Our Rain
a fanfiction by hanbinsswi dedicated toHiDesignRP’s 1st year Anniversary.
Cast:
Genre: Romance, including a little Mature Content (smut 18+)
NB: Disini FF ini, Seunghyun, Soyou, Minah, dan Baekhyun memiliki UMUR yang sama.
Selamat membaca!
Our Rain
Friday, Desember 25th, 2009
Hanyoung Foreign Language High School, Seoul
Sore ini, hujan sangat lebat mengguyur kotaku.Angin membuatku kembali mengeratkan pelukanku pada tas sekolah yang berada di depanku, serta membuatku menarik nafas sebanyak-banyaknya.
Ck, aku benci hujan lebat seperti ini. Apalagi tidak ada kendaraan yang dapat kutumpangidari sini. Aku harus berjalan kaki untuk mencapai jalan yang lebih besar supaya aku bisa naik kendaraan umum.Memang sudah diprediksi oleh badan pengamat cuaca, kalau bulan-bulan ke depan ini akan menjadi musim hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi.
Aku tertegun melihat sekumpulan bocah yang hujan-hujanan di pinggir jalan. Sepertinya mereka bahagia sekali. Tanpa sadar, akupun tersenyum. Namun tak berlangsung lama, aku tersadar dari lamunanku dan segera membuka payung lipat yang sedari tadi kupegang. Sebenarnya aku ragu untuk menerobos hujan selebat ini, tapi apa boleh buat.
“Hujan ini sangat lebat, Soyou-ya, kau yakin akan menerobosnya hanya dengan payung?” Suara bariton seseorang dari belakangku terdengar sedikit khawatir. Aku hanya tersenyum miris.
“Bagiku ini sudah biasa, jangan khawatir,” ujarku lalu sedikit memperlihatkan deretan gigiku. “Lagipula besok libur, kalau aku masuk anginpun aku bisa beristirahat seharian di rumah.”
Kulihat dia terkekeh sambil mendengus kesal, “Kau ini. Jadilah perempuan sesekali,” ujarnya sebelum mengacak-acak rambutku. “Tapi kebetulan aku bawa mobil.”
Aku cepat-cepat menggeleng. “Aku tidak mau menjadi obat nyamuk antara kau dengan Minah. Tidak enak tahu, hanya jadi pajangan!” kataku mentah-mentah. Iapun tertawa lepas setelah mendengar reaksiku.
“Daripada kehujanan, kan?”
“Tidak mau. Sana pergi, aku yakin Minah sudah menunggumu di sana. Jangan membuat seorang wanita menunggumu, Heechul-ah.”jawabku dengan imbuhan sedikit sarkasme. Bahkan aku tidak menghormati usianya yang terpaut jauh lebih tua dariku. Ia hanya terkekeh sebelum menyenggol sikuku.
"Yak, enak sekali kau memanggilku dengan panggilan itu.” ucapnya dengan lirikan sebal terhadapku. Aku hanya menjulurkan lidahku sebagai respon untuknya.
“Cepat sana! Nanti Minah-mu diambil orang.”
“Ck, iya, iya. Kau hati-hati ya, aku pergi duluan.” ujarnya sambil menepuk pundakku. Aku mengganguk dan melambaikan tanganku padanya. Sosoknyapun hilang ditelan air hujan yang begitu lebat, sampai-sampai aku sedikit khawatir apa dia bisa menemukan mobilnya di tengah hujan setengah badai ini.
Rencananya, sih, aku menunggu hujan ini reda sedikit. Karena setelah kuperhitungkan untung dan ruginya menerobos hujan selebat ini, nyaliku jadi ciut untuk melakukannya. Namun ternyata aku salah. Makinmalam, hujan ini makin lebat dan tidak ada tanda-tanda untuk berhenti. Sudah satu setengah jam aku berdiri sendiri di halte bus ini, rasanya lelah juga. Akhirnya, kuputuskan untuk menerobosnya saja.
“Semoga Tuhan menyertaiku,” gumamku pelan sebelum menginjakkan kaki ke luar dari halte ini.
DAR!
Sebuah suara yang menggetarkan tubuhku terdengar dengan amat keras. Petir kini menyambar tepat di atas halte ini. Dengan segera, kutarik lagi kakiku. Oh, tidak. Apa ini artinya Tuhan tidak ingin aku pulang?
“Kau takut petir, nona?” Lagi-lagi, suara dengan intonasi yang sangat rendah menyerbu telingaku. Kutolehkan kepalaku ke arah suara itu, dan ternyata hanyalah seorang pria asing. Pria ini lumayan tinggi, mungkin sepuluh sampai lima belas centimeter diatasku. Seragamnya menyatakan kalau ia berasal dari sekolah yang sama denganku.
“Kalau petirnya menyeramkan seperti yang tadi, aku takut,” jawabku sembari menatap langit yang sudah gelap, dengan kilatan petir yang menghiasinya. “Jangan panggil aku nona. Panggil saja Soyou. Rasanya tua sekali disapa begitu.”
“...Soyou, ya..” Ia sedikit terkekeh. Aku juga merasa bodoh saat menyadari ucapanku. Untuk apa mengenalkan diri pada seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya.
“Dan... Kau?” Tanyaku, ragu dan sangat awkward.
“Panggil saja aku Seunghyun.” ujarnya singkat.“Jadi... Kapan kau akan pulang? Ini sudah hampir jam tujuh malam.”imbuhnya lalu mengalihkan pandangannya; ikut menatap langit. Aku, yang tadi memfokuskan tatapan hanya pada langit dan jalananpun akhirnya memperhatikan lelaki misterius ini. Wajahnya terlihat santai walau rambutnya sudah terkena air hujan sebagian. Jaket tebal yang ia gunakan juga sudah basah.
“Tidak tahu... Mungkin jika hujannya reda sedikit, aku akan menerobosnya,” kataku lalu menghela nafas panjang. “Dan kau? Kenapa kau tidak pulang?”
Ia memasukkan kedua tangannya ke kantung jaketnya, “Aku baru saja selesai mengerjakan tugas. Dari tadi aku memperhatikanmu, lucu sekali,” Ia tertawa kecil dan membuat lesung di pipinya terlihat.
Aku mendengus kesal, apa-apaan? Aku malah jadi lelucon baginya. Lagipula, apa lucunya seseorang yang menunggu hujan reda? Akupun hanya bisa memberi tatapan tidaksuka-ku padanya. “Lalu urusanmu apa?”
Lelaki itu sedikit terhenyak mendengar nada bicaraku yang tiba-tiba berubah. “Hei, aku tidak bermaksud untuk menjadikanmu bahan tawaan bagiku,”
“Ya, ya, ya. Terserah padamu, Seunghyun-ssi. Aku ingin pulang saja.” ujarku lalu kembali membuka payung lipatku. Ia mengerjap beberapa kali sebelum menyadari kalau dirinyalah penyebab aku jadi hilang mood.
“Yak! Tunggu!”ia sempat berbicara beberapa kata lagi, namun sudah tak kudengar karena kedua kakiku sudah melangkah pergi. Aku kesal sekali! Tanpa menoleh kanan-kiri, aku menyeberang jalan. Lagipula saat ini hujan sangat lebat. Aku berani bertaruh kalau tidak akan ada pengendara kendaraan bermotor yang nekat memacu kendaraannya di cuaca seburuk ini.
“Hei!”seruan itu sampai ke telingaku dan aku refleks saja menoleh ke belakang. Kulihatseorang lelaki dengan badan yang sudah sangat basah berlari sekuat tenaga dari arah halte tadi. Oh, itukah kau, yang membuat suasana hatiku jadi suram? Akupun hanya mendengus dan kembali berbalik badan.
Namun, beberapa detik setelah aku kembali berjalan, sebuah hentakan yang sangat kuat membuatku kaku seketika. Rasanya, ada gesekan yang terjadi antara kulitku dengan benda yang permukaannya sangat kasar.
Dan ketika aku membuka mataku, kudapati wajahku menatap langit yang mendung.
Saturday, December 25th, 2010
Hanyoung Foreign Language High School, Seoul
Butiran-butiran air mulai membasahi rambutku. Tadinya sedikit, sekarang rambutku sudah basah semuanya. Aku juga tak membawa payung sama sekali, bodohnya aku.
Aku berjalan tergesa-gesa melewati hujan yang mulai menjadi besar ini. Akhirnya kuputuskan untuk berteduh di sebuah halte kosong. Sepersekian detik setelah aku menjejalkan kakiku ke sana, hujan bak air bah yang mengalir dari langit langsung menghantam bumi. Aku yakin dengan hujan sedahsyat ini, kolam renang sedalam puluhan meter bisa terisi hanya dalam beberapa detik.
Kuraih telepon genggamku dan menekan beberapa tombol disana dengan lincah. Setelah beberapa saat, kudekatkan alat itu ke telingaku. Terdengarlah ritme yang sama setiap detiknya sebelum akhirnya ada seseorang disana yang mengangkat teleponku.
“Halo, sedang dimana?” sapaku pada orang diseberang sana. Aku mendengarkan penjelasan darinya sebentar.
“Aku sedang berteduh di halte dekat tempat latihanmu,” Aku sedikit terkekeh mendengar respon darinya. “Yak, tidak usah, kau sedang ada latihan, kan? Jangan memaksakan diri, aku bisa naik taksi.”
Aku mendengus mendengar seseorang yang disana tiba-tiba menjadi lebih cerewet daripada aku, “Aku sudah bilang tadi― Hei? Halo? Astaga,” tiba-tiba saja pembicaraan kami terputus dan ini membuatku sangat jengkel. Ia selalu begini, keputusannya selalu tak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Tak lama kemudian, muncul sebuah mobil sedan berwarna hitam mengkilat di hadapanku. Aku kembali mendengus melihatnya, namun segera kulangkahkan kaki begitu pintu mobil itu sedikit terbuka.
“Yak, sudah kubilang kan, jangan menjemputku.” ujarku sesaat setelah aku duduk di jok mobilnya. Lelaki berbaju basket berwarna merah dengan rambutnya yang acak-acakan itu, tersenyum ke arahku. Kelelahannya saat bermain basket masih terlihat jelas dari nafasnya yang tak teratur, atau mungkin karena terburu-buru berlari mengambil mobilnya untuk menjemputku, aku juga tidak tahu.
“Santai saja, hanya latihan biasa.” Katanya sembari mulai menancap gas. Aku hanya menghela nafas sambil menggeleng pelan. Kuarahkan pandanganku ke luar kaca jendela.
“Hujannya deras sekali...” Gumamku pelan, “Ini mengingatkanku pada setahun yang lalu.”
Kulihat dia menoleh sebentar dan kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan. “Yeah, hari ini memang tepat satu tahun.” Ia menghela nafasnya. “Apa kau masih trauma dengan hujan?”
Aku terkekeh pelan menanggapinya dan refleks menyentuh kepalaku. “Sudah tidak lagi karena jahitannya sudah menyatu dengan kulitku. Dulu, setiap kali aku menyentuhnya aku sangat ketakutan, bahkan saat hujan turun yang bisa kulakukan hanya meringkuk di kasur saja. Tapi efek samping dari kecelakaan itu, aku jadi mudah sakit kepala jika memikirkan sesuatu.”
“Jangan memikirkan sesuatu kalau begitu,” Ujarnya lalu melirikku. “Tetapi hujan itu juga yang membawamu padaku.”
Kalimat pendeknya membuatku menoleh dan membuat ekspresi yang aneh. “Lalu kau anggap itu sebagai keuntungan besar, Seunghyun-ssi?”
Ia tertawa pelan, “Aku tidak bilang begitu. Hanya saja hidupku jadi lebih berwarna setelah kau hadir di dalam kehidupanku,” Seunghyun menoleh ke arahku dan mengelus rambutku lembut. “Kau, gadis yang paling keras kepala yang pernah ku temui, Soyou-ya.”
Aku terkekeh, “Ku anggap itu pujian.”
Sunday, June 12th, 2011
Galleria ForetApartement, Seoul
Aku terbangun dengan tiba-tiba. Kepalaku pusing sekali, rasanya ingin pecah. Aku segera duduk dan memegangi kepalaku. Ck, sudah belakangan ini aku terbangun dengan sakit kepala yang luar biasa rasanya. Berbagai macam obat sudah kuminum, namun tetap saja sakit ini tak kunjung sembuh.
“Ghh...” Gumamku sembari memijat-mijat pelan kepalaku, sangat berharap kalau pijatanku ini menekan rasa sakit yang ada.
“Kepalamu sakit lagi?” sosok yang bersembunyi di sampingku, kini memunculkan kepalanya. Kurasa ia sedikit terganggu dengan gerakanku yang tiba-tiba tadi. Akupun menoleh ke arahnya. Rambut hitamnya terlihat sangat acak-acakan, dengan salah satu mata yang tertutup dan mata yang lainnya terbuka, ia mencoba untuk menatapku.
Aku hanya mengangguk pelan. “Kurasa kita harus ke dokter, karena belakangan ini aku selalu bangun tidur dengan sakit kepala yang hebat.”
Ia menghela nafasnya perlahan, “Kemarilah.” ujarnya lalu menarik tanganku lembut. “Yang kau perlukan hanyalah tenang dan santai,” sambungnya saat aku merebahkan diri disampingnya.
Hangat. Pelukannya sangat hangat dan membuat sakit kepalaku hilang seketika. Meskipun begitu, aku masih merasakan kalau kepalaku sedikit berdenyut-denyut. “Aku sudah mencoba untuk tenang dan santai..”
“Belum seutuhnya,” ujarnya sambil memijat pelan kepalaku. “Apa yang kau pikirkan, hm?”
Aku menutup mata dan merasakan pijatan yang sangat membuatku nyaman. “Well... Aku memikirkan hasil dari kelulusan. Sungguh,”Akupun membuka mataku dan menatap lurus ke depan dengan nanar. “Aku merasa sedikit takut dan aku mempunyai firasat yang aneh.”
“Sstt, sudah kubilang, jangan memikirkan apapun tentang kelulusan. Kau sudah memberikan yang terbaik saat ujian. Maka kau pasti akan mendapatkan hasil yang terbaik juga nantinya.” Suaranya yang menenangkan mengalir di daun telingaku. Sepertinya, dirinya adalah obat alami bagi sakit kepalaku. Tangannya memainkan helai-helai rambutku dan ia mencium keningku sekilas. “Jangan memikirkan persoalan itu, berjanjilah padaku.”
Aku tersenyum manis, kukaitkan kedua lenganku ke lehernya. “Asal ada kau disisiku, aku takkan memikirkan persoalan itu.” bisikku pelan. Aku memang tidak bisa menatap matanya secara langsung, karena kamar ini sangat gelap. Lagipula aku yakin bahwa ini masih tengah malam. Namun aku merasa bahwa matanya menatap lurus ke arahku.
“Kalau begitu, aku akan selalu berada di sisimu,” Balasnya dengan lembut namun pasti. Aku masih tetap tersenyum sampai bibirku bertemu dengannya. Bibirnya sangat lembut menyentuh bibirku. Kueratkan kaitan kedua lenganku pada lehernya, sedangkan tangannya sibuk menarik selimut untuk menutupi tubuh kami yang polos. Refleks, aku naik ke tubuh kekarnya dengan bibir kami masih tertaut mesra.
Aku melepaskan ciuman kami yang mulai memanas itu, “Hei. Apakah nanti kau akan bekerja dulu atau melanjutkan ke universitas?” tanyaku sembari menahan tangannya untuk berbuat lebih. Aku ingin dia menjawab pertanyaanku dulu. Tampaknya ia agak sedikit kesal di tanya begitu. Ia mendengus.
“Bisa kau tanya nanti, kan?”jawabnya sembari menarik leherku untuk mendekat kembali. Aku terkekeh pelan menanggapinya, lelaki kalau sudah dipancing sedikit lucu juga, ya.
“Jawab saja.. Aku hanya penasara– Ah!”Ada sensasi yang berbeda dan aneh tepat di dadaku. Tanganku dengan cepat menjambak rambut hitam dari lelaki ini. Desahan singkatku membuatnya tertawa kecil. “Yak! Bibir nakalmu itu!”
“Siapa yang suruh kau untuk berbicara di saat-saat seperti ini, hm?”balasnya dengan santai sebelum ia kembali melakukan apa yang ia lakukan sebelumnya. Membuatku terpaksa untuk menggigit bibir bawahku. “Soyou-ya, sudah waktunya kau yang dibawah.”
Aku melirik sinis lelaki yang sedang memberikan seringaiannya itu padaku. “Kali ini biarkan aku yang diatas,” ujarku dengan nada percaya diri tingkat tinggi. Kudengar ia sedikit tertawa.
“Ingat terakhir kali saat kau yang diatas? Kau yang lemas duluan.” kalimat yang singkat namun sukses membuat wajahku memanas dan ya; memerah. Aku menutup mulutnya yang hampir tertawa.
“Sssttt! Itu kan dulu,” jawabku sambil melirik ke arah yang lain. Tangannya memegang tanganku yang berada pada mulutnya, dan menyingkirkan tanganku perlahan. Ia menyeringai.
“Tetap saja,” Iapun mendorong tubuhku ke samping, dan tentu saja tenagaku tidak cukup untuk menahan dorongan darinya. Aku sedikit memberontak sambil tertawa kecil sebelum lelaki itu berada di atasku dan menempelkan dahinya di dahiku. “Hei.”
“Hm?” Gumamku sebagai respon untuknya. Matanya yang teduh terlihat menatapku karena terpantul cahaya yang timbul dari sisi-sisi gordin di jendela.
“Aku mencintaimu. Sangat, sangat mencintaimu.”
Aku tersenyum dan menatapnya balik, “Aku lebih mencintaimu.” sepersekian detik setelah itu, tiba-tiba ada kenikmatan yang tiada taranya menyerang bagian bawahku. Rasa-rasanya, sakit kepala yang melandaku tadi itu sudah hilang lenyap, dan digantikan oleh kenikmatan yang meletup-letup di kepalaku.Aku mengerangdan menjambak rambutnya kuat saat gerakannya menjadi liar. Dasar lelaki.
“Ah– Choi Seunghyun!”
Saturday, July 9th, 2011
Hanyoung Foreign Language High School, Seoul
Ini adalah hari yang kutunggu-tunggu sejak lama. Sebuah hari dimana semua kerja kerasku dibayar oleh selembar kertas dan topi. Sudah tiga tahun lamanya aku menunggu itu. Dan hari ini adalah pembuktian bagiku.
Dengan dress formal berwarna merah gelap dan dihiasi oleh highheels berwarna senada, aku menggandeng lengan seorang pria tampan yang memakai tuxedo; membelah para wisudawan dan wisudawati yang ada. Seisi hall membalikkan badannya untuk melihat kami. Aku sangat tersipu malu sampai-sampai yang kupandang daritadi hanyalah red-carpet yang sedang kami lalui ini.
“Jangan menatap ke bawah terus, kau takut terjatuh?” Akupun mengangkat kepalaku dan bertemu dengan manik mata darinya. Aku menghela nafasku dengan berat.
“Bukan itu... Aku hanya malu untuk menatap sekitar. Semua orang menatap ke arah kita, kan?” Aku kembali menunduk sembari tersenyum kecil. Jantungku berdetak tak karuan, apalagi saat mataku bertemu dengan matanya. “Aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian.”
“Itu karena kau sangat cantik.”Aku tahu dia sedang tersenyum walaupun aku tidak melihatnya.
“Terima kasih. Kau jugalebih tampan daripada biasanya.”pujiku tulus, kini aku menoleh padanya dan tersenyum manis. Ia menorehkan sedikit senyumannya, pasti ia merasa aneh saat dipuji seperti itu. Aku jadi tertawa melihatnya salah tingkah.
“Soyoooooou!” Dari kejauhan, aku mendengar namaku dipanggil. Belum sempat aku melihat siapa yang memanggilku, tubuhku sudah ditubruk tanpa ijin terlebih dahulu. Untung saja ada Seunghyun yang menahan tubuhku dari samping.
“Whoa, pelan-pelan, Minah-ya.” Ujarnya sembari terkekeh pelan. “Kasian Soyou-ku.”
Aku memberikan deathglare-ku padanya. Wanita berambut panjang dan berwarna pirang itu muncul tepat di depanku. Ia akhirnya mengangkat rambutnya dan tersenyum sangat lebar sampai kedua matanya hilang. “Soyou-ya! Kita lulus! Aku sangat senang!”
Aku tertawa kecil dan membenarkan rambutnya yang berantakan karena memelukku terlalu keras dan bersemangat. “Aku juga,” jawabku singkat. “Bagaimana hubunganmu dengan oppa-mu itu?” sambungku sembari melirik seorang pria tinggi berambut lumayan panjang yang sedang berbicara dengan Seunghyun. Pertanyaanku sukses membuat Minah bungkam dan menunduk. Aku jadi merasa aneh, “Hei, ada apa?”
Iapun mengangkat kepalanya, wajahnya merah padam dan ia sedikit berbisik kepadaku. “Aku telah dilamar olehnya..”
“Oh, astaga! Benarkah? Selamat!” Aku kaget bukan kepalang sampai-sampai aku tidak bisa mengontrol suaraku. Rasanya, air mataku mulai menumpuk di pelupuk mataku. Aku tahu betul kalau Minah sangat mencintai Heechul. Ia tersenyum sangat manis.
“Lalu, bagaimana kau dengan Seunghyun?”tanyanya sembari melirik Seunghyun yang mulai melirik ke arah kami dengan penasaran. Aku jadi ikutan meliriknya juga, namun aku segera tertawa.
“Kau tahulah tipe lelaki seperti dia. Kami akan sama-sama meraih cita-cita dahulu,” ujarku dengan suara yang relatif pelan. Minah mengangguk mengerti.
“Ah, baiklah.. Apapun yang akan kalian lakukan, aku sangat berharap kalau kalian bahagia!” katanya dengan senyum di akhir kata. Aku jadi ikut tersenyum.
“Kau jangan lupa undang aku ya, nanti.”balasku sambil mengedipkan sebelah mataku kepadanya. Ia tertawa kecil.
“Hei, apa yang kalian bicarakan, huh?” Heechul dan Seunghyunpun datang menghampiri kami. Aku dan Minah jadi saling pandang dan tertawa kecil.
“Tidak ada. Hanya segelintir percakapan antarwanita.”
Wisuda dan acara perpisahan itu berlangsung dengan cepat, tanpa disangka malampun tiba. Malam ini aku sama sekali tidak tertarik untuk pergi kemanapun. Aku hanya tertarik dengan laptopku. Surfing di internet tentang universitas yang ingin ku masuki. Perasaanku masih tetap terasa tak enak. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal, tapi aku tidak tahu apa itu.
Tiba-tiba ponselku bergetar, kulirik layarnya sekilas dan mendapati bahwa ada pesan yang masuk. Sedikit tak tertarik pada awalnya, namun kulihat di pengirimnya ada nama “Choi Seunghyun” yang membuatku akhirnya membuka pesan itu.
From : Choi Seunghyun
Subject : Mianhaeyo, chagiya.
Maafkan aku, Soyou-ya. Aku harus melanjutkan studiku ke Perancis. Ini tuntutan dadakan dari Ayah dan Ibuku. Aku tidak bisa meneleponmu karena aku sendiri sedang dilanda shock berat. Aku berangkat malam ini, maaf aku tidak bisa melihat wajahmu lagi. Jangan hubungi aku lagi, aku tidak akan mengangkatnya karena ponselku akan ditinggal di Korea. Maafkan aku, aku pergi. Jaga dirimu baik-baik, kelak kita akan bertemu lagi.. Suatu hari.. Aku yakin itu.
Soyou, aku sangat mencintaimu.. Sangat dan akan selalu mencintaimu.
-Choi Seunghyun.
Aku tak dapat bergerak. Aku tak dapat bernafas. Oksigenku direbut secara paksa. Aku kaku. Aku mati rasa. Aku hampa. Aku kosong. Aku hilang.
“Ini bercanda...”gumamku sambil menjauhkan ponselku dari pandanganku.
“Seunghyun... Kau... Pergi...?”
Derasnya air mataku tak dapat dikendalikan lagi, membuatku sangat sesak nafas dan aku merasakan sakit kepala yang hebat menerjangku.
Setelah itu, semuanya menjadi gelap gulita.
Sunday, July17th, 2011
Asan Medical Center, Seoul
“Kesehatannya sangat buruk, nona,”
“Lalu, dok, apa yang bisa dilakukan untuknya?”
“Saya tidak bisa menjamin, namun ini konflik batinnya sendiri. Saya menduga bahwa pikiran dan hatinyalah yang membuatnya jadi seperti ini. Kalau boleh tahu, dimana suaminya berada?”
“Su... Suami? Maksud dokter?”
“Dia sedang hamil, nona.”
Thursday, July 21th, 2011
Asan Medical Center, Seoul
Tanganku bergerak perlahan, matakupun mulai terbuka. Ruangan itu bernuansa krem dan putih. Ku tolehkan kepalaku ke kanan, dan tersimpan berbagai macam buah dan sebuah vas bunga yang diisi oleh bunga mawar segar. Aku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya aku sadar, bahwa aku sedang berada di rumah sakit.
Aku meraba wajahku sendiri, dan tanganku merasakan ada suatu alat yang menempel di wajahku. Dengan paksa, kulepas alat itu dan membuangnya sembarangan. Akupun duduk dan menatap jendela.
Seunghyun.
Seunghyun..
Seunghyun...
“Argh! Aku benci dia! Aku benci Seunghyun!!” Tanganku meraih vas bunga dan memecahkannya ke jendela. “Aku benci dia! Dia jahat! Bodoh!!”
“Astaga, Soyou-ya! Kau ini kenapa?!” Aku segera menoleh ke arah datangnya suara. Namun, sepersekian detik kemudian aku mengamuk. Kulemparkan segala macam benda yang bisa kuraih, termasuk bantal, infusan yang ada ditanganku, buah-buahan, kertas-kertas yang berada diatas meja, bahkan ku dorong tabung oksigen yang berada di sebelah kiriku.
Tak membiarkanku mengamuk lebih hebat, Minah datang dan memelukku erat sekali. Mataku merah dan tentu saja bengkak. Minah menangis sejadi-jadinya melihat keadaanku.
“Aku benci Seunghyun! Aku benci dia!!” Aku menjerit-jerit di pelukannya. Namun tak lama kemudian, pandanganku berkunang-kunang.
“Maaf, Minah-ssi, kau bisa meninggalkannya dan membiarkannya istirahat. Aku sudah memberinya obat bius untuk beberapa jam ke depan,” seseorang berjubah putih tiba-tiba muncul dari sampingku.
“Seunghyunku, Minah-ya... Seunghyun... Kembalikan dia...” Aku berbisik pada Minah, sedangkan ia hanya bisa tersenyum dalam tangisnya.
Setelahnya aku hanya bisa terisak sampai kantuk menyerangku dengan cepat.
Sunday, July 24th, 2011
Asan Medical Center, Seoul
Aku duduk menghadap ke arah jendela kaca. Di luar sana terdapat pemandangan sebuah danau dengan banyak pepohonan di sekitarnya. Aku duduk tenang dalam beberapa jam ini. Sama sekali tidak memikirkan apapun kecuali satu nama.
Choi Seunghyun.
Air mataku mengalir kembali tanpa ku sadari. Namun seolah sudah biasa, aku hanya membiarkannya mengalir tanpa perlu diusap.
“Soyou-ya?” Sebuah panggilan lembut ku dengar dari daun pintu.
“Ya, aku disini. Masuklah.”
Pintu terbuka dan muncullah sahabat baikku itu, dengan senyum manis yang setia menemaninya dimanapun.
“Bagaimana perasaanmu hari ini? Lebih baik?”tanyanya sembari mendatangiku dan duduk di atas kasurku. Aku berusaha untuk tersenyum.
“Yeah, kurasa seperti itu.”
Ia mengambil nafas panjangnya sebelum menatap mataku dengan tatapan ragu, “Soyou-ya, aku harus memberitahumu sesuatu.”
Aku mengerjap dan memiringkan kepalaku sedikit, “Apa itu?” Tanyaku cukup penasaran.
Minah menelan ludahnya sebelum membuka kembali mulutnya. “Dokter berkata padaku saat kau tidak sadar beberapa hari yang lalu,” Ia menyempatkan dirinya untuk menunduk dan menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Suaranya begitu bergetar tak terkendali. Aku terus menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Ia menatapku lagi, “Soyou-ya, kau mengandung.”
Aku membeku dengan mulut yang setengah terbuka. Mataku mulai berkaca-kaca.
“Kata dokter, usia kandunganmu baru memasuki bulan yang pertama.” Minah menggenggam erat tanganku tepat saat air mataku jatuh membasahi bajuku. “Kandunganmu sangat lemah, Soyou-ya. Kau terlalu stress untuk bisa mengandungnya.” Ia menjelaskan dengan nada yang sangat lembut.
Aku tidak bisa berkata apapun untuk membalasnya.
“Aku akan memberikanmu waktu untuk sendiri.. Jangan bertindak gegabah, ingat, sekarang sudah ada nyawa lain yang hidup di dalammu, Soyou-ya.”ujar Minah sambil tersenyum lalu berdiri dan segera meninggalkan ruanganku.
Tanganku bergerak perlahan menuju perutku yang masih rata. Aku menunduk dan kembali menangis dalam keheningan.
Wednesday, September 28th, 2011
Seoul Residence, Seoul
Semakin hari, kehidupanku semakin baik. Aku tidak lagi menghabiskan waktuku hanya untuk menggumamkan nama lelaki itu. Aku menemukan tujuan hidupku, yaitu untuk membesarkan buah hatiku ini sebaik mungkin dan aku akan membesarkannya sendirian.
Aku sudah pulang dari rumah sakit, dan aku sudah kembali ke rumahku yang dulu. Hanya saja ayahku meninggalkan ibuku, dan ibuku kabur dari rumah. Aku tidak mempunyai orangtua lagi. Aku benar-benar hanya sendirian, bersama dengan usia kandunganku yang makin bertambah.
“Hoek–“
“Hm... Keluarkan saja...”
“Ugh... Aku mual sekali... Hoek–“
“Sabar ya...” Minah terus mengurut tengkukku dan Heechulpun melihatku dengan prihatin. Sedangkan aku sedang menghadap ke wastafel.
“Maaf sudah merepotkan kalian,” Aku mengambil tisu dan membersihkan mulutku sendiri. “Aku sudah tak apa-apa, kalian pergilah. Pernikahan kalian kan sudah dekat..”
Minah menggeleng, Heechulpun menghembuskan nafasnya dengan berat. “Kami akan menjagamu, Soyou. Tenang saja,”
“Kalian sudah terlalu baik padaku.. Aku berhutang budi pada kalian.” Minah merangkulku dan tersenyum sebisanya.
“Bilang pada kami kalau kau butuh bantuan, ya?”
Aku mengangguk dan tersenyum. “Terimakasih banyak...”
Saturday, December 31th, 2011
Seoul Residence, Seoul
Aku mengelus perutku yang makin membesar ini. Kadang aku bisa merasakan tendangannya yang cukup kuat sampai aku harus berhenti beraktivitas sejenak. Kandunganku sudah enam bulan, semakin dekat dengan waktunya.Akupun semakin gencar mencari makanan dan metode senam ibu hamil supaya bayi ini akan sehat nantinya.
Hari ini adalah hari terakhir di tahun ini. Malam ini aku berencana untuk pergi ke pinggir pantai untuk mencari udara segar, sekaligus merayakan malam tahun baru.
“Kau yakin?” Wanita berparas cantik ini terlihat khawatir melihatku bersikeras untuk berjalan-jalan di malam tahun baru ini.
Aku mengangguk semangat, “Tentu, aku sudah lama sekali tidak jalan-jalan. Ibu hamil juga perlu refreshing, kan?”
“Kalau begitu, kami akan ikut saja.” imbuh Heechul saat mendengarku akan pergi. Aku segera menggeleng heboh.
“Tidak perlu, kalian bisa pergi sesuka hati kalian juga. Lagipula waktu berduaan kalian sudah tersita begitu banyak karena aku, kan?” ujarku pada mereka berdua. “Jangan membantahku, aku tetap ingin pergi tanpa kalian, oke?”
Malam ini cuacanya lumayan dingin. Maklum saja, ini musim penghujan. Aku berjalan perlahan menuju pantai yang kumaksudkan tadi. Dengan mengantongi banyak nasehat dan pesan dari Minah dan Heechul, aku diperbolehkan untuk berangkat sendiri. Senang sekali, akhirnya setelah masa-masa yang tidak menyenangkan, aku bisa berjalan-jalan lagi.
Sesampainya di pantai, sudah lumayan banyak orang yang berkumpul sekedar untuk makan ataupun berinteraksi dengan orang yang lainnya. Aku memilih untuk duduk di suatu kursi pantai yang panjang dan terbuat dari kayu.
Kulirik ponsel yang diberikan oleh Minah kepadaku tadi, masih menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Aku menghela nafas saat angin malam menerpa rambutku.
Andai saja dia ada disini... Di sebelahku dan menggenggam tanganku erat...
“Apa disini kosong?” Aku lumayan kaget saat ada seseorang yang menyapaku. Aku lantas tersenyum dan mengangguk.
“Ya, tentu saja. Silahkan,”
“Terima kasih.” Pemuda itu kembali tersenyum dan duduk di sebelahku. Menit-menit berlalu hanya dengan keheningan. Akhirnya, akupun bosan dan memutuskan untuk memulai percakapan.
“Kau sendirian kemari?” tanyaku sembari menoleh pada pemuda ini. Iapun menoleh dan mengangguk. “Kemana pacarmu?”
Ia tertawa kecil, “Dia meninggalkanku,”
“Ah, benarkah? Maafkan aku, aku tidak bermaksud begitu..” Aku jadi menyesal telah membuka percakapan yang buruk.
“Tak apa-apa,” Pemuda ini tersenyum kecil. “Dan kau? Kemana ayahnya?” tanyanya saat menyadari bahwa aku sedang hamil. Aku tersenyum kecil juga.
“Dia meninggalkan kami,”
Lelaki itu tersentak sebentar, “Kenapa? Lelaki macam apa yang tega meninggalkan keluarganya?”
“Entahlah, sampai sekarang aku masih mencari jawabannya...”
Keheningan kembali melanda kami.
“Omong-omong, namaku Baekhyun,” ujarnya untuk mencairkan suasana. “Dan kau?”
“Soyou. Panggil aku Soyou.”
Malam itu menjadi malam perkenalan yang singkat antara aku dan Baekhyun. Setelahnya, kami bertukar nomor telepon dan ternyata ia tinggal di dekat rumahku. Dia juga menawarkan sejumlah pekerjaan bagiku. Figurnya yang baik dan ceria membuatku mudah mengenalnya dan diapun menunjukkan ketertarikannya pada kisah hidupku. Pengetahuannya yang luas tentang dunia luar, membuatku sangat penasaran.
Kami terlalu asyik mengobrol sampai akhirnya muncullah puluhan kembang api yang dinyalakan bersama-sama ke langit. Kami menatapnya hampir tanpa berkedip sedikitpun.
“Indah sekali...”
Malam itu, aku larut dalam pembicaraan dengannya sampai akhirnya aku lupa, siapa itu Choi Seunghyun.
Wednesday, March 7th, 2012
Asan Medical Center, Seoul
Keringat mengucur di sekujur tubuhku. Kontraksi di perutku sudah tak tertahankan lagi. Detak jantungku tak beraturan. Aku tak pernah kesakitan sesakit ini di bagian perutku.
“Nona Soyou, bertahanlah! Berdoa dan ingat bernafas. Dorong terus!” Seorang dokter kandungan sudah siap menanganiku. Terangnya lampu di ruangan itu tak membuatku patah semangat. Aku mencengkram lengan seorang pemuda yang berada di sisiku. Ia juga ikut menyemangatiku.
“Ayo Soyou-ya, kau bisa! Dorong terus!”
“Ghh– Hah, hah... Aargh!” Aku hanya bisa mengerang kesakitan saat harus memusatkan tenagaku pada otot-ototku yang dibawah sana. Cengkramanku pada lengannya makin erat, mungkin sekarang sudah meninggalkan beberapa luka lecet disana. Tapi aku tidak peduli, aku hanya fokus untuk melahirkan bayi ini ke dunia.
“Kepalanya sudah terlihat! Ayo terus nona, sebentar lagi!”
“Gaaah–! Hah, hah... Ngh!” Aku terus berusaha tanpa memperdulikan sekitar.
“Ya, ya, sedikit lagi nona! Tetap kuat, ya!” Sang dokter sepertinya sudah memegang kepala bayiku. Itu membuatku semakin bersemangat untuk mengejan lebih kuat lagi.
“Kau pasti bisa, Soyou-ya! Terus dorong sekuat tenagamu!”
“Hah, hah... Ngggg–!”
Dorongan terakhir yang sangat kuat membuat dokter terdiam sebentar. Aku terengah-engah, melahap oksigen sebanyak-banyaknya. Tak lama kemudian, tangisan terindah di dunia kudengar dari sana.
“Soyou-ya, kau berhasil..” Pemuda itu tersenyum padaku, menghapus peluh-peluh yang berada di wajah dan leherku.
“Baekhyun-ah, aku ingin melihatnya..” ujarku lemah.
Dokterpun bangkit berdiri dan memperlihatkan seorang bayi yang masih dilumuri oleh darah, namun ia sudah bergerak dan menangis sangat keras. “Selamat, Nona Soyou. Bayimu perempuan dan tubuhnya sehat tanpa kecacatan apapun. Dia sangat cantik.”
Air mata bahagiaku tak bisa terbendung lagi.
Monday,May 12th, 2014
Incheon International Airport, Seoul
“Tiketmu sudah ada?” Pemuda itu berjongkok dan menatap seorang gadis kecil yang keasyikan menatap kanan-kiri, melihat banyak sekali orang yang berlalu-lalang. Gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum manis sekali.
“Hum! Nde,ini cudahada di tangan Naeun.” Anak itu menggenggam erat tiket pesawatnya.
“Bagus, jangan sampai hilang, ya.” Ujarnya lalu menepuk kepala si anak kecil. Ia akhirnya berdiri, menggendong anak itu dan menghampiri seorang pemuda lainnya dan dua orang wanita yang sedang berpelukan.
”Soyou-ya, jangan terlalu lama disana, aku pasti akan merindukanmu!” Minah memelukku dengan sangat erat, sedangkan aku hanya bisa tertawa kecil mendengarnya.
“Hey, jangan erat-erat, kau kan sedang hamil. Nanti kasian bayimu tertekan oleh perutku,” Ujarku lantas melonggarkan pelukan. Minahpun tertawa kecil dan kami melepaskan pelukan. “Heechul, jaga Minah baik-baik. Kau akan kuhabisi jika membuat Minah bersedih atau bahkan–“
“Iya, iya, tenang saja. Aku mencintainya lebih dari apapun di dunia ini.” Heechul menatap Minah sebentar sebelum menatapku lagi. Ia memelukku sebentar, “Jaga kesehatanmu ya, disana. Jangan lupa untuk mengabari kami.”
Aku mengangguk dan tersenyum manis, “Aku akan merindukan kalian.” Minah kembali memelukku.
“Soyoooou!”
“Hei, penerbangan tidak akan ditunda untuk melihat kalian berpelukan lagi,” Pemuda yang sedang menggendong anak itupun muncul dari belakangku. Aku tersenyum lalu melepaskan pelukanku dengan Minah.
“Naeun, pamit dulu dengan Heechul-ahjussi dan Minah-ahjumma.” ujarku sembari menunjuk Minah dan Heechul bergantian. Naeun mengangguk dan minta diturunkan oleh lelaki itu.
“Ahjucci, ahjumma, Naeun pamit dulu yaaah, Naeun mau naik pecawat!”Suara khas dari anak umur dua tahunan itu terdengar, membuat Minah tertawa kecil.
“Naeun hati-hati ya.. Ingat pesan eomma-mu dan ikuti nasehat Baekhyun-jussi, ya? Jangan menjadi anak yang nakal disana,” Minah mengelus lembut kepala anak perempuanku itu. Aku ikut tersenyum melihatnya.
“Kalau begitu, aku juga pamit,” Baekhyun tersenyum singkat dan memeluk Heechul sekilas. “Jaga Minah baik-baik ya.”
“Kau juga, Soyou tidak boleh lecet sedikitpun.”
Akupun melirik jam tanganku, “Sudah waktunya,” Aku menghela nafas panjang. “Kami pergi dulu, ya! Sampai jumpa lagi.” Kami bertigapun berpisah dengan pasangan muda itu, dengan lambaian tangan.
”Eomma, kita mau pelgi kemana, cih?” Pertanyaanpun keluar tak lama sebelum kami menyerahkan passportke pihak yang bertugas. Aku tersenyum dan menjawabnya dengan lembut.
“Kita akan ke Perancis, sayang.”
Tuesday, May 13th, 2014
5th District, Rue Daubenton ParisParis, France
Alasan kami pergi ke Perancis bukan karena aku ingin menemui lelaki yang telah meninggalkanku itu. Aku hanya ingin bepergian dengan anakku, dan tentu saja dengan pemuda yang sudah mengisi kehidupanku selama hampir dua tahun itu. Lagipula Baekhyun juga di pindahtugaskan kemari.
“Lucu ya, wajahnya saat tertidur,” Pemuda itu mengelus helaian rambut yang cukup tebal dari seorang anak kecil yang sedang tertidur.
Aku tersenyum sembari mengelus pipinya yang berisi. “Dia lebih banyak mewarisi wajah ayahnya.”
Lelaki itu menatapku lurus, “Bukankah dia juga melanjutkan studinya di sini? Kau tidak mau mencari keberadaannya?”
Aku menggeleng lalu beranjak dari kasur Naeun. “Lupakan saja,”
“Hei..” Ia menyusulku untuk keluar dari kamar anakku yang sedang tertidur lelap itu. “Bagaimanapun juga, dia adalah ayah dari Naeun, kan?”
“Baekhyun-ah, cukup. Aku tidak mau mendengarkan apapun tentangnya,” Aku menghela nafas dan berjalan ke arah kamar tidur. “Aku sudah melupakannya.”
Baekhyun terkekeh sesaat dan terus mengikutiku. “Ya, ya, terserah padamu saja.” Ia menutup pintu dan segera berbaring di atas kasur.
“Besok antarkan aku dan Naeun ke taman, ya? Kurasa Naeun perlu berinteraksi dengan sesama anak kecil.” ujarku sembari menoleh ke arahnya. Ia mengerang sedikit, memberi respon kepadaku.
“Tapi kau akan pulang sendiri, tak apa? Aku sudah harus berada di kantor jam 8 pagi.”
“Tak apa, aku bisa naik taksi,” kataku sebelum aku akhirnya merebahkan diriku di sampingnya. Mataku nanar menatap langit-langit.
Baekhyun mengubah posisinya menjadi menyamping, menatapku dengan mata yang tenang. “Soyou-ya,” Aku balik menatapnya. “Benarkah kau sudah melupakannya?”
Aku tak menjawabnya, mungkin itu pertanyaan paling sulit disepanjang hidupku.
Wednesday, May 14th, 2014
Parc naturel régional de la Forêt d'Orient, France
“Eomma, lihat ini!” Aku tersadar dari lamunanku dan memfokuskan pandangan ke Naeun yang menarikku ke tumpukan pasir. “Naeun membuat cecuatu buat eomma!”
“Hm? Apa itu, Nak?” Aku berjongkok dan melihat sebuah gambar khas anak kecil yang amburadul. Yang bisa kuteliti adalah sebuah gambar dimana ada seorang ibu yang sedang menggandeng tangan anak kecil, dan anak kecil itu menggandeng tangan seorang ayah. Aku tersenyum miris melihatnya. “Itu siapa saja, hm?”
“Ini eomma,” Ia menunjuk gambar seorang ibu. “Ini Naeun!” ujarnya bersemangat saat menunjuk dirinya sendiri. “Lalu ini Baekhyun-ahjucci.”
Ya, tentu saja. Sejak lahir ia tak mengenal siapa ayahnya yang sebenarnya, batinku di dalam hati. Aku tersenyum sebisa mungkin menanggapinya. “Ayo pulang, eomma mau memasak masakan favoritmu, Naeun-ah.” ajakku sembari menggendongnya. Iapun memberikan senyuman manisnya kepadaku.
“Cup daging capi yang enak itu, eomma? Yeaaaay!” Naeun berseru dengan sangat senang, aku jadi tertawa melihatnya. “Ayo kita pulang, eomma! Naeun tak cabalingin makan!”Akupun mengangguk dan menurunkannya. Namun ia langsung berlari dengan cepat dan keluar dari taman.
Aku sangat kaget sekaligus panik. “Naeun-ah! Tunggu!” Aku ikut berlari semampuku, dan mengikuti Naeun yang sudah jauh di depan dan tenggelam di kerumunan banyak orang yang lalu lalang. Taman ini sangat luas dan diluar taman ini, berpapasan langsung dengan jalan raya. Cerobohnya diriku, kutukku pada diri sendiri. “Naeun!”
Aku berlari dan terus berlari, namun kakiku tidak kuat lagi sampai akhirnya aku berhenti sembari mengatur nafasku. “Astaga, Naeun... Dimana kau, Nak?” Aku bergumam, melihat sekitar. Yang bisa kulihat hanyalah sekumpulan banyak orang yang sedang berlalu-lalang dengan cepat, tentu saja itu orang-orang kantoran. “Naeun!” Aku tetap berteriak dan kembali berjalan cepat, mencari putriku.
Merasa putus asa, aku segera menelepon Baekhyun. Tak peduli dia sedang sibuk atau tidak. “Halo, Baekhyun? Naeun hilang,” Aku merasakan sebulir airmataku mengalir turun ke pipiku. “A- Aku tidak bisa mengejarnya, ia berlari dengan sangat cepat keluar dari taman.. Bagaimana ini?” Aku mendengarkan respon dari Baekhyun di seberang sana, dan mengangguk cepat. “Baik, di pintu gerbang taman yang tadi, ya.” Akupun mengakhiri panggilanku.
Aku menggigiti kuku-ku dengan putus asa, membiarkan airmataku mengalir begitu saja. Bodohnya aku, aku harusnya menggandeng tangan anak itu. Aku harusnya tidak membiarkan dia berlari sendirian!
“Eomma!” Aku tersentak. Itu suaranya! Akupun segera menoleh ke belakang dan dengan cepat sesosok gadis kecil menabrakku, memelukku dengan erat. “Eomma!”
“Astaga, Naeun-ah, kau kemana saja?” tangisku hampir pecah disana, namun kutahan dan segera memeluknya dengan erat juga. Aku merasakan tubuhku gemetar, sedangkan raut wajah Naeun sepertinya sangat senang. “Kau kemana saja, hm? Eomma khawatir, eomma tadi tak bisa mengejarmu!” Aku bertanya sembari menatap matanya yang sedang sumringah.
“Tadi Naeun melihat ceolang yang beljualanecklim! Naeun bellalicupayaecklimnya tidak habic dibeli oleh olang lain!” Naeun menjelaskan dengan tertatih-tatih, mungkin karena ia juga merasa lelah. “Lalu Naeun beltemu dengan ah-jucci yang cangat baik! Dia membelikan Naeun ecklim laca ctawbeli!” Naeun tertawa dengan riangnya. Aku menghela nafas dengan lega, beruntung ia selamat.
“Lain kali jangan berlari tiba-tiba, Naeun-ah... Kita kan bisa membuat eskrim sendiri..”
Naeunpun tiba-tiba berbalik kebelakang dan menarik tanganku untuk berdiri dan kembali berlari. “Ayo, ah-juccinya macih ada dicana!” Aku hanya bisa mengikutinya dengan tanda tanya besar, sekaligus mau berterima kasih kepada orang yang telah menyelamatkan nyawa anakku ini.
“Ah-jucci! Ini eomma Naeun!” katanya sembari menarik pelan tangan seorang pria berjas dan berpakaian sangat rapih. Pria itu menoleh, baru saja mau tersenyum ke arahku.
Aku tak dapat bergerak. Aku tak dapat bernafas. Oksigenku direbut secara paksa. Aku kaku. Aku mati rasa. Aku hampa. Aku kosong. Aku hilang. Sama seperti perasaanku yang sudah ku kubur dalam dalam beberapa tahun yang lalu. Sosok yang menjadi segalanya bagiku. Kini kembali, tepat di depan mataku.
“Soyou-ya?” Suara bariton yang sangat aku rindukan. Yang selalu ada dimimpi-mimpiku. Yang selalu menghiasi pikiranku, menyadarkan aku. Aku tak dapat berkata-kata, yang kulakukan hanyalah menggenggam erat tangan Naeun yang sedang memunculkan tatapan bingung. “Kaukah itu?”
“Eomma?” Naeun kecil menatapku, penasaran dengan tubuhku yang tidak bergerak sama sekali.
Disaat itulah rasa sakit itu menyengat kepalaku. Rasa sakit yang tak pernah kurasakan lagi sejak beberapa tahun silam, menyerbuku dengan ganas. Aku mengerang kesakitan dan tubuhku lantas tak seimbang. “Agh–!”
“Soyou!”
Hanya itu kalimat yang terakhir ku dengar darinya. Sebelum semuanya menjadi gelap.
The Hôtel-Dieu de Paris, France
“Bagaimana keadaannya, dok?”
“Kami sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Namun, sepertinya ada keanehan yang kami temukan di bagian kepalanya,”
“Apa itu, dok? Apa berbahaya?”
“Kami menemukan suatu penyakit yang ganas seperti kanker, namun tak menemukan adanya sel-sel kanker di otaknya. Dan penyakit ini tak bereaksi pada organ yang lainnya. Kalau dikatakan tumor tak ganas, kami juga tidak menemukan adanya benjolan di kepalanya. Kami percaya bahwa penyakit ini sangat langka sehingga kami belum bisa memberikan kepastian. Atau mungkin ini menyerang salah satu saraf di otaknya, sehingga ia mudah sekali drop di saat-saat tertentu.”
“Apa yang bisa kami lakukan untuk kesembuhannya, dok?”
“Kami akan memberikan yang terbaik. Penyakit ini hanya kambuh disaat-saat tertentu. Apa tuan dan nona tahu, kalau Nyonya Soyou sudah pernah mengalami kecelakaan?”
“Ke- kecelakaan?!”
“Ya, karena kami mendeteksi adanya luka yang sudah di jahit di kepalanya.”
“...Dia memang pernah kecelakaan waktu kelas 2 SMA. Namun dia tak pernah berkata apapun tentang penyakitnya ini.”
“2 SMA? Saat dia masih bersama Seunghyun?”
“Kurasa begitu. Namun aku tak pernah melihatnya pingsan seperti ini semasa SMA. Lalu dok, bagaimana caranya supaya dia bisa sembuh?”
“Kami tak bisa jamin untuk menyembuhkannya secara menyeluruh. Kami sarankan untuk membuatnya bahagia dan tidak punya banyak pikiran yang berat, kalau anda tidak mau melihatnya tersiksa oleh penyakitnya itu. Dan berdoalah sebanyak-banyaknya, Baekhyun-ssi.”
“Membuatnya... Bahagia?”
“...Baekhyun-ah. Relakan dia untuk Seunghyun.”
“Oppa!”
“Apa? Aku benar, kan?”
“Minah-ya, Heechul-hyung benar. Soyou akan bahagia dengan Seunghyun.”
“Lalu...? Bagaimana denganmu?”
“Well... Aku masih bisa menjadi saudara angkatnya. Asal aku masih bisa melihatnya, tak apa.”
Saturday, May 17th, 2014
The Hôtel-Dieu de Paris, France
Mataku terbuka perlahan, kini aku kembali ke ruangan bernuansa krem dan putih ini. Agak sedikit berbeda, karena ruangan ini jauh lebih besar daripada di negara asalku.
“Soyou-ya? Kau sudah sadar?” suara seseorang yang sudah ku kenal membuatku melirik sosoknya. Ya, dia ada disana.
“M.. Minah?” Wanita dengan paras cantik itu kembali tersenyum. “Ba.. gaimana bisa... Kau ada...?”
“Sstt, jangan terlalu banyak berbicara,” Minah berbisik padaku. Lalu ia menatapku dengan raut wajah yang prihatin, namun ia masih bisa tersenyum. “Baekhyun menghubungiku tentang keadaanmu. Heechul dan aku segera terbang kemari,” Ia membenarkan posisi duduknya dan mengelus rambut panjangku.
“Kau...” Jujur, aku kaget. Minah yang sedang hamil tujuh bulan harus terbang kemari, hanya demi diriku. Minah menggeleng, mengisyaratkanku untuk diam. “Naeun..?”
“Ia diajak oleh Baekhyun untuk pergi sebentar. Daritadi Naeun tak bisa berhenti menangis kalau melihat kau disini.” Minah menjelaskan sembari menghela nafasnya. “Sudah, jangan banyak berbicara. Kau harus banyak istirahat, ya? Dan...” Kalimatnya menggantung, ia menatap kosong ke bawah. Aku mengerutkan dahiku, menunggu kalimatnya selesai. Minah mengangkat kepalanya dan menatapku. “Ada yang menunggumu.”
Ia bergeser dari kasurku dan aku melihat sesosok pria yang sedang tidur di sofa di depan kasurku. Ia mengenakan kemeja putih yang lumayan acak-acakan, dengan dasi yang sudah tak berbentuk lagi. Aku terhenyak.
“Kau tadi pingsan saat bertemu dengannya. Dan beberapa detik berikutnya, Baekhyun datang. Mereka berdua membawamu ke rumah sakit,”
Aku menatapnya. Wajahnya tak berubah dari pertama kali aku bertemu dengannya. Alis dan garis matanya yang dalam, membuat siapapun bisa jatuh hati seketika padanya.
“Aku harus menyusul Heechul-oppa, Soyou-ya. Tak apa, jika kau kutinggal sendiri?” Minah menatapku khawatir. Aku menggeleng dan mencoba untuk tersenyum.
“Aku sudah.. lebih baik daripada yang tadi.”
Iapun tersenyum dan bangkit berdiri secara perlahan. “Aku tinggal sebentar ya.” Lalu ia pergi dan menutup pintunya dengan hati-hati.
Aku masih menatapnya. Nafasnya yang teratur terdengar di ruangan ini.Akupun mencoba untuk duduk. Kepalaku masih sedikit sakit, namun rasa rinduku melebihi apapun. Kucoba untuk menurunkan kedua kakiku ke lantai, dan terpaksa membawa infusan karena jarumnya tertanam di tangan kananku.
Aku mengela nafas panjang sebelum akhirnya sukses berdiri dan berjalan perlahan, menghampiri lelaki itu. Ia tertidur sangat pulas sepertinya. Aku tersenyum kecil saat bisa menatapnya dari dekat. Ia makin tampan, batinku berbicara. Kuraih pegangan di ujung sofa, dan mencoba untuk duduk di samping kepalanya. Sangat perlahan, sampai akhirnya aku bisa duduk dengan nyaman.
Tanganku bergetar hebat saat menyentuh rambut hitamnya. Kenangan demi kenangan lewat di kepalaku. Tanganku turun ke dahi lalu ke pipinya. Kulitnya halus sekali. Sama persis seperti yang terakhir kali ku sentuh.
“Hei.”
Aku terkejut bukan main saat suara baritone itu menyerbu pendengaranku. Tangannya bergerak untuk menggenggam tanganku yang sedang asyik menyapu semua bagian di wajahnya.
“H- Hei..” Aku menjawabnya, dengan suara yang gemetar dan hampir tak terdengar.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”tanyanya. Matanya yang teduh menatapku lurus. Aku mencoba untuk tersenyum.
“Tidak pernah sebaik ini.”
“Soyou-ya...”
Aku tak mampu berkata-kata lagi. Emosiku pecah saat itu juga, bulir-bulir airmataku kembali mengalir dengan deras. “Kau bodoh.”
Ia tersenyum, “Ya. Aku memang bodoh.”
“Kau jahat.”Airmataku semakin deras. “Aku membencimu, Seunghyun-ah.”
“Aku sangat mencintaimu, Soyou-ya.” jawabnya lembut sebelum ia menarik leherku perlahan untuk menunduk, dan membawa bibirku untuk menyatu dengan bibirnya.
Dan sekali lagi, rintik-rintik air hujan membasahi jendela rumah sakit.
Monday, May 19th, 2014
Paris Charles de Gaulle Airport, France
“Baekhyun-ssi, senang sekali bisa mengenalmu. Terimakasih banyak atas segalanya. Aku berhutang budi padamu.” Kedua pria itu berjabat tangan dan saling tersenyum.
“Sebuah kehormatanku bisa mendampingi Soyou selama kau tak ada. Aku akan tetap jadi saudara angkat laki-lakinya,” Baekhyun melirikku dan membuatku tersenyum. “Kau sangat beruntung bisa mendapatkannya, Seunghyun-ssi. Dia wanita yang baik, kecuali saat melahirkan.”
Tawaku pecah saat Baekhyun mengatakan itu. Ya, memang waktu itu aku meninggalkan bekas cakaran yang lumayan dalam di lengannya saat berjuang melahirkan Naeun. “Aku kan sudah minta maaf, Baek-ah.” Ia terkekeh sebentar.
“Seunghyun-ssi, jangan sekali-kali lagi kau meninggalkannya.” Seunghyun mengangguk mantap.
“Itu hanya bagian dari aku yang dulu.”
“Kalau begitu aku harus pergi, pesawatku akan berangkat sebentar lagi.” Baekhyun melirik tiket yang ia pegang.
“Baekhyun-ah,” panggilku padanya sebelum aku memeluknya erat. “Jaga dirimu baik-baik. Jangan sungkan untuk mampir, aku sangat berterima kasih padamu. Kalau ada sesuatu, panggil aku saja.” Baekhyun tersenyum dan mengangguk.
“Baekhyun-ahjucci!” Suara khas anak kecil memanggil namanya. Baekhyun segera tersenyum lebar dan menggendong Naeun. “Ahjucci, jangan lupa main lagi cama Naeun, ya? Naeun pactimelindukan ahjucci.”
“Pasti. Nanti saat liburan, aku akan datang untuk mengajakmu bermain. Oke?” Baekhyun mengecup kening Naeun, membuat anak kecil itu sumringah sekali. Iapun menurunkannya. Anak bersurai hitam legam itu berlari ke arah Seunghyun, dan iapun menggendongnya.
“Safe flight.” ujar Seunghyun saat Baekhyun mengangkat kopernya. Iapun melambaikan tangannya kearah kami. Naeun membalasnya dengan lambaian tangan yang heboh.
Aku menatap kepergian Baekhyun dengan setengah hati. Lelaki itu sudah banyak sekali berkorban untukku.
“Eomma,” Naeun yang ada di gendongan ayahnya, memanggilku dengan lembut. Seunghyun dan aku refleks menoleh.
“Ya?”tanyaku.
“Naeun ingin punya adikbalu.”
˹ THE END ˺
Cast:
- Choi Seunghyun (TOP Bigbang)
- Soyou (Soyou Sistar)
- Bang Minah (Minah Girls’ Day)
- Heechul (Heechul SJ)
- Naeun (Naeun A-Pink)
- Byun Baekhyun (Baekhyun EXO)
Genre: Romance, including a little Mature Content (smut 18+)
NB: Disini FF ini, Seunghyun, Soyou, Minah, dan Baekhyun memiliki UMUR yang sama.
Selamat membaca!
Our Rain
Friday, Desember 25th, 2009
Hanyoung Foreign Language High School, Seoul
Sore ini, hujan sangat lebat mengguyur kotaku.Angin membuatku kembali mengeratkan pelukanku pada tas sekolah yang berada di depanku, serta membuatku menarik nafas sebanyak-banyaknya.
Ck, aku benci hujan lebat seperti ini. Apalagi tidak ada kendaraan yang dapat kutumpangidari sini. Aku harus berjalan kaki untuk mencapai jalan yang lebih besar supaya aku bisa naik kendaraan umum.Memang sudah diprediksi oleh badan pengamat cuaca, kalau bulan-bulan ke depan ini akan menjadi musim hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi.
Aku tertegun melihat sekumpulan bocah yang hujan-hujanan di pinggir jalan. Sepertinya mereka bahagia sekali. Tanpa sadar, akupun tersenyum. Namun tak berlangsung lama, aku tersadar dari lamunanku dan segera membuka payung lipat yang sedari tadi kupegang. Sebenarnya aku ragu untuk menerobos hujan selebat ini, tapi apa boleh buat.
“Hujan ini sangat lebat, Soyou-ya, kau yakin akan menerobosnya hanya dengan payung?” Suara bariton seseorang dari belakangku terdengar sedikit khawatir. Aku hanya tersenyum miris.
“Bagiku ini sudah biasa, jangan khawatir,” ujarku lalu sedikit memperlihatkan deretan gigiku. “Lagipula besok libur, kalau aku masuk anginpun aku bisa beristirahat seharian di rumah.”
Kulihat dia terkekeh sambil mendengus kesal, “Kau ini. Jadilah perempuan sesekali,” ujarnya sebelum mengacak-acak rambutku. “Tapi kebetulan aku bawa mobil.”
Aku cepat-cepat menggeleng. “Aku tidak mau menjadi obat nyamuk antara kau dengan Minah. Tidak enak tahu, hanya jadi pajangan!” kataku mentah-mentah. Iapun tertawa lepas setelah mendengar reaksiku.
“Daripada kehujanan, kan?”
“Tidak mau. Sana pergi, aku yakin Minah sudah menunggumu di sana. Jangan membuat seorang wanita menunggumu, Heechul-ah.”jawabku dengan imbuhan sedikit sarkasme. Bahkan aku tidak menghormati usianya yang terpaut jauh lebih tua dariku. Ia hanya terkekeh sebelum menyenggol sikuku.
"Yak, enak sekali kau memanggilku dengan panggilan itu.” ucapnya dengan lirikan sebal terhadapku. Aku hanya menjulurkan lidahku sebagai respon untuknya.
“Cepat sana! Nanti Minah-mu diambil orang.”
“Ck, iya, iya. Kau hati-hati ya, aku pergi duluan.” ujarnya sambil menepuk pundakku. Aku mengganguk dan melambaikan tanganku padanya. Sosoknyapun hilang ditelan air hujan yang begitu lebat, sampai-sampai aku sedikit khawatir apa dia bisa menemukan mobilnya di tengah hujan setengah badai ini.
Rencananya, sih, aku menunggu hujan ini reda sedikit. Karena setelah kuperhitungkan untung dan ruginya menerobos hujan selebat ini, nyaliku jadi ciut untuk melakukannya. Namun ternyata aku salah. Makinmalam, hujan ini makin lebat dan tidak ada tanda-tanda untuk berhenti. Sudah satu setengah jam aku berdiri sendiri di halte bus ini, rasanya lelah juga. Akhirnya, kuputuskan untuk menerobosnya saja.
“Semoga Tuhan menyertaiku,” gumamku pelan sebelum menginjakkan kaki ke luar dari halte ini.
DAR!
Sebuah suara yang menggetarkan tubuhku terdengar dengan amat keras. Petir kini menyambar tepat di atas halte ini. Dengan segera, kutarik lagi kakiku. Oh, tidak. Apa ini artinya Tuhan tidak ingin aku pulang?
“Kau takut petir, nona?” Lagi-lagi, suara dengan intonasi yang sangat rendah menyerbu telingaku. Kutolehkan kepalaku ke arah suara itu, dan ternyata hanyalah seorang pria asing. Pria ini lumayan tinggi, mungkin sepuluh sampai lima belas centimeter diatasku. Seragamnya menyatakan kalau ia berasal dari sekolah yang sama denganku.
“Kalau petirnya menyeramkan seperti yang tadi, aku takut,” jawabku sembari menatap langit yang sudah gelap, dengan kilatan petir yang menghiasinya. “Jangan panggil aku nona. Panggil saja Soyou. Rasanya tua sekali disapa begitu.”
“...Soyou, ya..” Ia sedikit terkekeh. Aku juga merasa bodoh saat menyadari ucapanku. Untuk apa mengenalkan diri pada seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya.
“Dan... Kau?” Tanyaku, ragu dan sangat awkward.
“Panggil saja aku Seunghyun.” ujarnya singkat.“Jadi... Kapan kau akan pulang? Ini sudah hampir jam tujuh malam.”imbuhnya lalu mengalihkan pandangannya; ikut menatap langit. Aku, yang tadi memfokuskan tatapan hanya pada langit dan jalananpun akhirnya memperhatikan lelaki misterius ini. Wajahnya terlihat santai walau rambutnya sudah terkena air hujan sebagian. Jaket tebal yang ia gunakan juga sudah basah.
“Tidak tahu... Mungkin jika hujannya reda sedikit, aku akan menerobosnya,” kataku lalu menghela nafas panjang. “Dan kau? Kenapa kau tidak pulang?”
Ia memasukkan kedua tangannya ke kantung jaketnya, “Aku baru saja selesai mengerjakan tugas. Dari tadi aku memperhatikanmu, lucu sekali,” Ia tertawa kecil dan membuat lesung di pipinya terlihat.
Aku mendengus kesal, apa-apaan? Aku malah jadi lelucon baginya. Lagipula, apa lucunya seseorang yang menunggu hujan reda? Akupun hanya bisa memberi tatapan tidaksuka-ku padanya. “Lalu urusanmu apa?”
Lelaki itu sedikit terhenyak mendengar nada bicaraku yang tiba-tiba berubah. “Hei, aku tidak bermaksud untuk menjadikanmu bahan tawaan bagiku,”
“Ya, ya, ya. Terserah padamu, Seunghyun-ssi. Aku ingin pulang saja.” ujarku lalu kembali membuka payung lipatku. Ia mengerjap beberapa kali sebelum menyadari kalau dirinyalah penyebab aku jadi hilang mood.
“Yak! Tunggu!”ia sempat berbicara beberapa kata lagi, namun sudah tak kudengar karena kedua kakiku sudah melangkah pergi. Aku kesal sekali! Tanpa menoleh kanan-kiri, aku menyeberang jalan. Lagipula saat ini hujan sangat lebat. Aku berani bertaruh kalau tidak akan ada pengendara kendaraan bermotor yang nekat memacu kendaraannya di cuaca seburuk ini.
“Hei!”seruan itu sampai ke telingaku dan aku refleks saja menoleh ke belakang. Kulihatseorang lelaki dengan badan yang sudah sangat basah berlari sekuat tenaga dari arah halte tadi. Oh, itukah kau, yang membuat suasana hatiku jadi suram? Akupun hanya mendengus dan kembali berbalik badan.
Namun, beberapa detik setelah aku kembali berjalan, sebuah hentakan yang sangat kuat membuatku kaku seketika. Rasanya, ada gesekan yang terjadi antara kulitku dengan benda yang permukaannya sangat kasar.
Dan ketika aku membuka mataku, kudapati wajahku menatap langit yang mendung.
Saturday, December 25th, 2010
Hanyoung Foreign Language High School, Seoul
Butiran-butiran air mulai membasahi rambutku. Tadinya sedikit, sekarang rambutku sudah basah semuanya. Aku juga tak membawa payung sama sekali, bodohnya aku.
Aku berjalan tergesa-gesa melewati hujan yang mulai menjadi besar ini. Akhirnya kuputuskan untuk berteduh di sebuah halte kosong. Sepersekian detik setelah aku menjejalkan kakiku ke sana, hujan bak air bah yang mengalir dari langit langsung menghantam bumi. Aku yakin dengan hujan sedahsyat ini, kolam renang sedalam puluhan meter bisa terisi hanya dalam beberapa detik.
Kuraih telepon genggamku dan menekan beberapa tombol disana dengan lincah. Setelah beberapa saat, kudekatkan alat itu ke telingaku. Terdengarlah ritme yang sama setiap detiknya sebelum akhirnya ada seseorang disana yang mengangkat teleponku.
“Halo, sedang dimana?” sapaku pada orang diseberang sana. Aku mendengarkan penjelasan darinya sebentar.
“Aku sedang berteduh di halte dekat tempat latihanmu,” Aku sedikit terkekeh mendengar respon darinya. “Yak, tidak usah, kau sedang ada latihan, kan? Jangan memaksakan diri, aku bisa naik taksi.”
Aku mendengus mendengar seseorang yang disana tiba-tiba menjadi lebih cerewet daripada aku, “Aku sudah bilang tadi― Hei? Halo? Astaga,” tiba-tiba saja pembicaraan kami terputus dan ini membuatku sangat jengkel. Ia selalu begini, keputusannya selalu tak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Tak lama kemudian, muncul sebuah mobil sedan berwarna hitam mengkilat di hadapanku. Aku kembali mendengus melihatnya, namun segera kulangkahkan kaki begitu pintu mobil itu sedikit terbuka.
“Yak, sudah kubilang kan, jangan menjemputku.” ujarku sesaat setelah aku duduk di jok mobilnya. Lelaki berbaju basket berwarna merah dengan rambutnya yang acak-acakan itu, tersenyum ke arahku. Kelelahannya saat bermain basket masih terlihat jelas dari nafasnya yang tak teratur, atau mungkin karena terburu-buru berlari mengambil mobilnya untuk menjemputku, aku juga tidak tahu.
“Santai saja, hanya latihan biasa.” Katanya sembari mulai menancap gas. Aku hanya menghela nafas sambil menggeleng pelan. Kuarahkan pandanganku ke luar kaca jendela.
“Hujannya deras sekali...” Gumamku pelan, “Ini mengingatkanku pada setahun yang lalu.”
Kulihat dia menoleh sebentar dan kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan. “Yeah, hari ini memang tepat satu tahun.” Ia menghela nafasnya. “Apa kau masih trauma dengan hujan?”
Aku terkekeh pelan menanggapinya dan refleks menyentuh kepalaku. “Sudah tidak lagi karena jahitannya sudah menyatu dengan kulitku. Dulu, setiap kali aku menyentuhnya aku sangat ketakutan, bahkan saat hujan turun yang bisa kulakukan hanya meringkuk di kasur saja. Tapi efek samping dari kecelakaan itu, aku jadi mudah sakit kepala jika memikirkan sesuatu.”
“Jangan memikirkan sesuatu kalau begitu,” Ujarnya lalu melirikku. “Tetapi hujan itu juga yang membawamu padaku.”
Kalimat pendeknya membuatku menoleh dan membuat ekspresi yang aneh. “Lalu kau anggap itu sebagai keuntungan besar, Seunghyun-ssi?”
Ia tertawa pelan, “Aku tidak bilang begitu. Hanya saja hidupku jadi lebih berwarna setelah kau hadir di dalam kehidupanku,” Seunghyun menoleh ke arahku dan mengelus rambutku lembut. “Kau, gadis yang paling keras kepala yang pernah ku temui, Soyou-ya.”
Aku terkekeh, “Ku anggap itu pujian.”
Sunday, June 12th, 2011
Galleria ForetApartement, Seoul
Aku terbangun dengan tiba-tiba. Kepalaku pusing sekali, rasanya ingin pecah. Aku segera duduk dan memegangi kepalaku. Ck, sudah belakangan ini aku terbangun dengan sakit kepala yang luar biasa rasanya. Berbagai macam obat sudah kuminum, namun tetap saja sakit ini tak kunjung sembuh.
“Ghh...” Gumamku sembari memijat-mijat pelan kepalaku, sangat berharap kalau pijatanku ini menekan rasa sakit yang ada.
“Kepalamu sakit lagi?” sosok yang bersembunyi di sampingku, kini memunculkan kepalanya. Kurasa ia sedikit terganggu dengan gerakanku yang tiba-tiba tadi. Akupun menoleh ke arahnya. Rambut hitamnya terlihat sangat acak-acakan, dengan salah satu mata yang tertutup dan mata yang lainnya terbuka, ia mencoba untuk menatapku.
Aku hanya mengangguk pelan. “Kurasa kita harus ke dokter, karena belakangan ini aku selalu bangun tidur dengan sakit kepala yang hebat.”
Ia menghela nafasnya perlahan, “Kemarilah.” ujarnya lalu menarik tanganku lembut. “Yang kau perlukan hanyalah tenang dan santai,” sambungnya saat aku merebahkan diri disampingnya.
Hangat. Pelukannya sangat hangat dan membuat sakit kepalaku hilang seketika. Meskipun begitu, aku masih merasakan kalau kepalaku sedikit berdenyut-denyut. “Aku sudah mencoba untuk tenang dan santai..”
“Belum seutuhnya,” ujarnya sambil memijat pelan kepalaku. “Apa yang kau pikirkan, hm?”
Aku menutup mata dan merasakan pijatan yang sangat membuatku nyaman. “Well... Aku memikirkan hasil dari kelulusan. Sungguh,”Akupun membuka mataku dan menatap lurus ke depan dengan nanar. “Aku merasa sedikit takut dan aku mempunyai firasat yang aneh.”
“Sstt, sudah kubilang, jangan memikirkan apapun tentang kelulusan. Kau sudah memberikan yang terbaik saat ujian. Maka kau pasti akan mendapatkan hasil yang terbaik juga nantinya.” Suaranya yang menenangkan mengalir di daun telingaku. Sepertinya, dirinya adalah obat alami bagi sakit kepalaku. Tangannya memainkan helai-helai rambutku dan ia mencium keningku sekilas. “Jangan memikirkan persoalan itu, berjanjilah padaku.”
Aku tersenyum manis, kukaitkan kedua lenganku ke lehernya. “Asal ada kau disisiku, aku takkan memikirkan persoalan itu.” bisikku pelan. Aku memang tidak bisa menatap matanya secara langsung, karena kamar ini sangat gelap. Lagipula aku yakin bahwa ini masih tengah malam. Namun aku merasa bahwa matanya menatap lurus ke arahku.
“Kalau begitu, aku akan selalu berada di sisimu,” Balasnya dengan lembut namun pasti. Aku masih tetap tersenyum sampai bibirku bertemu dengannya. Bibirnya sangat lembut menyentuh bibirku. Kueratkan kaitan kedua lenganku pada lehernya, sedangkan tangannya sibuk menarik selimut untuk menutupi tubuh kami yang polos. Refleks, aku naik ke tubuh kekarnya dengan bibir kami masih tertaut mesra.
Aku melepaskan ciuman kami yang mulai memanas itu, “Hei. Apakah nanti kau akan bekerja dulu atau melanjutkan ke universitas?” tanyaku sembari menahan tangannya untuk berbuat lebih. Aku ingin dia menjawab pertanyaanku dulu. Tampaknya ia agak sedikit kesal di tanya begitu. Ia mendengus.
“Bisa kau tanya nanti, kan?”jawabnya sembari menarik leherku untuk mendekat kembali. Aku terkekeh pelan menanggapinya, lelaki kalau sudah dipancing sedikit lucu juga, ya.
“Jawab saja.. Aku hanya penasara– Ah!”Ada sensasi yang berbeda dan aneh tepat di dadaku. Tanganku dengan cepat menjambak rambut hitam dari lelaki ini. Desahan singkatku membuatnya tertawa kecil. “Yak! Bibir nakalmu itu!”
“Siapa yang suruh kau untuk berbicara di saat-saat seperti ini, hm?”balasnya dengan santai sebelum ia kembali melakukan apa yang ia lakukan sebelumnya. Membuatku terpaksa untuk menggigit bibir bawahku. “Soyou-ya, sudah waktunya kau yang dibawah.”
Aku melirik sinis lelaki yang sedang memberikan seringaiannya itu padaku. “Kali ini biarkan aku yang diatas,” ujarku dengan nada percaya diri tingkat tinggi. Kudengar ia sedikit tertawa.
“Ingat terakhir kali saat kau yang diatas? Kau yang lemas duluan.” kalimat yang singkat namun sukses membuat wajahku memanas dan ya; memerah. Aku menutup mulutnya yang hampir tertawa.
“Sssttt! Itu kan dulu,” jawabku sambil melirik ke arah yang lain. Tangannya memegang tanganku yang berada pada mulutnya, dan menyingkirkan tanganku perlahan. Ia menyeringai.
“Tetap saja,” Iapun mendorong tubuhku ke samping, dan tentu saja tenagaku tidak cukup untuk menahan dorongan darinya. Aku sedikit memberontak sambil tertawa kecil sebelum lelaki itu berada di atasku dan menempelkan dahinya di dahiku. “Hei.”
“Hm?” Gumamku sebagai respon untuknya. Matanya yang teduh terlihat menatapku karena terpantul cahaya yang timbul dari sisi-sisi gordin di jendela.
“Aku mencintaimu. Sangat, sangat mencintaimu.”
Aku tersenyum dan menatapnya balik, “Aku lebih mencintaimu.” sepersekian detik setelah itu, tiba-tiba ada kenikmatan yang tiada taranya menyerang bagian bawahku. Rasa-rasanya, sakit kepala yang melandaku tadi itu sudah hilang lenyap, dan digantikan oleh kenikmatan yang meletup-letup di kepalaku.Aku mengerangdan menjambak rambutnya kuat saat gerakannya menjadi liar. Dasar lelaki.
“Ah– Choi Seunghyun!”
Saturday, July 9th, 2011
Hanyoung Foreign Language High School, Seoul
Ini adalah hari yang kutunggu-tunggu sejak lama. Sebuah hari dimana semua kerja kerasku dibayar oleh selembar kertas dan topi. Sudah tiga tahun lamanya aku menunggu itu. Dan hari ini adalah pembuktian bagiku.
Dengan dress formal berwarna merah gelap dan dihiasi oleh highheels berwarna senada, aku menggandeng lengan seorang pria tampan yang memakai tuxedo; membelah para wisudawan dan wisudawati yang ada. Seisi hall membalikkan badannya untuk melihat kami. Aku sangat tersipu malu sampai-sampai yang kupandang daritadi hanyalah red-carpet yang sedang kami lalui ini.
“Jangan menatap ke bawah terus, kau takut terjatuh?” Akupun mengangkat kepalaku dan bertemu dengan manik mata darinya. Aku menghela nafasku dengan berat.
“Bukan itu... Aku hanya malu untuk menatap sekitar. Semua orang menatap ke arah kita, kan?” Aku kembali menunduk sembari tersenyum kecil. Jantungku berdetak tak karuan, apalagi saat mataku bertemu dengan matanya. “Aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian.”
“Itu karena kau sangat cantik.”Aku tahu dia sedang tersenyum walaupun aku tidak melihatnya.
“Terima kasih. Kau jugalebih tampan daripada biasanya.”pujiku tulus, kini aku menoleh padanya dan tersenyum manis. Ia menorehkan sedikit senyumannya, pasti ia merasa aneh saat dipuji seperti itu. Aku jadi tertawa melihatnya salah tingkah.
“Soyoooooou!” Dari kejauhan, aku mendengar namaku dipanggil. Belum sempat aku melihat siapa yang memanggilku, tubuhku sudah ditubruk tanpa ijin terlebih dahulu. Untung saja ada Seunghyun yang menahan tubuhku dari samping.
“Whoa, pelan-pelan, Minah-ya.” Ujarnya sembari terkekeh pelan. “Kasian Soyou-ku.”
Aku memberikan deathglare-ku padanya. Wanita berambut panjang dan berwarna pirang itu muncul tepat di depanku. Ia akhirnya mengangkat rambutnya dan tersenyum sangat lebar sampai kedua matanya hilang. “Soyou-ya! Kita lulus! Aku sangat senang!”
Aku tertawa kecil dan membenarkan rambutnya yang berantakan karena memelukku terlalu keras dan bersemangat. “Aku juga,” jawabku singkat. “Bagaimana hubunganmu dengan oppa-mu itu?” sambungku sembari melirik seorang pria tinggi berambut lumayan panjang yang sedang berbicara dengan Seunghyun. Pertanyaanku sukses membuat Minah bungkam dan menunduk. Aku jadi merasa aneh, “Hei, ada apa?”
Iapun mengangkat kepalanya, wajahnya merah padam dan ia sedikit berbisik kepadaku. “Aku telah dilamar olehnya..”
“Oh, astaga! Benarkah? Selamat!” Aku kaget bukan kepalang sampai-sampai aku tidak bisa mengontrol suaraku. Rasanya, air mataku mulai menumpuk di pelupuk mataku. Aku tahu betul kalau Minah sangat mencintai Heechul. Ia tersenyum sangat manis.
“Lalu, bagaimana kau dengan Seunghyun?”tanyanya sembari melirik Seunghyun yang mulai melirik ke arah kami dengan penasaran. Aku jadi ikutan meliriknya juga, namun aku segera tertawa.
“Kau tahulah tipe lelaki seperti dia. Kami akan sama-sama meraih cita-cita dahulu,” ujarku dengan suara yang relatif pelan. Minah mengangguk mengerti.
“Ah, baiklah.. Apapun yang akan kalian lakukan, aku sangat berharap kalau kalian bahagia!” katanya dengan senyum di akhir kata. Aku jadi ikut tersenyum.
“Kau jangan lupa undang aku ya, nanti.”balasku sambil mengedipkan sebelah mataku kepadanya. Ia tertawa kecil.
“Hei, apa yang kalian bicarakan, huh?” Heechul dan Seunghyunpun datang menghampiri kami. Aku dan Minah jadi saling pandang dan tertawa kecil.
“Tidak ada. Hanya segelintir percakapan antarwanita.”
Wisuda dan acara perpisahan itu berlangsung dengan cepat, tanpa disangka malampun tiba. Malam ini aku sama sekali tidak tertarik untuk pergi kemanapun. Aku hanya tertarik dengan laptopku. Surfing di internet tentang universitas yang ingin ku masuki. Perasaanku masih tetap terasa tak enak. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal, tapi aku tidak tahu apa itu.
Tiba-tiba ponselku bergetar, kulirik layarnya sekilas dan mendapati bahwa ada pesan yang masuk. Sedikit tak tertarik pada awalnya, namun kulihat di pengirimnya ada nama “Choi Seunghyun” yang membuatku akhirnya membuka pesan itu.
From : Choi Seunghyun
Subject : Mianhaeyo, chagiya.
Maafkan aku, Soyou-ya. Aku harus melanjutkan studiku ke Perancis. Ini tuntutan dadakan dari Ayah dan Ibuku. Aku tidak bisa meneleponmu karena aku sendiri sedang dilanda shock berat. Aku berangkat malam ini, maaf aku tidak bisa melihat wajahmu lagi. Jangan hubungi aku lagi, aku tidak akan mengangkatnya karena ponselku akan ditinggal di Korea. Maafkan aku, aku pergi. Jaga dirimu baik-baik, kelak kita akan bertemu lagi.. Suatu hari.. Aku yakin itu.
Soyou, aku sangat mencintaimu.. Sangat dan akan selalu mencintaimu.
-Choi Seunghyun.
Aku tak dapat bergerak. Aku tak dapat bernafas. Oksigenku direbut secara paksa. Aku kaku. Aku mati rasa. Aku hampa. Aku kosong. Aku hilang.
“Ini bercanda...”gumamku sambil menjauhkan ponselku dari pandanganku.
“Seunghyun... Kau... Pergi...?”
Derasnya air mataku tak dapat dikendalikan lagi, membuatku sangat sesak nafas dan aku merasakan sakit kepala yang hebat menerjangku.
Setelah itu, semuanya menjadi gelap gulita.
Sunday, July17th, 2011
Asan Medical Center, Seoul
“Kesehatannya sangat buruk, nona,”
“Lalu, dok, apa yang bisa dilakukan untuknya?”
“Saya tidak bisa menjamin, namun ini konflik batinnya sendiri. Saya menduga bahwa pikiran dan hatinyalah yang membuatnya jadi seperti ini. Kalau boleh tahu, dimana suaminya berada?”
“Su... Suami? Maksud dokter?”
“Dia sedang hamil, nona.”
Thursday, July 21th, 2011
Asan Medical Center, Seoul
Tanganku bergerak perlahan, matakupun mulai terbuka. Ruangan itu bernuansa krem dan putih. Ku tolehkan kepalaku ke kanan, dan tersimpan berbagai macam buah dan sebuah vas bunga yang diisi oleh bunga mawar segar. Aku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya aku sadar, bahwa aku sedang berada di rumah sakit.
Aku meraba wajahku sendiri, dan tanganku merasakan ada suatu alat yang menempel di wajahku. Dengan paksa, kulepas alat itu dan membuangnya sembarangan. Akupun duduk dan menatap jendela.
Seunghyun.
Seunghyun..
Seunghyun...
“Argh! Aku benci dia! Aku benci Seunghyun!!” Tanganku meraih vas bunga dan memecahkannya ke jendela. “Aku benci dia! Dia jahat! Bodoh!!”
“Astaga, Soyou-ya! Kau ini kenapa?!” Aku segera menoleh ke arah datangnya suara. Namun, sepersekian detik kemudian aku mengamuk. Kulemparkan segala macam benda yang bisa kuraih, termasuk bantal, infusan yang ada ditanganku, buah-buahan, kertas-kertas yang berada diatas meja, bahkan ku dorong tabung oksigen yang berada di sebelah kiriku.
Tak membiarkanku mengamuk lebih hebat, Minah datang dan memelukku erat sekali. Mataku merah dan tentu saja bengkak. Minah menangis sejadi-jadinya melihat keadaanku.
“Aku benci Seunghyun! Aku benci dia!!” Aku menjerit-jerit di pelukannya. Namun tak lama kemudian, pandanganku berkunang-kunang.
“Maaf, Minah-ssi, kau bisa meninggalkannya dan membiarkannya istirahat. Aku sudah memberinya obat bius untuk beberapa jam ke depan,” seseorang berjubah putih tiba-tiba muncul dari sampingku.
“Seunghyunku, Minah-ya... Seunghyun... Kembalikan dia...” Aku berbisik pada Minah, sedangkan ia hanya bisa tersenyum dalam tangisnya.
Setelahnya aku hanya bisa terisak sampai kantuk menyerangku dengan cepat.
Sunday, July 24th, 2011
Asan Medical Center, Seoul
Aku duduk menghadap ke arah jendela kaca. Di luar sana terdapat pemandangan sebuah danau dengan banyak pepohonan di sekitarnya. Aku duduk tenang dalam beberapa jam ini. Sama sekali tidak memikirkan apapun kecuali satu nama.
Choi Seunghyun.
Air mataku mengalir kembali tanpa ku sadari. Namun seolah sudah biasa, aku hanya membiarkannya mengalir tanpa perlu diusap.
“Soyou-ya?” Sebuah panggilan lembut ku dengar dari daun pintu.
“Ya, aku disini. Masuklah.”
Pintu terbuka dan muncullah sahabat baikku itu, dengan senyum manis yang setia menemaninya dimanapun.
“Bagaimana perasaanmu hari ini? Lebih baik?”tanyanya sembari mendatangiku dan duduk di atas kasurku. Aku berusaha untuk tersenyum.
“Yeah, kurasa seperti itu.”
Ia mengambil nafas panjangnya sebelum menatap mataku dengan tatapan ragu, “Soyou-ya, aku harus memberitahumu sesuatu.”
Aku mengerjap dan memiringkan kepalaku sedikit, “Apa itu?” Tanyaku cukup penasaran.
Minah menelan ludahnya sebelum membuka kembali mulutnya. “Dokter berkata padaku saat kau tidak sadar beberapa hari yang lalu,” Ia menyempatkan dirinya untuk menunduk dan menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Suaranya begitu bergetar tak terkendali. Aku terus menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Ia menatapku lagi, “Soyou-ya, kau mengandung.”
Aku membeku dengan mulut yang setengah terbuka. Mataku mulai berkaca-kaca.
“Kata dokter, usia kandunganmu baru memasuki bulan yang pertama.” Minah menggenggam erat tanganku tepat saat air mataku jatuh membasahi bajuku. “Kandunganmu sangat lemah, Soyou-ya. Kau terlalu stress untuk bisa mengandungnya.” Ia menjelaskan dengan nada yang sangat lembut.
Aku tidak bisa berkata apapun untuk membalasnya.
“Aku akan memberikanmu waktu untuk sendiri.. Jangan bertindak gegabah, ingat, sekarang sudah ada nyawa lain yang hidup di dalammu, Soyou-ya.”ujar Minah sambil tersenyum lalu berdiri dan segera meninggalkan ruanganku.
Tanganku bergerak perlahan menuju perutku yang masih rata. Aku menunduk dan kembali menangis dalam keheningan.
Wednesday, September 28th, 2011
Seoul Residence, Seoul
Semakin hari, kehidupanku semakin baik. Aku tidak lagi menghabiskan waktuku hanya untuk menggumamkan nama lelaki itu. Aku menemukan tujuan hidupku, yaitu untuk membesarkan buah hatiku ini sebaik mungkin dan aku akan membesarkannya sendirian.
Aku sudah pulang dari rumah sakit, dan aku sudah kembali ke rumahku yang dulu. Hanya saja ayahku meninggalkan ibuku, dan ibuku kabur dari rumah. Aku tidak mempunyai orangtua lagi. Aku benar-benar hanya sendirian, bersama dengan usia kandunganku yang makin bertambah.
“Hoek–“
“Hm... Keluarkan saja...”
“Ugh... Aku mual sekali... Hoek–“
“Sabar ya...” Minah terus mengurut tengkukku dan Heechulpun melihatku dengan prihatin. Sedangkan aku sedang menghadap ke wastafel.
“Maaf sudah merepotkan kalian,” Aku mengambil tisu dan membersihkan mulutku sendiri. “Aku sudah tak apa-apa, kalian pergilah. Pernikahan kalian kan sudah dekat..”
Minah menggeleng, Heechulpun menghembuskan nafasnya dengan berat. “Kami akan menjagamu, Soyou. Tenang saja,”
“Kalian sudah terlalu baik padaku.. Aku berhutang budi pada kalian.” Minah merangkulku dan tersenyum sebisanya.
“Bilang pada kami kalau kau butuh bantuan, ya?”
Aku mengangguk dan tersenyum. “Terimakasih banyak...”
Saturday, December 31th, 2011
Seoul Residence, Seoul
Aku mengelus perutku yang makin membesar ini. Kadang aku bisa merasakan tendangannya yang cukup kuat sampai aku harus berhenti beraktivitas sejenak. Kandunganku sudah enam bulan, semakin dekat dengan waktunya.Akupun semakin gencar mencari makanan dan metode senam ibu hamil supaya bayi ini akan sehat nantinya.
Hari ini adalah hari terakhir di tahun ini. Malam ini aku berencana untuk pergi ke pinggir pantai untuk mencari udara segar, sekaligus merayakan malam tahun baru.
“Kau yakin?” Wanita berparas cantik ini terlihat khawatir melihatku bersikeras untuk berjalan-jalan di malam tahun baru ini.
Aku mengangguk semangat, “Tentu, aku sudah lama sekali tidak jalan-jalan. Ibu hamil juga perlu refreshing, kan?”
“Kalau begitu, kami akan ikut saja.” imbuh Heechul saat mendengarku akan pergi. Aku segera menggeleng heboh.
“Tidak perlu, kalian bisa pergi sesuka hati kalian juga. Lagipula waktu berduaan kalian sudah tersita begitu banyak karena aku, kan?” ujarku pada mereka berdua. “Jangan membantahku, aku tetap ingin pergi tanpa kalian, oke?”
Malam ini cuacanya lumayan dingin. Maklum saja, ini musim penghujan. Aku berjalan perlahan menuju pantai yang kumaksudkan tadi. Dengan mengantongi banyak nasehat dan pesan dari Minah dan Heechul, aku diperbolehkan untuk berangkat sendiri. Senang sekali, akhirnya setelah masa-masa yang tidak menyenangkan, aku bisa berjalan-jalan lagi.
Sesampainya di pantai, sudah lumayan banyak orang yang berkumpul sekedar untuk makan ataupun berinteraksi dengan orang yang lainnya. Aku memilih untuk duduk di suatu kursi pantai yang panjang dan terbuat dari kayu.
Kulirik ponsel yang diberikan oleh Minah kepadaku tadi, masih menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Aku menghela nafas saat angin malam menerpa rambutku.
Andai saja dia ada disini... Di sebelahku dan menggenggam tanganku erat...
“Apa disini kosong?” Aku lumayan kaget saat ada seseorang yang menyapaku. Aku lantas tersenyum dan mengangguk.
“Ya, tentu saja. Silahkan,”
“Terima kasih.” Pemuda itu kembali tersenyum dan duduk di sebelahku. Menit-menit berlalu hanya dengan keheningan. Akhirnya, akupun bosan dan memutuskan untuk memulai percakapan.
“Kau sendirian kemari?” tanyaku sembari menoleh pada pemuda ini. Iapun menoleh dan mengangguk. “Kemana pacarmu?”
Ia tertawa kecil, “Dia meninggalkanku,”
“Ah, benarkah? Maafkan aku, aku tidak bermaksud begitu..” Aku jadi menyesal telah membuka percakapan yang buruk.
“Tak apa-apa,” Pemuda ini tersenyum kecil. “Dan kau? Kemana ayahnya?” tanyanya saat menyadari bahwa aku sedang hamil. Aku tersenyum kecil juga.
“Dia meninggalkan kami,”
Lelaki itu tersentak sebentar, “Kenapa? Lelaki macam apa yang tega meninggalkan keluarganya?”
“Entahlah, sampai sekarang aku masih mencari jawabannya...”
Keheningan kembali melanda kami.
“Omong-omong, namaku Baekhyun,” ujarnya untuk mencairkan suasana. “Dan kau?”
“Soyou. Panggil aku Soyou.”
Malam itu menjadi malam perkenalan yang singkat antara aku dan Baekhyun. Setelahnya, kami bertukar nomor telepon dan ternyata ia tinggal di dekat rumahku. Dia juga menawarkan sejumlah pekerjaan bagiku. Figurnya yang baik dan ceria membuatku mudah mengenalnya dan diapun menunjukkan ketertarikannya pada kisah hidupku. Pengetahuannya yang luas tentang dunia luar, membuatku sangat penasaran.
Kami terlalu asyik mengobrol sampai akhirnya muncullah puluhan kembang api yang dinyalakan bersama-sama ke langit. Kami menatapnya hampir tanpa berkedip sedikitpun.
“Indah sekali...”
Malam itu, aku larut dalam pembicaraan dengannya sampai akhirnya aku lupa, siapa itu Choi Seunghyun.
Wednesday, March 7th, 2012
Asan Medical Center, Seoul
Keringat mengucur di sekujur tubuhku. Kontraksi di perutku sudah tak tertahankan lagi. Detak jantungku tak beraturan. Aku tak pernah kesakitan sesakit ini di bagian perutku.
“Nona Soyou, bertahanlah! Berdoa dan ingat bernafas. Dorong terus!” Seorang dokter kandungan sudah siap menanganiku. Terangnya lampu di ruangan itu tak membuatku patah semangat. Aku mencengkram lengan seorang pemuda yang berada di sisiku. Ia juga ikut menyemangatiku.
“Ayo Soyou-ya, kau bisa! Dorong terus!”
“Ghh– Hah, hah... Aargh!” Aku hanya bisa mengerang kesakitan saat harus memusatkan tenagaku pada otot-ototku yang dibawah sana. Cengkramanku pada lengannya makin erat, mungkin sekarang sudah meninggalkan beberapa luka lecet disana. Tapi aku tidak peduli, aku hanya fokus untuk melahirkan bayi ini ke dunia.
“Kepalanya sudah terlihat! Ayo terus nona, sebentar lagi!”
“Gaaah–! Hah, hah... Ngh!” Aku terus berusaha tanpa memperdulikan sekitar.
“Ya, ya, sedikit lagi nona! Tetap kuat, ya!” Sang dokter sepertinya sudah memegang kepala bayiku. Itu membuatku semakin bersemangat untuk mengejan lebih kuat lagi.
“Kau pasti bisa, Soyou-ya! Terus dorong sekuat tenagamu!”
“Hah, hah... Ngggg–!”
Dorongan terakhir yang sangat kuat membuat dokter terdiam sebentar. Aku terengah-engah, melahap oksigen sebanyak-banyaknya. Tak lama kemudian, tangisan terindah di dunia kudengar dari sana.
“Soyou-ya, kau berhasil..” Pemuda itu tersenyum padaku, menghapus peluh-peluh yang berada di wajah dan leherku.
“Baekhyun-ah, aku ingin melihatnya..” ujarku lemah.
Dokterpun bangkit berdiri dan memperlihatkan seorang bayi yang masih dilumuri oleh darah, namun ia sudah bergerak dan menangis sangat keras. “Selamat, Nona Soyou. Bayimu perempuan dan tubuhnya sehat tanpa kecacatan apapun. Dia sangat cantik.”
Air mata bahagiaku tak bisa terbendung lagi.
Monday,May 12th, 2014
Incheon International Airport, Seoul
“Tiketmu sudah ada?” Pemuda itu berjongkok dan menatap seorang gadis kecil yang keasyikan menatap kanan-kiri, melihat banyak sekali orang yang berlalu-lalang. Gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum manis sekali.
“Hum! Nde,ini cudahada di tangan Naeun.” Anak itu menggenggam erat tiket pesawatnya.
“Bagus, jangan sampai hilang, ya.” Ujarnya lalu menepuk kepala si anak kecil. Ia akhirnya berdiri, menggendong anak itu dan menghampiri seorang pemuda lainnya dan dua orang wanita yang sedang berpelukan.
”Soyou-ya, jangan terlalu lama disana, aku pasti akan merindukanmu!” Minah memelukku dengan sangat erat, sedangkan aku hanya bisa tertawa kecil mendengarnya.
“Hey, jangan erat-erat, kau kan sedang hamil. Nanti kasian bayimu tertekan oleh perutku,” Ujarku lantas melonggarkan pelukan. Minahpun tertawa kecil dan kami melepaskan pelukan. “Heechul, jaga Minah baik-baik. Kau akan kuhabisi jika membuat Minah bersedih atau bahkan–“
“Iya, iya, tenang saja. Aku mencintainya lebih dari apapun di dunia ini.” Heechul menatap Minah sebentar sebelum menatapku lagi. Ia memelukku sebentar, “Jaga kesehatanmu ya, disana. Jangan lupa untuk mengabari kami.”
Aku mengangguk dan tersenyum manis, “Aku akan merindukan kalian.” Minah kembali memelukku.
“Soyoooou!”
“Hei, penerbangan tidak akan ditunda untuk melihat kalian berpelukan lagi,” Pemuda yang sedang menggendong anak itupun muncul dari belakangku. Aku tersenyum lalu melepaskan pelukanku dengan Minah.
“Naeun, pamit dulu dengan Heechul-ahjussi dan Minah-ahjumma.” ujarku sembari menunjuk Minah dan Heechul bergantian. Naeun mengangguk dan minta diturunkan oleh lelaki itu.
“Ahjucci, ahjumma, Naeun pamit dulu yaaah, Naeun mau naik pecawat!”Suara khas dari anak umur dua tahunan itu terdengar, membuat Minah tertawa kecil.
“Naeun hati-hati ya.. Ingat pesan eomma-mu dan ikuti nasehat Baekhyun-jussi, ya? Jangan menjadi anak yang nakal disana,” Minah mengelus lembut kepala anak perempuanku itu. Aku ikut tersenyum melihatnya.
“Kalau begitu, aku juga pamit,” Baekhyun tersenyum singkat dan memeluk Heechul sekilas. “Jaga Minah baik-baik ya.”
“Kau juga, Soyou tidak boleh lecet sedikitpun.”
Akupun melirik jam tanganku, “Sudah waktunya,” Aku menghela nafas panjang. “Kami pergi dulu, ya! Sampai jumpa lagi.” Kami bertigapun berpisah dengan pasangan muda itu, dengan lambaian tangan.
”Eomma, kita mau pelgi kemana, cih?” Pertanyaanpun keluar tak lama sebelum kami menyerahkan passportke pihak yang bertugas. Aku tersenyum dan menjawabnya dengan lembut.
“Kita akan ke Perancis, sayang.”
Tuesday, May 13th, 2014
5th District, Rue Daubenton ParisParis, France
Alasan kami pergi ke Perancis bukan karena aku ingin menemui lelaki yang telah meninggalkanku itu. Aku hanya ingin bepergian dengan anakku, dan tentu saja dengan pemuda yang sudah mengisi kehidupanku selama hampir dua tahun itu. Lagipula Baekhyun juga di pindahtugaskan kemari.
“Lucu ya, wajahnya saat tertidur,” Pemuda itu mengelus helaian rambut yang cukup tebal dari seorang anak kecil yang sedang tertidur.
Aku tersenyum sembari mengelus pipinya yang berisi. “Dia lebih banyak mewarisi wajah ayahnya.”
Lelaki itu menatapku lurus, “Bukankah dia juga melanjutkan studinya di sini? Kau tidak mau mencari keberadaannya?”
Aku menggeleng lalu beranjak dari kasur Naeun. “Lupakan saja,”
“Hei..” Ia menyusulku untuk keluar dari kamar anakku yang sedang tertidur lelap itu. “Bagaimanapun juga, dia adalah ayah dari Naeun, kan?”
“Baekhyun-ah, cukup. Aku tidak mau mendengarkan apapun tentangnya,” Aku menghela nafas dan berjalan ke arah kamar tidur. “Aku sudah melupakannya.”
Baekhyun terkekeh sesaat dan terus mengikutiku. “Ya, ya, terserah padamu saja.” Ia menutup pintu dan segera berbaring di atas kasur.
“Besok antarkan aku dan Naeun ke taman, ya? Kurasa Naeun perlu berinteraksi dengan sesama anak kecil.” ujarku sembari menoleh ke arahnya. Ia mengerang sedikit, memberi respon kepadaku.
“Tapi kau akan pulang sendiri, tak apa? Aku sudah harus berada di kantor jam 8 pagi.”
“Tak apa, aku bisa naik taksi,” kataku sebelum aku akhirnya merebahkan diriku di sampingnya. Mataku nanar menatap langit-langit.
Baekhyun mengubah posisinya menjadi menyamping, menatapku dengan mata yang tenang. “Soyou-ya,” Aku balik menatapnya. “Benarkah kau sudah melupakannya?”
Aku tak menjawabnya, mungkin itu pertanyaan paling sulit disepanjang hidupku.
Wednesday, May 14th, 2014
Parc naturel régional de la Forêt d'Orient, France
“Eomma, lihat ini!” Aku tersadar dari lamunanku dan memfokuskan pandangan ke Naeun yang menarikku ke tumpukan pasir. “Naeun membuat cecuatu buat eomma!”
“Hm? Apa itu, Nak?” Aku berjongkok dan melihat sebuah gambar khas anak kecil yang amburadul. Yang bisa kuteliti adalah sebuah gambar dimana ada seorang ibu yang sedang menggandeng tangan anak kecil, dan anak kecil itu menggandeng tangan seorang ayah. Aku tersenyum miris melihatnya. “Itu siapa saja, hm?”
“Ini eomma,” Ia menunjuk gambar seorang ibu. “Ini Naeun!” ujarnya bersemangat saat menunjuk dirinya sendiri. “Lalu ini Baekhyun-ahjucci.”
Ya, tentu saja. Sejak lahir ia tak mengenal siapa ayahnya yang sebenarnya, batinku di dalam hati. Aku tersenyum sebisa mungkin menanggapinya. “Ayo pulang, eomma mau memasak masakan favoritmu, Naeun-ah.” ajakku sembari menggendongnya. Iapun memberikan senyuman manisnya kepadaku.
“Cup daging capi yang enak itu, eomma? Yeaaaay!” Naeun berseru dengan sangat senang, aku jadi tertawa melihatnya. “Ayo kita pulang, eomma! Naeun tak cabalingin makan!”Akupun mengangguk dan menurunkannya. Namun ia langsung berlari dengan cepat dan keluar dari taman.
Aku sangat kaget sekaligus panik. “Naeun-ah! Tunggu!” Aku ikut berlari semampuku, dan mengikuti Naeun yang sudah jauh di depan dan tenggelam di kerumunan banyak orang yang lalu lalang. Taman ini sangat luas dan diluar taman ini, berpapasan langsung dengan jalan raya. Cerobohnya diriku, kutukku pada diri sendiri. “Naeun!”
Aku berlari dan terus berlari, namun kakiku tidak kuat lagi sampai akhirnya aku berhenti sembari mengatur nafasku. “Astaga, Naeun... Dimana kau, Nak?” Aku bergumam, melihat sekitar. Yang bisa kulihat hanyalah sekumpulan banyak orang yang sedang berlalu-lalang dengan cepat, tentu saja itu orang-orang kantoran. “Naeun!” Aku tetap berteriak dan kembali berjalan cepat, mencari putriku.
Merasa putus asa, aku segera menelepon Baekhyun. Tak peduli dia sedang sibuk atau tidak. “Halo, Baekhyun? Naeun hilang,” Aku merasakan sebulir airmataku mengalir turun ke pipiku. “A- Aku tidak bisa mengejarnya, ia berlari dengan sangat cepat keluar dari taman.. Bagaimana ini?” Aku mendengarkan respon dari Baekhyun di seberang sana, dan mengangguk cepat. “Baik, di pintu gerbang taman yang tadi, ya.” Akupun mengakhiri panggilanku.
Aku menggigiti kuku-ku dengan putus asa, membiarkan airmataku mengalir begitu saja. Bodohnya aku, aku harusnya menggandeng tangan anak itu. Aku harusnya tidak membiarkan dia berlari sendirian!
“Eomma!” Aku tersentak. Itu suaranya! Akupun segera menoleh ke belakang dan dengan cepat sesosok gadis kecil menabrakku, memelukku dengan erat. “Eomma!”
“Astaga, Naeun-ah, kau kemana saja?” tangisku hampir pecah disana, namun kutahan dan segera memeluknya dengan erat juga. Aku merasakan tubuhku gemetar, sedangkan raut wajah Naeun sepertinya sangat senang. “Kau kemana saja, hm? Eomma khawatir, eomma tadi tak bisa mengejarmu!” Aku bertanya sembari menatap matanya yang sedang sumringah.
“Tadi Naeun melihat ceolang yang beljualanecklim! Naeun bellalicupayaecklimnya tidak habic dibeli oleh olang lain!” Naeun menjelaskan dengan tertatih-tatih, mungkin karena ia juga merasa lelah. “Lalu Naeun beltemu dengan ah-jucci yang cangat baik! Dia membelikan Naeun ecklim laca ctawbeli!” Naeun tertawa dengan riangnya. Aku menghela nafas dengan lega, beruntung ia selamat.
“Lain kali jangan berlari tiba-tiba, Naeun-ah... Kita kan bisa membuat eskrim sendiri..”
Naeunpun tiba-tiba berbalik kebelakang dan menarik tanganku untuk berdiri dan kembali berlari. “Ayo, ah-juccinya macih ada dicana!” Aku hanya bisa mengikutinya dengan tanda tanya besar, sekaligus mau berterima kasih kepada orang yang telah menyelamatkan nyawa anakku ini.
“Ah-jucci! Ini eomma Naeun!” katanya sembari menarik pelan tangan seorang pria berjas dan berpakaian sangat rapih. Pria itu menoleh, baru saja mau tersenyum ke arahku.
Aku tak dapat bergerak. Aku tak dapat bernafas. Oksigenku direbut secara paksa. Aku kaku. Aku mati rasa. Aku hampa. Aku kosong. Aku hilang. Sama seperti perasaanku yang sudah ku kubur dalam dalam beberapa tahun yang lalu. Sosok yang menjadi segalanya bagiku. Kini kembali, tepat di depan mataku.
“Soyou-ya?” Suara bariton yang sangat aku rindukan. Yang selalu ada dimimpi-mimpiku. Yang selalu menghiasi pikiranku, menyadarkan aku. Aku tak dapat berkata-kata, yang kulakukan hanyalah menggenggam erat tangan Naeun yang sedang memunculkan tatapan bingung. “Kaukah itu?”
“Eomma?” Naeun kecil menatapku, penasaran dengan tubuhku yang tidak bergerak sama sekali.
Disaat itulah rasa sakit itu menyengat kepalaku. Rasa sakit yang tak pernah kurasakan lagi sejak beberapa tahun silam, menyerbuku dengan ganas. Aku mengerang kesakitan dan tubuhku lantas tak seimbang. “Agh–!”
“Soyou!”
Hanya itu kalimat yang terakhir ku dengar darinya. Sebelum semuanya menjadi gelap.
The Hôtel-Dieu de Paris, France
“Bagaimana keadaannya, dok?”
“Kami sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Namun, sepertinya ada keanehan yang kami temukan di bagian kepalanya,”
“Apa itu, dok? Apa berbahaya?”
“Kami menemukan suatu penyakit yang ganas seperti kanker, namun tak menemukan adanya sel-sel kanker di otaknya. Dan penyakit ini tak bereaksi pada organ yang lainnya. Kalau dikatakan tumor tak ganas, kami juga tidak menemukan adanya benjolan di kepalanya. Kami percaya bahwa penyakit ini sangat langka sehingga kami belum bisa memberikan kepastian. Atau mungkin ini menyerang salah satu saraf di otaknya, sehingga ia mudah sekali drop di saat-saat tertentu.”
“Apa yang bisa kami lakukan untuk kesembuhannya, dok?”
“Kami akan memberikan yang terbaik. Penyakit ini hanya kambuh disaat-saat tertentu. Apa tuan dan nona tahu, kalau Nyonya Soyou sudah pernah mengalami kecelakaan?”
“Ke- kecelakaan?!”
“Ya, karena kami mendeteksi adanya luka yang sudah di jahit di kepalanya.”
“...Dia memang pernah kecelakaan waktu kelas 2 SMA. Namun dia tak pernah berkata apapun tentang penyakitnya ini.”
“2 SMA? Saat dia masih bersama Seunghyun?”
“Kurasa begitu. Namun aku tak pernah melihatnya pingsan seperti ini semasa SMA. Lalu dok, bagaimana caranya supaya dia bisa sembuh?”
“Kami tak bisa jamin untuk menyembuhkannya secara menyeluruh. Kami sarankan untuk membuatnya bahagia dan tidak punya banyak pikiran yang berat, kalau anda tidak mau melihatnya tersiksa oleh penyakitnya itu. Dan berdoalah sebanyak-banyaknya, Baekhyun-ssi.”
“Membuatnya... Bahagia?”
“...Baekhyun-ah. Relakan dia untuk Seunghyun.”
“Oppa!”
“Apa? Aku benar, kan?”
“Minah-ya, Heechul-hyung benar. Soyou akan bahagia dengan Seunghyun.”
“Lalu...? Bagaimana denganmu?”
“Well... Aku masih bisa menjadi saudara angkatnya. Asal aku masih bisa melihatnya, tak apa.”
Saturday, May 17th, 2014
The Hôtel-Dieu de Paris, France
Mataku terbuka perlahan, kini aku kembali ke ruangan bernuansa krem dan putih ini. Agak sedikit berbeda, karena ruangan ini jauh lebih besar daripada di negara asalku.
“Soyou-ya? Kau sudah sadar?” suara seseorang yang sudah ku kenal membuatku melirik sosoknya. Ya, dia ada disana.
“M.. Minah?” Wanita dengan paras cantik itu kembali tersenyum. “Ba.. gaimana bisa... Kau ada...?”
“Sstt, jangan terlalu banyak berbicara,” Minah berbisik padaku. Lalu ia menatapku dengan raut wajah yang prihatin, namun ia masih bisa tersenyum. “Baekhyun menghubungiku tentang keadaanmu. Heechul dan aku segera terbang kemari,” Ia membenarkan posisi duduknya dan mengelus rambut panjangku.
“Kau...” Jujur, aku kaget. Minah yang sedang hamil tujuh bulan harus terbang kemari, hanya demi diriku. Minah menggeleng, mengisyaratkanku untuk diam. “Naeun..?”
“Ia diajak oleh Baekhyun untuk pergi sebentar. Daritadi Naeun tak bisa berhenti menangis kalau melihat kau disini.” Minah menjelaskan sembari menghela nafasnya. “Sudah, jangan banyak berbicara. Kau harus banyak istirahat, ya? Dan...” Kalimatnya menggantung, ia menatap kosong ke bawah. Aku mengerutkan dahiku, menunggu kalimatnya selesai. Minah mengangkat kepalanya dan menatapku. “Ada yang menunggumu.”
Ia bergeser dari kasurku dan aku melihat sesosok pria yang sedang tidur di sofa di depan kasurku. Ia mengenakan kemeja putih yang lumayan acak-acakan, dengan dasi yang sudah tak berbentuk lagi. Aku terhenyak.
“Kau tadi pingsan saat bertemu dengannya. Dan beberapa detik berikutnya, Baekhyun datang. Mereka berdua membawamu ke rumah sakit,”
Aku menatapnya. Wajahnya tak berubah dari pertama kali aku bertemu dengannya. Alis dan garis matanya yang dalam, membuat siapapun bisa jatuh hati seketika padanya.
“Aku harus menyusul Heechul-oppa, Soyou-ya. Tak apa, jika kau kutinggal sendiri?” Minah menatapku khawatir. Aku menggeleng dan mencoba untuk tersenyum.
“Aku sudah.. lebih baik daripada yang tadi.”
Iapun tersenyum dan bangkit berdiri secara perlahan. “Aku tinggal sebentar ya.” Lalu ia pergi dan menutup pintunya dengan hati-hati.
Aku masih menatapnya. Nafasnya yang teratur terdengar di ruangan ini.Akupun mencoba untuk duduk. Kepalaku masih sedikit sakit, namun rasa rinduku melebihi apapun. Kucoba untuk menurunkan kedua kakiku ke lantai, dan terpaksa membawa infusan karena jarumnya tertanam di tangan kananku.
Aku mengela nafas panjang sebelum akhirnya sukses berdiri dan berjalan perlahan, menghampiri lelaki itu. Ia tertidur sangat pulas sepertinya. Aku tersenyum kecil saat bisa menatapnya dari dekat. Ia makin tampan, batinku berbicara. Kuraih pegangan di ujung sofa, dan mencoba untuk duduk di samping kepalanya. Sangat perlahan, sampai akhirnya aku bisa duduk dengan nyaman.
Tanganku bergetar hebat saat menyentuh rambut hitamnya. Kenangan demi kenangan lewat di kepalaku. Tanganku turun ke dahi lalu ke pipinya. Kulitnya halus sekali. Sama persis seperti yang terakhir kali ku sentuh.
“Hei.”
Aku terkejut bukan main saat suara baritone itu menyerbu pendengaranku. Tangannya bergerak untuk menggenggam tanganku yang sedang asyik menyapu semua bagian di wajahnya.
“H- Hei..” Aku menjawabnya, dengan suara yang gemetar dan hampir tak terdengar.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”tanyanya. Matanya yang teduh menatapku lurus. Aku mencoba untuk tersenyum.
“Tidak pernah sebaik ini.”
“Soyou-ya...”
Aku tak mampu berkata-kata lagi. Emosiku pecah saat itu juga, bulir-bulir airmataku kembali mengalir dengan deras. “Kau bodoh.”
Ia tersenyum, “Ya. Aku memang bodoh.”
“Kau jahat.”Airmataku semakin deras. “Aku membencimu, Seunghyun-ah.”
“Aku sangat mencintaimu, Soyou-ya.” jawabnya lembut sebelum ia menarik leherku perlahan untuk menunduk, dan membawa bibirku untuk menyatu dengan bibirnya.
Dan sekali lagi, rintik-rintik air hujan membasahi jendela rumah sakit.
Monday, May 19th, 2014
Paris Charles de Gaulle Airport, France
“Baekhyun-ssi, senang sekali bisa mengenalmu. Terimakasih banyak atas segalanya. Aku berhutang budi padamu.” Kedua pria itu berjabat tangan dan saling tersenyum.
“Sebuah kehormatanku bisa mendampingi Soyou selama kau tak ada. Aku akan tetap jadi saudara angkat laki-lakinya,” Baekhyun melirikku dan membuatku tersenyum. “Kau sangat beruntung bisa mendapatkannya, Seunghyun-ssi. Dia wanita yang baik, kecuali saat melahirkan.”
Tawaku pecah saat Baekhyun mengatakan itu. Ya, memang waktu itu aku meninggalkan bekas cakaran yang lumayan dalam di lengannya saat berjuang melahirkan Naeun. “Aku kan sudah minta maaf, Baek-ah.” Ia terkekeh sebentar.
“Seunghyun-ssi, jangan sekali-kali lagi kau meninggalkannya.” Seunghyun mengangguk mantap.
“Itu hanya bagian dari aku yang dulu.”
“Kalau begitu aku harus pergi, pesawatku akan berangkat sebentar lagi.” Baekhyun melirik tiket yang ia pegang.
“Baekhyun-ah,” panggilku padanya sebelum aku memeluknya erat. “Jaga dirimu baik-baik. Jangan sungkan untuk mampir, aku sangat berterima kasih padamu. Kalau ada sesuatu, panggil aku saja.” Baekhyun tersenyum dan mengangguk.
“Baekhyun-ahjucci!” Suara khas anak kecil memanggil namanya. Baekhyun segera tersenyum lebar dan menggendong Naeun. “Ahjucci, jangan lupa main lagi cama Naeun, ya? Naeun pactimelindukan ahjucci.”
“Pasti. Nanti saat liburan, aku akan datang untuk mengajakmu bermain. Oke?” Baekhyun mengecup kening Naeun, membuat anak kecil itu sumringah sekali. Iapun menurunkannya. Anak bersurai hitam legam itu berlari ke arah Seunghyun, dan iapun menggendongnya.
“Safe flight.” ujar Seunghyun saat Baekhyun mengangkat kopernya. Iapun melambaikan tangannya kearah kami. Naeun membalasnya dengan lambaian tangan yang heboh.
Aku menatap kepergian Baekhyun dengan setengah hati. Lelaki itu sudah banyak sekali berkorban untukku.
“Eomma,” Naeun yang ada di gendongan ayahnya, memanggilku dengan lembut. Seunghyun dan aku refleks menoleh.
“Ya?”tanyaku.
“Naeun ingin punya adikbalu.”
˹ THE END ˺