan Jungkook yang sedari tadi berada di sebelahnya, yah, Jungkook bersama kami juga.
“Ngomong-ngomong, apa yang kalian bertiga lakukan di sini? Threesome?” tanya Chanyeol lagi, yang kemudian kujawab pertanyaannya dengan melempar blazer milikku ke arahnya.
Pada akhirnya hanya kami berempat lah yang mengisi ruang musik tersebut, berbincang-bincang tanpa arah pembicaraan yang jelas dan terkadang tawa riuh mendominasi seisi ruangan. Menit demi menit berlalu tapi sepertinya belum ada tanda-tanda dari mereka untuk menyudahi pertemuan tanpa tujuan ini, sementara aku sudah sedikit mengantuk dan ingin pulang—setelah ini tidak ada kelas lagi. Aku tengah mendengarkan musik lewat earphone selagi Chanyeol, Taehyung, dan Jungkook bermain kartu. Hingga tidak kusangka aku hampir saja terlelap, kepalaku terjatuh tepat pada pundak Chanyeol yang membuat laki-laki itu menyadari ketidakmampuanku untuk menahan rasa kantuk. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya setelah itu, yang dapat kuingat hanyalah ketika ia mencoba mengangkat tubuhku untuk berdiri. Mungkin aku sudah terlihat seperti orang mabuk, aku tidak ingin ada staff pengajar yang melihatku dalam keadaan seperti ini atau dia akan berspekulasi jika aku berada dalam pengaruh alkohol.
“Aish, tidur jam berapa kau tadi malam?” Chanyeol mendekatkan wajahnya pada wajahku, mungkin hanya menyisakan tiga sentimeter ruang kosong di antara hidung kami.
“Banyak...banyak tugas,” jawabku dalam keadaan setengah sadar.
“Bukankah sudah kubilang untuk tidak mengerjakan tugas saat telah dekat dengan deadline?” ia mengoceh, kemudian Jungkook menyela, “sudahlah hyung, sepertinya bidadari kecilmu sudah ingin pulang”.
Meskipun kesadaranku berada dalam titik terendah, aku dapat mendengar dengan jelas bagaimana Jungkook mengatakan, maksudku, mengejekku dengan kalimat “bidadari kecil” yang sungguh sangat sangat menjijikan. Aku membuka kelopak mata dengan lebar dan memandangi Jungkook nanar. Laki-laki itu mundur selangkah dan bersembunyi di balik tubuh Taehyung.
Seolah peka dengan keadaan, Chanyeol akhirnya menarik tanganku dan berpamitan dengan Taehyung dan Jungkook. Kami keluar dari ruang musik dengan aku yang berjalan seperti zombie.
“Apa kau tidak mau menggendongku?” ucapku malas.
“Bukan begitu. Aku tidak mungkin melakukan itu di sini.”
“Kau tidak perlu tempat-tempat tertentu untuk menggendongku.”
“Tidak di sini, Baekhyun-ah. Ini masih lingkungan kampus.”
“Tapi aku membutuhkanmu setiap saat dan di manapun.” Aku memelas. Entah dia merasa luluh atau jengkel atau pasrah, dilepaskan genggaman tangannya dari tanganku hanya untuk berjongkok di hadapanku, memberikan punggungnya untuk aku naiki seperti biasanya jika aku mengantuk. Tanpa basa-basi aku naik ke punggung itu, memeluk lehernya dengan erat dan membiarkan tubuhnya mengangkat tubuhku, kemudian berjalan perlahan tanpa memperdulikan tatapan di sekitar. Aku tidak tahu Chanyeol membawa langkahnya kemana, mataku tertutup di sepanjang perjalanan, namun aku sadar sepenuhnya bahkan terasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Saat aku membuka mata, area parkiran mobil lah yang menyambut pandangan.
“Kau bisa membawaku ke terminal, mungkin masih ada bus yang akan singgah,” ucapku.
“Kau akan pulang bersamaku.”
“Bukankah kau ada kelas setelah ini?”
Ia menggumam, “tidak jika bidadari kecilku sedang dalam keadaan seperti ini.”
Aku mencubit pipinya pelan, diantara rasa malu dan jengkel karena sepertinya Chanyeol telah merasa nyaman dengan panggilan yang pada awalnya diberikan oleh Jungkook itu. Entahlah, aku tidak menyukainya. Aku tidak suka dipanggil kecil oleh orang-orang kecuali Chanyeol. Kecuali Chanyeol.
Ia membawaku masuk ke dalam mobil, memastikanku duduk dengan baik di kursi penumpang dan memasangkan sabuk pengaman padaku, kemudian menutup pintunya dan ia beralih ke kursi supir. Mesin dihidupkan dan mobil pun melaju keluar dari parkiran. Sebenarnya rasa kantukku sudah hilang, namun aku masih bersikap layaknya seorang bayi yang hanya bisa tidur dan makan. Tubuhku kusenderkan di pintu, sambil mendengarkan alunan suara radio yang tengah diputar oleh Chanyeol. Kami berdua memang lebih suka mendengarkan radio jika di mobil ketimbang memutar musik yang ada di music player milik Chanyeol.
Chanyeol terus berusaha mencari siaran radio terbaik, hingga kemudian tangannya berhenti di sebuah siaran yang biasa kami dengarkan. Saat itu seorang laki-laki tengah menyampaikan pesan untuk kekasihnya. Pesan lewat radio, hal yang manis, menurutku.
“Kuharap kau merindukanku seperti aku merindukanmu. Maka akan kunyanyikan sebuah lagu pengantar rasa rinduku.”
Pria itu kemudian bernyanyi. Suaranya standar, tidak ada yang spesial, tapi setidaknya cukup layak untuk didengar di sepanjang perjalanan. Di tengah nyanyian pria tersebut, aku memulai pembicaraan dengan Chanyeol, yang saat itu kusadari jika kami belum ada berbicara selama di mobil.
“Bukankah itu hal yang manis?” kataku seraya menoleh padanya yang sedang fokus menyetir.
“Mengirim pesan lewat radio? Kau sudah membicarakan tentang itu berkali-kali,” jawabnya.
“Bukan. Maksudku, menyanyi. Kau tidak pernah menyanyi untukku.”
“Aku? Menyanyi?.” Nada bicaranya terdengar tidak yakin.
“Iya, Chanyeol-ah. Kau. Menyanyi. Untukku.”
“Tapi aku bukan penyanyi yang baik.”
“Kau hanya akan menyanyi untukku, bukan untuk publik. Aku tidak akan menuntut suaramu harus sebagus Sung Si Kyung.”
“Hm, entahlah.” Ia berhenti sejenak, menggantungkan kalimatnya. Hanya membiarkan deru mesin mobil yang mendominasi suasana. “Aku tidak pernah percaya diri dalam menyanyi,” sambungnya.
Aku mencoba mendorong semangatnya. “Maka dari itu kau harus mencobanya.” Ia menoleh padaku sejenak, yang tidak kubalas dengan tolehan balik namun hanya sekedar melirik lewat ujung mata. Dapat kulihat jika ia sedang berpikir, maka aku memberinya waktu. Ketika ia sudah mendapatkan waktu itu, aku merasa ratusan kupu-kupu terbang keluar dari perutku.
“Aku akan menyanyi untukmu pada empat belas Desember tahun ini, Baekhyun-ah.”
***
11 DESEMBER 2013
Siang
“Sampai kapan kau mau melihat-lihat jaket itu? Jika aku adalah penjual yang memiliki pelanggan sepertimu, mungkin kau akan kutendang keluar dari toko,” omel Taehyung untuk yang kesekian kalinya. Namun aku tidak peduli, aku terus beralih dari rak satu ke rak lain untuk melihat berbagai macam jaket, pakaian, dan topi yang sekiranya pantas untuk kuberikan pada Chanyeol. Pada awalnya aku tidak ingin memberikan barang-barang seperti ini, tapi akhirnya aku menyerah, aku tidak baik dalam urusan hadiah.
“Hyung, ini sudah hampir satu jam dan kau hanya bolak-balik di tempat dan barang yang sama,” lanjut Taehyung.
“Aku belum bisa menentukan yang terbaik.”
“Kalau begitu ambil saja yang itu, bagus.” Taehyung menunjuk ke arah jaket yang tergantung di rak bagian sudut toko, namun aku menggeleng.
“Dia sudah punya yang seperti itu,” jawabku.
“Bagaimana dengan yang itu?” ia menunjuk skinny jeans yang tengah kupegang. Dan aku kembali menggeleng.
“Ini terlihat tidak nyaman.”
Taehyung menggeram, ia kemudian melangkah menjauh dari posisiku berada untuk duduk di salah satu bangku yang disediakan. Ini sudah yang kesekian kalinya ia kembali duduk di bangku tersebut setelah sebelumnya ia duduk-berdiri-duduk-berdiri. Ia terlihat gelisah seperti seorah ayah yang tengah menunggu kelahiran anak pertamanya di rumah sakit.
Aku menghampiri Taehyung dengan tangan kosong, duduk di sampingnya serta memandangi wajah lelahnya.
“Kau terlihat gelisah, ada apa?” tanyaku.
“Tidak apa-apa, hyung. Maaf. Hanya akhir-akhir ini aku sering ribut dengan Jungkook, maaf jika aku menjadi sedikit sensitif. Padahal biasanya aku bisa menghabiskan berjam-jam waktuku di mall ini bersamamu, tapi untuk sekarang rasanya aku sulit merasa tenang. Aku selalu memikirkannya.”
“Memangnya apa yang membuat kalian sering ribut?”
“Yah, aku tahu aku yang bodoh. Aku lebih sering bersenang-senang dengan yang lain sementara Jungkook terabaikan. Aku hanya ingin merasakan sesuatu yang baru, aku tahu jika itu menyakitkan bagi Jungkook tapi anehnya aku bisa tidak peduli akan hal itu. Hingga ketika dia marah, aku menyesal, sangat menyesal. Hal ini terjadi hampir berulang-ulang dan aku takut jika Jungkook mencapai puncak kesabarannya, aku takut dia lelah menghadapi tingkahku. Karena jika dia lelah, maka dia akan pergi. Aku takut dia pergi.”
Aku memukul pelan pundak Taehyung, “aku tahu, kau melakukan hal-hal menjengkelkan itu hanya karena kau ingin mendapatkan perhatian lebih darinya, kan? Tapi setidaknya kau harus berhenti melihat sebuah kejadian dari sisimu, cobalah melihat semuanya dari sisi Jungkook. Kau benar, ketika dia lelah maka dia akan pergi, itu bisa saja terjadi. Pertahankanlah hubungan kalian dengan baik. Jangan pernah melakukan hal yang bodoh meskipun godaan itu terus mengganggumu.”
“Aku pernah merasakan hal itu, aku pernah menyia-nyiakan Chanyeol dan saat itu dia pergi. Pada awalnya aku merasa lega karena semuanya berakhir, tapi ternyata tidak semua hal yang berakhir itu akan menjadi penghujung ceritanya, bisa jadi semuanya akan berlanjut menjadi cerita yang baru. Aku merindukan Chanyeol yang saat itu sudah meninggalkanku. Asal kau tahu saja, ketika kau merindukan seseorang yang sudah meninggalkanmu, rasanya seperti ingin mati,” lanjutku.
“Seburuk itukah, hyung?” tanya Taehyung.
“Ya. Bahkan aku tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Hatimu bergelora dan panas tapi tidak ada yang bisa kau lakukan. Rasa panas itu membakar tubuhmu sedikit demi sedikit. Jadi, jangan pernah sia-siakan seseorang itu. Jangan.”
Aku merangkul Taehyung kemudian ia mengangguk kecil dengan pandangan matanya yang lurus kedepan, terlihat seolah sedang menerawang sesuatu yang akan dilakukannya nanti. Untuk beberapa detik setelah itu kami hanya saling berdiam diri, hingga kemudian Taehyung bertanya tentang sesuatu yang menjadi alasan kami berada di sini.
“Hyung, apa kau sudah mendapatkan kado yang cocok?”
Aku melihat sekeliling, terutama ke tempat-tempat yang tadinya aku singgahi untuk melihat barang-barang yang sekiranya dapat kuberikan pada Chanyeol di malam spesial kami yang tinggal menghitung hari. Banyak barang yang menarik hatiku, tapi kurasa tidak cocok sebagai kadoku tahun ini.
Aku menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Taehyung. “Tidak ada. Tidak ada yang cocok.”
“Bagaimana jika kita mencari di mall lain?” Taehyung menawarkan, tapi aku menggelengkan kepala. Kukatakan padanya jika perburuan kado hari ini cukup sampai di sini saja. Setidaknya masih ada dua hari sebelum hari H, aku akan memikirkan hal lain untuk diberikan, yang pada kemudian kami pulang dengan mobilku dan aku mengantar Taehyung tepat di depan rumahnya. Namun sebelum lelaki itu keluar dari mobil, aku menahannya.
“Jangan lupa hubungi dia, perbaiki tingkahmu, dan perbaiki hubungan kalian,” kataku. Taehyung mengangguk dengan senyum terlebarnya, diikuti dengan jari jempol kanannya yang mengangkat tinggi ke atas selagi ia berjalan memasuki pekarangan rumahnya.
Aku kembali melaju, namun tidak menuju rumah, kubawa mobil sedanku berputar-putar mengelilingi pusat kota. Pergi dan kembali ke jalan yang sama. Setelah merasa cukup, aku berhenti dan memarkirkan mobil di parkiran umum, mengambil ponsel dan menekan panggilan cepat nomor 3. Namun panggilanku dialihkan ke pesan suara. Akhirnya aku hanya meninggalkan pesan.
“Selamat H-3, Chanyeol. Aku mencintaimu”
***
13 DESEMBER 2013
Pagi
Aku tidak bisa fokus sama sekali. Sedari tadi Taehyung mengajakku berbicara, aku hanya meresponnya dengan jawaban yang tidak ada hubungannya dengan pembicaraan hingga akhirnya laki-laki itu menyerah. Ia membawaku menuju kantin dan duduk di hadapanku, dengan tegang, dan serius.
“Ada apa denganmu, hyung? Kau seperti tidak menganggapku ada,” ungkap Taehyung.
Aku mengacak-acak rambut, lalu menangkupkan wajah dengan kedua telapak tangan yang diletakkan di atas meja kantin.
“Aku belum membeli apapun untuk Chanyeol, apa yang harus aku lakukan,” kataku.
“Astaga, hanya karena itu?”
Aku mendongakkan kepala untuk menatap Taehyung. “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku harus panik karena besok adalah hari dimana aku harus memberikannya sesuatu.”
“Kenapa harus memberikannya sesuatu?”
“Karena seperti itulah setiap tahunnya.”
“Maka kau harus lakukan yang berbeda untuk tahun ini, aish.”
Tunggu, sepertinya omongan Taehyung ada benarnya. Maksudku, lakukan yang berbeda. Jika pada tahun-tahun sebelumnya aku memberikan Chanyeol hadiah dalam bentuk barang, untuk tahun ini aku bisa memberikan sesuatu yang tidak berwujud, mungkin? Tapi, apa?
“Dia bilang dia akan menyanyi untukku besok,” kataku pelan.
“Benarkah? Nah, mungkin kau bisa membawanya ke suatu tempat yang belum pernah kalian kunjungi, tempat yang indah. Kemudian dia akan bernyanyi di sana.”
Aku benci untuk mengatakan ini, tapi omongan Taehyung benar-benar tidak bisa diremehkan begitu saja. Sepertinya itu adalah cara yang bagus. Dan sepertinya aku harus bergerak cepat karena semuanya hanya tinggal menghitung jam. Aku mengucapkan terimakasih tersingkat pada Taehyung seraya bangkit dari kursi, keluar dari kantin dan kampus dengan cepat. Syukurlah setelah ini tidak ada kelas lagi, setidaknya aku bisa mendedikasikan jam-jam terakhir ini untuk mempersiapkan persembahanku pada Chanyeol besok.
Aku menyusuri trotoar dengan cepat sambil berselancar di internet lewat ponsel pintar milikku, mencoba mencari inspirasi-inspirasi yang bertumpah ruah di sana. Namun pergerakan jempol tangan kananku di layar ponsel terhenti ketika ada sebuah panggilan yang masuk, menampilkan nama Chanyeol di sana sebagai penelepon. Aku mengangkatnya.
“Halo?”
“Baekhyun-ah...” jawabnya dengan suara yang begitu pelan.
“Kenapa?”
“Aku... Aku ingin memberitahumu sesuatu.”
Aku menahan napas untuk sejenak. Entah sesuatu yang baik atau malah sebaliknya yang akan diberitahukan Chanyeol padaku, tapi sekujur tubuhku rasanya bergetar hebat.
“Y-ya, kau bisa membicarakannya.”
“Baekhyun-ah, maaf, besok aku harus menghadiri pementasan. Aku—“
“Pementasan?” aku memotong omongannya.
“Pementasan angkatan Yifan hyung, kau ingat? Acaranya besok malam. Yifan hyung memintaku untuk mengisi acara di sana. Aku... aku tidak bisa menolaknya. Maafkan aku.”
Kini kakiku terasa lemas. Pohon-pohon yang ada di hadapanku seolah tumbang, dan bangunan-bangunan di sekitarku seperti roboh, menimpaku, membunuhku pada saat itu juga. Badai besar menghantam seisi tubuhku.
“Tapi aku janji, aku akan tetap bertemu denganmu besok malam, aku akan mengusahakannya sebaik mungkin. Dimana? Dimana kau mau kita bertemu? Oh ya, kau akan datang ke pementasannya, kan? Bagaimana jika kita bertemu di sana saja?”
Aku tidak mengeluarkan kalimat apapun. Hanya diam, mendengarkannya suaranya yang bergetar di telepon. Bahkan dari suaranya pun ia benar-benar seperti orang yang kebingungan. Orang yang kebingungan karena masalah yang dia buat sendiri.
“Baekhyun-ah?”
“Kau masih di sana, kan?”
Ya, aku masih di sini. Tapi rasanya tubuhku kosong, seisinya tertarik entah kemana.
Dan aku diam.
“Baekhyun-ah?”
Aku hanya diam.
“Sayang, kau di sana?”
Aku masih diam. Namun untuk kali ini kujauhkan ponsel dari telinga dan jari tanganku menutup panggilan tersebut. Aku tidak tahu yang sedang kulakukan dan aku tidak mengerti, tapi aku merasa sakit. Tubuhku terhempas begitu kuat dalam bayang-bayang, namun rasa sakit yang dirasa begitu nyata. Aku merasa jika langkahku yang sudah sampai di sini sia-sia. Aku berbalik dan memutar arah, bukan menuju sekolah, namun rumah. Aku ingin tidur.
Aku ingin tidur sampai besok lusa.
14 DESEMBER 2013
Malam
Semua orang terlihat sibuk sendiri dengan tugas masing-masing yang sudah diemban dan dipertanggungjawabkan. Mulai dari di pekarangan, di bangku penonton, di atas panggung, hingga ke bagian belakang panggung, semuanya ribut. Di salah satu kursi yang disediakan khusus untuk pengisi acara, Chanyeol duduk, memangku gitarnya dan memetik benda tersebut sesekali, menghasilkan suara sayup-sayup yang merdu dan bersatu padu dengan keriuhan dari kesibukan orang-orang di sekitar. Chanyeol memperhatikan sekelilingnya, menoleh ke kanan dan kiri seolah gelisah namun air mukanya sangat tenang. Ia masih memetik gitarnya pelan saat Taehyung datang menghampirinya.
“Bagaimana?” tanya Taehyung seraya menggeser salah satu kursi yang kosong dan ia duduk di hadapan Chanyeol.
Chanyeol hanya menggeleng, matanya tertuju pada gitar yang tengah dimainkannya.
“Kau sudah mengunjungi rumahnya?” tanya Taehyung lagi.
Kini Chanyeol mengangguk, namun anggukan tersebut memberi isyarat keputusasaan. Taehyung menghela napas dan bersandar di kursi yang ia duduki, memijat-mijat keningnya. Ia kembali bertanya, “apa menurutmu dia akan datang?”
Akhirnya Chanyeol buka suara. Ia mengangkat wajahnya dan menghentikan aktivitasnya memetik senar dengan matanya yang memandang ke arah lain. “Aku tidak yakin dia akan datang, dan aku tidak yakin dia membaca pesan suaraku. Tapi, aku akan memberikan penampilan yang terbaik, meskipun dia tidak melihatnya secara langsung.” Kemudian Chanyeol mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan memberikannya pada Taehyung, “jadi, aku minta tolong padamu, rekam aku selama aku tampil, untuk berjaga-jaga jika memang dia tidak datang.”
Taehyung mengambil ponsel milik Chanyeol. “Lalu, kau akan tetap ke Pusat Kesenian jika memang dia tidak datang?”
“Ya,” jawab Chanyeol mantap.
“Tapi kau bahkan belum tahu pasti, apakah dia sudah mendengar pesan suaramu atau belum.”
“Aku tidak perlu tahu apakah dia sudah mendengarnya atau belum. Yang penting aku menepati omonganku. Bahkan kalau bisa aku akan menunggunya di sana sampai pagi.”
Taehyung mengangguk mengiyakan, kemudian menepuk pundak Chanyeol dan pergi yang kini hanya menyisakan laki-laki itu bersama gitarnya lagi. Ia kembali memainkan alunan pelan pada gitarnya untuk beberapa menit, kemudian orang-orang di sana terlihat semakin sibuk dan seseorang yang sepertinya menjadi pemimpin mereka berteriak dari luar panggung.
“Acaranya akan segera dimulai!”
***
Taehyung duduk tepat di sebelah Jungkook, dengan memegang dua ponsel di tangannya. Ponsel di sebelah tangan kirinya menganggur sementara ia memainkan ponsel di tangan kanannya. Ia terus mengirim pesan untuk seseorang sembari melihat-lihat ke seluruh penjuru ruangan, dengan harap akan melihat sosok itu.
“Aku sudah lelah mengiriminya pesan, sepertinya dia tidak akan datang,” ucap Jungkook yang saat itu menangkap kegelisahan pada diri Taehyung.
“Ya, sepertinya begitu. Tapi aku kasihan dengan Chanyeol hyung. Padahal ia sudah berjanji akan memberikan nyanyiannya sebagai hadiah, bahkan lagu itu ia tulis sendiri. Kau bisa bayangkan betapa hancurnya ia di belakang sana.”
“Apa ia terlihat seperti seseorang yang begitu hancur?”
“Ya. Aku bisa melihat itu dari matanya. Ia tidak pernah terlihat sekosong itu. Kau tahu kan, Chanyeol hyung adalah laki-laki yang penuh dengan kebahagiaan. Dan saat aku menemuinya tadi, semua kebahagiaan itu seolah lenyap.”
Perempuan yang tampil dengan piano itu pun menyudahi permainannya, yang kemudian disusul dengan sang MC yang kembali naik ke atas panggung, memberikan sedikit komentar tentang penampilan perempuan piano tadi kemudian memanggil nama peserta selanjutnya.
“Baiklah, setelah ini kita memiliki seorang junior yang akan menunjukkan kemampuan bermain gitar sekaligus menyanyinya! Bahkan katanya ia sendiri lah yang menulis lagu tersebut. Apa kalian penasaran?”
“Mari kita sambut, Park Chanyeol!”
Riuh tepuk tangan dari penonton memenuhi ruangan, bahkan ketika Chanyeol menaiki panggung para gadis meneriaki namanya. Dengan santai, Chanyeol duduk di kursi yang sudah disediakan di tengah panggung, mendekatkan bibirnya pada mikrofon dan membiarkan keadaan ruangan menjadi tenang terlebih dahulu sebelum ia mulai mengalunkan petikan gitarnya.
Ia pun bernyanyi.
Dengan gitar tuaku
Pengakuan yang tidak pernah kunyatakan
Berpura-pura membuat satu lagu, tentang suatu pernyataan
Cukup dengarkan, aku akan bernyanyi untukmu
Aku sangat mencintaimu tapi aku tak bisa melakukan apapun
Ini aneh karena harga diriku tak mengizinkan
Hari ini kukumpulkan keberanian dan memberitahukanmu, tapi
Dengarkan saja, aku akan bernyanyi untukmu
Semua orang terdiam. Beberapa gadis mengangkat ponsel mereka, berusaha mendapatkan angle terbaik untuk merekam ataupun sekedar mengambil gambar Chanyeol, sementara Taehyung adalah satu-satunya laki-laki yang melakukan hal itu.
Caramu menangis, caramu tersenyum
Tahukah kau betapa berharganya dirimu?
Kata-kata yang ingin kuucapkan, kata-kata yang aku lewatkan
Aku akan mengakuinya dan cukup dengarkan saja
Aku akan bernyanyi untukmu, menyanyi untukmu
Cukup dengarkan dan tersenyum
Selama tiga menit lewat lima puluh detik Chanyeol melantunkan lagunya, yang kemudian diakhiri dengan tepuk tangan meriah. Bukan hanya dari bangku penonton, namun dari arah belakang panggung juga memberi reaksi yang sama. Terutama untuk orang-orang yang tahu asal usul mengapa Chanyeol membawakan lagu tersebut—Taehyung dan Jungkook, mereka menepukkan tangan sekuat mungkin.
“Jungkook-ah,” ucap Taehyung pada Jungkook.
“Kenapa hyung?”
“Kau tahu? Aku benar-benar marah pada Baekhyun hyung karena ia tidak datang.”
***
Setelah turun dari panggung, Chanyeol langsung meletakkan gitarnya di tempat ia menunggu sebelumnya, tidak memperdulikan orang-orang di belakang panggung yang ingin memberikan ucapan selamat ataupun sekedar menggoda, ia langsung berlari keluar dari ruangan lewat pintu belakang. Ia sengaja memarkirkan mobilnya tidak jauh dari pintu belakang, hingga ia bisa mengefisienkan waktu untuk sampai di Pusat Kesenian meskipun dirinya belum bisa menggenggam satu kepastian dari Baekhyun.
Taehyung dan Jungkook berlari-larian masuk ke belakang panggung dengan Taehyung yang masih memegang ponsel milik Chanyeol di tangannya. Orang-orang di belakang panggung masih tampak sibuk sendiri, yang mengharuskan mereka bertanya pada salah satu orang di sana yang pasti tahu keberadaan Chanyeol, atau setidaknya, kemana dia pergi.
Laki-laki yang bertugas mengatur tirai itu mengatakan jika Chanyeol terlihat buru-buru dan keluar dari pintu belakang. Taehyung dan Jungkook saling berpandangan untuk beberapa saat, ada kalanya mereka merasakan rasa takut yang sama. Ketika mereka mencapai pintu belakang dan berlari menuju area parkir, rasa takut itu benar-benar menjadi nyata. Chanyeol sudah tidak ada di sana.
“Kau yakin tidak ada mobilnya di sini? Mungkin ia menggunakan mobil lain, hyung. Kita harus memeriksa semua mobil di sini satu per satu,” ujar Jungkook di antara rasa panik dan lelah.
“Tidak, aku sempat bertemu dengannya saat ia datang. Ia menggunakan mobil miliknya yang aku tahu betul model dan nomor platnya. Mobil itu benar-benar tidak ada di sini.”
“Mungkin dia memarkiran mobilnya di parkiran depan? Kita harus ke sana, hyung.” Jungkook berbalik arah, namun Taehyung menahannya.
“Sudahlah, yang penting dia sudah menepati janjinya,” ujar Taehyung.
BYUN BAEKHYUN
14 DESEMBER 2013
Malam
Layar ponselku gelap dan senyap, sama seperti keadaan kamarku saat ini. Aku berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang kuhiasi dengan aksesoris bintang-bintang yang akan menyala dalam gelap. Bintang-bintang ini hanya untuk dalam keadaan jika aku terlalu malas untuk keluar rumah dan melihat bintang di langit. Maka begitulah keadaanku saat ini.
Aku yakin jika Chanyeol akan menghubungi dan mengirim pesan berkali-kali padaku, maka dari itu aku mematikan ponsel. Dia akan dengan mudah menemuiku di kampus, maka dari itu aku absen kuliah untuk seharian ini. Dia akan mengunjungi rumahku, maka dari itu aku meminta ayah dan ibu untuk menolak siapapun yang datang untukku, dengan alibi aku sedang tidak berada di rumah.
Pementasan sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu, sesuai dari info yang kudapatkan dari Taehyung kemarin. Entah bagaimana bisa aku tidak tahu jika pementasan tersebut dilaksanakan hari ini, bahkan aku tidak menyadari jika papan iklan baru yang ada di depan kampus memuat tentang itu—yang pada awalnya bukanlah suatu masalah, jika saja Chanyeol tidak ikut bergabung di sana.
Hingga ketika aku merasa lelah sendiri, dan aku sadar jika tidak akan ada yang berubah jika aku seperti ini. Amarahku sedikit demi sedikit mulai surut dan aku bisa berpikir dengan akal sehat. Chanyeol mengatakan jika ia akan tetap menemuiku. Tepat sebelum aku mematikan ponsel, ia mengirimiku pesan suara dan aku sempat mendengarkannya. Ia berkata jika dirinya ingin aku datang ke pementasan, jikalau aku tidak bisa datang—karena lokasi acara tersebut lumayan jauh—maka ia menyuruhku untuk menunggu di pekarangan Pusat Kesenian Seoul saja pada jam 10 malam.
Aku bangkit dari ranjang dan menyalakan lampu kamar. Sekarang pukul 21:39. Cukup lama waktu yang kubutuhkan untuk memandangi jam dinding, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Kuambil jaket yang tergantung di belakang pintu, namun kemudian terlintas keinginan untuk mengurungkan niat, karena aku tidak mempersiapkan hal apapun untuk diberikan pada Chanyeol. Mungkin saja aku menunggunya di Pusat Kesenian dengan tangan kosong, tapi rasanya agak tidak menyenangkan saja.
Pukul 21:47. Aku semakin gelisah. Memutar-mutar otak tentang apa yang dapat aku berikan pada Chanyeol saat kami bertemu nanti. Namun aku menyerah. Kondisiku sangat tidak mendukung untuk berpikir lebih jauh.
Yah, aku akan memberikan diriku. Mungkin aku tidak bisa datang ke pementasan karena ini sudah cukup larut, namun setidaknya kehadiranku di Pusat Kesenian, menunggunya, dalam keadaan sudah memaafkannya, bisa dianggap sebagai hadiah. Aku akan mengajaknya melakukan hal-hal yang menyenangkan, apapun itu. Aku akan terjaga dengannya sepanjang malam dan bolos kuliah keesokan harinya. Ya, ya, itulah yang akan kuberikan padanya. Aku meraih jaket dan topi kupluk merah—hadiah dari Chanyeol—kesayanganku dan memakainya selagi aku bergegas keluar dari kamar.
Sebenarnya jarak dari rumahku ke Pusat Kesenian Seoul tidak terlalu jauh, aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki namun kurasa tidak ada waktu yang dapat disia-siakan lagi. Aku ingin diriku yang menunggunya di sana, bukan dia yang menungguku. Maka aku memberhentikan taksi, dan berdoa di sepanjang perjalanan agar semuanya dapat berjalan baik-baik saja. Aku harus memperbaiki semua hal yang telah rusak, bukan malah membiarkan hal-hal tersebut pergi begitu saja.
Sesampainya di sana, aku berkeliling di seluruh area pekarangan, dengan harap semoga Chanyeol belum sampai. Dan syukurlah dia memang belum sampai. Hanya ada aku dan beberapa orang di sini, tidak ada tanda-tanda kehadiran Chanyeol. Aku mengambil posisi duduk di tangga, berusaha menahan diri dari dinginnya angin malam. Seoul baru saja diguyur hujan, tidak mengherankan jika udaranya terasa lebih jahat.
Kulirik jam di tangan, sudah pukul 22:42.
22:56
23:10
23:55
Tubuhku terasa beku. Aku mendekap tubuhku sendiri meskipun rasanya tidak memberikan kehangatan apapun. Tidak ada orang lain lagi di sini, hanya ada aku, tanpa Chanyeol. Lima menit lagi maka jam akan menunjukkan pukul 24:00 bahkan aku merasa tidak sanggup bertahan lagi untuk lima menit tersebut. Seharusnya aku marah. Marah karena Chanyeol kembali tidak menepati janjinya. Tapi aku sadar, tidak selamanya seseorang yang marah berada dalam posisi sebagai orang yang benar. Aku egois. Maka aku marah pada diriku sendiri. Kemudian rasa marah itu bercampur dengan putus asa. Aku menyerah.
“Kenapa lama sekali..”
“Sampai kapan aku harus menunggu?”
“Maaf, maaf Chanyeol-ah.”
“Aku... aku putus asa.”
Seperti tidak bisa merasakan kakiku lagi, bahkan untuk bangkit dari posisi dudukku sebelumnya rasanya begitu sulit. Udara malam semakin dingin dan jaket tebal di tubuhku hanya terasa seperti lembaran tisu.
“Maafkan aku, Chanyeol-ah. Aku harus pergi.”
Aku tidak tahu mengapa aku harus mengutarakan kalimat itu. Hanya saja rasanya lebih tenang jika aku mengucapkannya lewat mulut ketimbang kusimpan di dalam hati. Aku melangkahkan kaki perlahan, pergi, menjauh dari asa, menjauh dari kepercayaan diri. Namun entah mengapa, aku merasa jika Chanyeol ada di sana. Kerap kali aku menoleh kebelakang hanya untuk melihat area kosong tersebut, yang masih tetap kosong hingga aku keluar menuju jalanan.
***
Aku tidak tahu apakah masih ada taksi yang akan lewat pada saat ini, namun aku tidak berniat untuk mencari tahu. Segera aku berjalan kaki menyusuri trotoar dalam keheningan, hanya ada beberapa kendaraan dan pejalan kaki yang lewat sesekali. Benar-benar hening, membuatku semakin merasa gila sendiri. Aku bingung dengan apa yang terjadi pada diriku, dan aku bingung apa yang sedang terjadi pada Chanyeol.
Oh, ya, sedari tadi aku terlalu sibuk memikirkan tentang diriku sendiri hingga tidak terpikirkan di kepalaku apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Chanyeol sekarang. Sejalan dengan pertanyaan itu memasuki kepalaku, pikiran-pikiran yang tidak pernah kupikirkan pun kemudian muncul, memproyeksikan bayangan-bayangan bagaimana Chanyeol sedang bersenang-senang di pementasan itu, bersama orang lain, melupakanku.
Akhirnya aku kembali di rumah. Perjalanan tadi tidak memakan waktu yang lama namun rasanya sudah terlalu banyak yang aku lalui. Aku merasa beban di pundak yang kubawa sejak dari Pusat Kesenian Seoul tadi terus bertambah dan bertambah. Dengan lunglai aku memasuki kamar, bersatu dengan ranjang, masih dengan jaket dan topi kupluk. Inginku memejamkan mata dan tidur agar malam ini cepat berakhir, namun aku tidak bisa. Terlintas dipikiranku mungkin dengan membuka sosial media akan membuatku sedikit terhibur, dan pada saat itulah aku teringat jika aku belum menghidupkan ponselku, padahal aku membawanya di saku celana sejak tadi. Aku pun mengeluarkan dan menyalakannya, tidak butuh waktu lama setelah benda tersebut menyala, notifikasi-notifikasi pun bermunculan. Yang paling mendominasi adalah pesan kakaotalk milik Chanyeol pada pertamanya, kemudian pesan-pesan tersebut tidak lagi muncul, digantikan dengan pesan-pesan dari teman-teman yang lain.
Tubuhku tersentak dari ranjang dan aku berdiri, membaca semua pesan-pesan tersebut. Tanganku bergetar hingga tidak kusadari jika ponselku telah terjatuh ke lantai, diikuti dengan tubuhku yang limbung tersungkur ke bawah. Rasanya seperti ada badai hebat di dalam tubuhku, dan aku tidak mampu menahannya. Seiring dengan semua rasa itu, ponselku berbunyi yang menandakan ada sebuah panggilan masuk. Mataku hampir buta oleh air mata, tapi aku bisa membaca tulisan di layar ponsel jika yang menelepon adalah Taehyung. Aku menekan tombol jawab.
“Baekhyun hyung! Ya Tuhan, syukurlah akhirnya kau mengaktifkan ponselmu!”
14 DESEMBER 2013
Malam
Baekhyun berlari menyusuri tepian jalan, namun tanpa jaket dan kupluk merah yang ia gunakan saat keluar sebelumnya. Tangan kanannya masih memegang ponsel, napas dan isak tangisnya beriringan dengan langkah kakinya yang gontai namun begitu cepat. Ia menembus dinginnya udara malam sendirian, melewati jalanan yang sama, dan menuju tempat yang sama.
Pekarangan Pusat Kesenian Seoul masih berada dalam keadaan seperti ia meninggalkannya satu jam yang lalu. Sepi, tidak ada satupun orang di sana. Kini langkahnya memelan, memasuki area tersebut dengan kepala tertunduk, menangis hebat, wajahnya berbanjiran air mata, tidak ada perkataan apapun yang terucap selain suara dari langkah kakinya dan isakan yang menjadi-jadi. Baekhyun duduk di tangga itu, tangga yang sama, mendekap tubuhnya seperti sebelumnya, namun ia tidak hanya menunggu, ia menangis, ia menyesal, tenggorokannya seolah penuh oleh isakan.
Sekitar lima belas menit sudah berlalu. Namun Baekhyun masih berada di sana, memeluk lututnya dengan wajah memerah dan tubuh kaku. Isakan itu masih terdengar, menjadi satu-satunya suara di area tersebut. Kemudian, Baekhyun tidak menjadi satu-satunya populasi manusia di sana, ketika dua orang laki-laki masuk ke area itu dan menghampiri Baekhyun. Salah satu laki-laki itu segera memeluknya, membiarkan Baekhyun menenggelamkan wajahnya pada pelukannya dan kembali menangis.
“Taehyung-ah,” lirih Baekhyun di sela tangisannya.
Taehyung mencoba menahan tangis, begitu pula dengan Jungkook yang saat itu ikut duduk di sebelah Baekhyun dan menepuk pundaknya.
“Saat ia selesai tampil, kami mencoba untuk menemuinya tapi kami terlambat, dia sudah pergi. Maafkan kami, hyung,” ucap Jungkook.
Tak lama setelah itu, beberapa orang-orang—yang merupakan mahasiswa dari kampus yang sama dengan Baekhyun, Taehyung, dan Jungkook—sedikit demi sedikit mulai memenuhi area pekarangan Pusat Kesenian.
PARK CHANYEOL
14 DESEMBER 2013
Malam
Aku melihat itu. Aku melihat semuanya. Mereka mulai mengerumuni Baekhyun dan mencoba berbicara dengannya, mungkin untuk menunjukan rasa simpati. Kini aku duduk di sebelahnya, namun ia tidak menyandarkan kepalanya pada bahuku, padahal ia sedang menangis. Ia tidak memelukku dan menangis di dadaku, padahal sejak ia berlari-larian masuk ke tempat ini sambil menangis, aku membuka pelukanku untuknya berkali-kali. Ia tidak mau menerima jaketku yang kutawarkan untuknya padahal ia kedinginan. Ia tidak mendengarkanku, kenapa? Padahal dia mendengarkan seluruh cerita dari Taehyung dan Jungkook tentangku. Kenapa, Baekhyun-ah?
Aku tidak tahu sekarang sudah pukul berapa, tapi orang-orang mulai berbubaran, begitu pula dengan Baekhyun yang dibantu berdiri oleh Taehyung dan Jungkook. Ia berdiri, tapi aku tetap duduk. Terus kupandangi dirinya yang mulai menuruni tangga satu per satu dengan limbung, namun, tepat sebelum ia menginjak tangga terakhir, ia mengucapkan sesuatu dengan keras dan lirih.
“Chanyeol-ah, aku tahu kau pasti ada di sini karena kau ingin menepati janjimu, kan? Jadi, maafkan aku, aku mohon maafkan aku.”
“Aku mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu dan akulah yang salah, bukan dirimu.”
“Aku yang salah, Chanyeol-ah. Jadi aku minta maaf demi apapun yang ada di dunia ini, aku minta maaf. Kau tidak perlu melakukan apapun lagi, pergilah dengan tenang.”
“Dan, kau harus pergi. Jangan menunggu di sini sampai pagi seperti ucapanmu pada Taehyung saat di belakang panggung. Kau harus pergi, aku mencintaimu.”
Kini aku mengerti. Semuanya telah jelas. Aku berdiri dari tangga dan menuruni tangga-tangga tersebut hingga kini aku berdiri sejajar dengan Baekhyun. Aku menoleh padanya.
“Terimakasih, sayangku. Aku juga mencintaimu.”
BYUN BAEKHYUN
31 DESEMBER 2013
Dini hari
Caramu menangis, caramu tersenyum
Tahukah kau betapa berharganya dirimu?
Kata-kata yang ingin kuucapkan, kata-kata yang aku lewatkan
Aku akan mengakuinya dan cukup dengarkan saja
Aku akan bernyanyi untukmu, menyanyi untukmu
Cukup dengarkan dan tersenyum
“Ya. Aku mendengarkannya. Dan aku tersenyum. Aku selalu tersenyum setiap mendengarkan lagumu, Chanyeol-ah,” kataku.
Kuatur volume earphone sebesar mungkin, hingga tidak ada celah bagi suara apapun untuk masuk ke telingaku selain suara berat Chanyeol dan alunan gitarnya. Sejujurnya, penyesalanku tak berujung mengingat aku tidak pernah mendengarkan lagu ini secara langsung, namun aku tahu waktu berjalan, semua orang datang dan pergi, dan semua orang bisa bangkit, sefatal apapun mereka terjatuh.
Bisa kurasakan kehadiran seseorang, dan saat aku menoleh, kudapatkan Taehyung sudah berdiri di dekatku. Aku pun melepas earphone.
“Hyung, sebentar lagi sudah mau jam dua belas. Kau tidak akan melewatkannya, kan?” tanya Taehyung.
“Ah, ya, tentu saja.” Aku melepas kabel earphone dari ponsel dan berjalan keluar dari kamar bersama Taehyung. Kami menaiki tangga menuju atap hotel dan di sana Jungkook sudah menunggu bersama Yifan hyung.
“Kupikir kau akan melewatkan puncaknya,” sapa Yifan hyung saat aku menghampiri.
“Tidak, aku hanya ingin beristirahat sebentar sebelum pesta yang sebenarnya dimulai,” jawabku.
Hotel ini menyelenggarakan pesta menyambut tahun baru, jadi kami memesan satu kamar—setidaknya kami tidak perlu jauh-jauh pulang kerumah setelah pesta—untuk tidur satu malam saja. Tiga menit lagi sebelum tahun berganti, orang-orang di sekitarku sudah mulai menghitung waktu.
Chanyeol-ah, tahun akan berganti, mungkin semuanya akan berbeda di tahun yang selanjutnya, entah apapun itu, aku akan baik-baik saja.
Aku akan baik-baik saja. Aku sudah melihat rekamanmu saat tampil di pementasan, kau sangat hebat. Aku mendengarkan lagu itu setiap harinya dan tidak pernah bosan. Dimanapun kau berada, aku harap kau bisa tahu jika aku baik-baik saja.
Chanyeol-ah, terimakasih karena sudah berjuang untukku.
“Tiga, dua, satu!”
Kembang api terbesar pun dinyalakan. Semuanya tumpah ruah; manusia, teriakan, kebahagiaan, haru, duka, suka cita begitu terasa selagi kami saling berpelukan dan kemudian mereka bertiga—Taehyung, Jungkook, dan Yifan hyung—memelukku.
“Aku tahu kau kuat,” ucap Yifan hyung.
Aku tersenyum.
Kekasihku meninggal dalam kecelakaan saat melaju menuju tempat dia berjanji untuk bertemu. Kekasihku meninggal saat aku sedang menunggunya dan aku tidak tahu. Kini aku kuat. Aku baik-baik saja. Meskipun tidak ada manusia yang akan benar-benar baik-baik saja dari sisi manapun.
Aku menoleh ke arah barat, dan dia di sana. Di antara kerumunan orang-orang yang bersuka cita dalam tawa, dia berdiri di sana, menoleh padaku dengan senyuman atraktifnya. Mata kami bertemu, entah dalam konteks yang nyata atau hanya sekedar bayang-bayang, tapi aku membalas senyumannya.
Kemudian dia memutar arah, pergi, berjalan di antara kerumunan itu dan menghilang begitu saja. Aku mengambil ponselku dan membuka aplikasi kakaotalk, membuka chatku dengan Chanyeol dan mengirimkannya pesan—secara satu pihak—untuk yang kesekian kali.
Byun Baekhyun
Selamat tahun baru, untuk kekasih terhebat sepanjang masa.
Byun Baekhyun
Park Chanyeol..
Byun Baekhyun
Aku selalu mencintaimu.
~~~END~~~